Serba Serbi dirumahaja
Gara-gara Corona, Rawat Gigi pun Tak Pakai Buka Mulut, Lho Apakah Bisa?
Sudah lebih dari seminggu rasanya, tak bisa makan dengan enak karena sakit gigi kiri bagian atas.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Ady Sucipto
Oleh AA Seri Kusniarti
Jurnalis Tribun Bali
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Sudah lebih dari seminggu rasanya, tak bisa makan dengan enak karena sakit gigi kiri bagian atas.
Entah retak atau berlubang, saya tidak bisa melihat dengan jelas gigi saya. Karena di bagian atas susah dilihat sendiri.
Saya coba pake senter dari handphone juga susah, hanya terlihat retak di pinggir. Ini gara-gara nasi yang berisi serpihan batu tak sengaja terkunyah saat makan.
Awalnya ngilu, lalu saya bertahan. Karena setelah beberapa menit ngilunya hilang.
Tapi tak disangka, ternyata semakin hari ngilunya semakin menjadi-jadi. Dan akhirnya saya hanya mengunyah makanan dengan gigi bagian kanan.
Makanan tak terkunyah dengan baik, apalagi sayur dan daging susah sekali hancur.
Padahal aturan makan kan, harusnya mengunyah lebih dari 30 kali.
Kata teman dan kerabat yang pernah sakit gigi, coba beli Ponstan atau nama kimianya Asam Mefenamat.
Saya coba, lumayan mengurangi sakit tapi itu tak bertahan lama. Semakin lama saya semakin rindu mengunyah pentol bakso dengan seluruh gigi saya.
Sudah habis sepepel, saya minum dua kali sehari maksimal kalau sakit.
Nambah akhirnya sepepel lagi, karena nggak sengaja makan dan kena gigi bagian kiri.
Baru minum sebutir dari sepepel Ponstan tahap kedua, saya memutuskan untuk periksa ke puskesmas.
Kebetulan saya ditanggung BPJS Kesehatan kelas dua, dan fasilitas kesehatan (faskes) tahap pertama di Puskesmas Sukawati II, wilayah Negari, Gianyar.
Kamis (9/4/2020), pukul 10.00 Wita pagi, saya sampai di puskesmas. Biasanya saya langsung masuk, dan mengambil nomor antrean.
Namun saat saya memarkir motor, ada seorang ibu-ibu menggunakan APD lengkap seperti yang dilakukan para medis untuk menangkal Corona.
Dengan ramah namun sigap, ia menyuruh saya mencuci tangan lalu menunjukkan arahnya.
Tentu sebagai warga yang baik, dan melek kesehatan saya segera mencuci tangan dengan sabun. Kebetulan saya sudah hafal tahapannya.
Mulai dari telapak, punggung, jari, hingga melingkar lalu dibilas. Ini juga saya rutin lakukan di rumah, kalau habis dari toilet, mau makan, datang dari luar, atau setelah memegang sesuatu.
Nampak petugas puskesmas semua menggunakan APD dan masker dengan baik. Saya kagum sekaligus menyadari bahayanya Corona bagi siapa saja.
Seorang petugas kembali menghampiri, dia bertanya, mau ke poli apa? Saya jawab saya sakit gigi.
Dia sempat kaget, dan berkata agar saya menunggu sebentar. Dia melapor ke poli gigi dan kembali beberapa detik kemudian.
Diambilkan saya nomor antrean dan tertera nomor 26. Tak lama, petugas melalui mikrofon memanggil nomor antrean saya.
Petugas pendaftaran pun bertanya, apakah gigi saya sangat sakit. Seakan-akan tak percaya. Saya menegaskan bahwa gigi saya sakit.
Mereka mengambil kartu BPJS Kesehatan saya, dan memprosesnya. Tak lama akhirnya saya menunggu panggilan dari Poli Gigi.
Kursi di puskesmas yang biasanya bisa diduduki 4-5 orang dalam satu deret, kini hanya bisa diduduki dua orang saja, karena sisanya disekat sesuai imbauan jaga jarak dari pemerintah.
Semua pasien menggunakan masker, sebab ada aturan tertera di depan harus menggunakan masker masuk ke puskesmas.
Tak lama nama saya dipanggil, dan saya melepas sandal saya saat masuk ke ruangan Poli Gigi.
Jarak dokter dan petugas di dalam juga sekitar 1 meter. Dokter menyuruh saya tetap mengenakan masker saat mulai bertanya.
Dia kembali bertanya, pertanyaan yang sama seperti petugas sebelumnya. Apakah gigi saya sangat sakit.
Saya kembali menegaskan, ngilu dan sangat menganggu. Lalu dokter bertanya, apakah ketika gigi atas dan bawah bertemu juga sakit.
Sangat sakit dok, jawab saya yakin tanpa berpikir. Sebab memang demikian kenyataan dan kondisinya.
Akhirnya dokter mencatat semua gejala yang saya alami, ia memungkinkan gigi saya berlubang sehingga timbul nyeri tersebut.
Ia bertanya, apakah saya alergi obat dan ada maag. Saya jawab ada maag, namun tak ada alergi obat.
Ia kemudian meresepkan obat, penghilang rasa sakit dan antibiotik. Nama kimianya Amoxicillin dan Paracetamol.
Dokter wanita tersebut menjelaskan, bahwa karena kondisi sedang gawat penyebaran Corona di Indonesia termasuk Bali.
Maka penanganan atau pengambilan tindakan langsung, untuk pasien sakit gigi tidak bisa dilakukan seperti biasanya.
Sebab nanti bisa terjadi rantai penularan, antara pasien ke dokter, atau dokter ke pasien saat melakukan pemeriksaan gigi.
Mengingat virus Corona ini menular melalui droplets atau cairan batuk dan bersin seseorang.
Ia menyuruh saya meminum obat, dan setelah habis kembali kontrol ke puskesmas. Untuk mengetahui apakah masih sakit atau tidak.
Saya yang mendengar hal tersebut hanya patuh, dan berharap semoga penyakit gigi saya dan virus Corona cepat enyah.
Ternyata saat saya cek ke teman reporter yang biasa menulis berita kesehatan, memang dokter gigi dan THT sangat riskan tertular virus Corona dari pasien yang tidak memperlihatkan gejala.
Sehingga tindakan langsung harus hati-hati diambil. (ask)