Corona di Indonesia
Mudik Lebaran di Tengah Wabah Covid-19, Sebaiknya Perhatikan Ini
Mereka bisa saja menjadi penyebar Covid-19 di kampung halamannya jika mereka mudik lebaran.
Mudik Lebaran di Tengah Wabah Covid-19, Sebaiknya Perhatikan Ini
Oleh: Ranto Parlindungan T
Warga Bandung
TULISAN ini sebenarnya sudah lama ada di dalam pikiran saya, yakni sejak karantina pertama di Pulau Natuna.
Tapi, tak ada kata terlambat, kita bisa mulai besok jika mau.
Pekerja urban beberapa kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Medan, Pekanbaru, Makassar adalah sejatinya masih penduduk desa, atau masyarakat rural.
Dan kebiasaannya, ketika Hari Raya Lebaran tiba, mereka akan mudik ke kampung halamannya.
• Australia Bisa Tekan Penyebaran Covid-19, Apa Rahasianya?
• Pemain Persib Ghozali Siregar Punya Cara Hindari Covid-19, Begini Ceritanya
Tapi untuk tahun ini mungkin tidak dapat mereka lakukan karena imbauan pemerintah dan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilakukan kota-kota tempat mereka bekerja.
Alasan lainnya, mereka bisa saja menjadi penyebar Covid-19 di kampung halamannya jika mereka mudik lebaran, sebab tidak ada kepastian kesehatan mereka.
Apakah mereka masih bersih, atau sudah terpapar Covid-19. Itu sebabnya mereka diminta untuk tidak mudik.
Maka, terjadi apa yang dikatakan seperti makan buah simalakama, atau dilema.
Pulang bisa menjadi agen penyebaran Covid-19, tidak pulang, ekonomi sudah runtuh. Apa yang harus dilakukan?
Dari awal wabah Covid-19 ini mulai terdektesi di Jakarta, saya sudah berpikir, pemerintah harus mulai memulangkan para pekerja informal ke kampung mereka masing.
Mereka pulang dengan bekal minimal yang cukup untuk hidup di kampung dalam beberapa bulan.
Bekal ini bisa ditanggung renteng bersama pemda tempat mereka bekerja, pemerintah pusat, dan pemda asal mereka.
Bekal ini juga bisa disediakan oleh perusahaan-perusahaan lewat program CSR (dan pemerintah bisa memberi tax holiday untuk perusahaan yang membantu lewat program ini) yang barang tentu dikelola oleh badan penanggulang Covid-19.
Bagaimana dengan kesehatan mereka?
Mereka yang ingin segera mudik dikarantina dulu di kota-kota tempat mereka bekerja -dites dengan saksama: rapid tes dan PCR.
Terlalu lama, tidak ada waktu dan cukup tempat, mungkin kita berpikir seperti ini.
Saya tidak menafikkannya, tapi semua itu bisa diatasi, jika kita kembali bergotong-royong.
Karantina dibagi dua: tujuh hari atau paling sedikit lima hari di kota asal pekerja urban ini --misal, di Jakarta lima hari-- dan selebihnya dilakukan di ibukota provinsi atau ibukota kabupaten asal kampung halaman mereka.
Catatan penting, tes kesehatan dan karantina harus dilakukan sungguh-sungguh.
Masalah berikut adalah transportasi mereka.
Transportasi tidak dapat dilakukan secara bebas.
Dari kota urban tempat mereka bekerja, mereka langsung diantar ke tempat karantina yang sudah disediakan pemda asal kampung halaman mereka, tanpa ada pemberhentian.
Transportasi disediakan oleh badan penanggulangan Covid-19 dan TNI dan Polri bisa menjadi sukarelawan sopir.
Dan perlu diperhatikan, dari tempat karantina pemda mereka juga harus langsung diantar ke kampung mereka masing-masing yang sudah barang tentu kampung itu kampung bersih.
Masalah berikut ialah, kalau wabah ini berlangsung lama, apa yang harus dilakukan mereka?
Inilah saatnya menghidupkan kembali pertanian yang selama ini terbengkalai oleh hiruk-pikuknya urban industri.
Maka, di dalam bekal mereka sudah dipikirkan benih-benih tanaman berumur pendek yang dapat mereka tanam.
Sesungguhnya, inilah panggung bagi Kementerian Pertanian (Kementan), yakni menyiapkan pekerja urban ini menjadi pekerja rural kembali.
Kalau kita tidak alergi, kita bisa belajar dari kibbutz-kibbutz di Israel.
Caranya mudah, pergi ke Youtube, cari dengan kata "kibbutz," maka akan keluar banyak video tentang kibbutz yang bisa dipelajari.
Semoga bermanfaat dan segera ada yang berwenang membacanya untuk mengambil kebijakan yang dianggap perlu. (*)