Langkah Jokowi Dinilai Tak Tepat Naikkan Iuran BPJS di Tengah Pandemi

Saya kira masih banyak cara mengatasi defisit, bukan dengan menaikkan iuran apalagi di tengah resesi ekonomi saat ini

Editor: I Putu Darmendra
shutterstock
Kartu BPJS Kesehatan 

"Peserta bayar tetap Rp 25.500, Rp 16.500 dibayar oleh pemerintah dalam bentuk bantuan iuran dengan kepersertaan aktif," katanya.

Langkah Tidak Tepat

Kenaikan BPJS Kesehatan di tengah kondisi masyarakat sedang terpuruk akibat kehilangan penghasilan di era pandemi corona ini, menuai kritik dari berbagai pihak. Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menyebutkan, saat ini bukan langkah yang tepat untuk menaikkan BPJS Kesehatan.

"Saya kira masih banyak cara mengatasi defisit, bukan dengan menaikkan iuran apalagi di tengah resesi ekonomi saat ini," kata Timboel.

Timboel memandang Presiden perlu melakukan evaluasi secara menyeluruh termasuk kinerja direksi BUMN peyelenggara jaminan sosial kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia tersebut.

Kenaikan iuaran yang sebelumnya sempat dibatalkan Mahkamah Agung kini dinaikan lagi melalui Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

"Seharusnya pemerintah berusaha bagaimana agar daya beli masyarakat ditingkatkan dan pelayanan BPJS Kesehatan juga ditingkatkan, baru lakukan kenaikan iuran JKN," terangnya.

Menurut Timboel, pelayanan BPJS di era Covid 19 ini malah cenderung menurun. Dia mencontohkan seorang pasien Jaminan Kesehatan Nasional ketika harus dirawat inap harus melakukan test covid19, dan pasien diminta bayar Rp 750 ribu untuk test Covid19 tersebut.

Memberatkan Masyarakat

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani memandang keputusan kenaikan BPJS memberatkan masyarakat saat kondisi sekarang ada pandemi Covid-19.

Menurutnya, pengusaha sebelumnya juga sudah mengajukan relaksasi untuk pembayaran iuran BPJS Kesehatan untuk karyawan sehingga tidak makin memberatkan perusahaan.

Hariyadi menambahkan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu mengkhawatirkan karena masyarakat terancam tidak memiliki jaminan layanan kesehatan.

"Sehingga memang dalam kondisi seperti ini perusahaan saja merasa sangat keberatan. Apalagi masyarakat umum gitu," ujarnya.

"Memang dinaikkan itu yang kita khawatirkan, khususnya adalah untuk masyarakat umum yang bukan penerima upah. Artinya, mereka tidak bisa mendapatkan akses untuk manfaat pelayanan kesehatan, ini juga cukup serius," sambung dia. 

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved