Terjadi Sekitar 400 Ribu Kehamilan Baru di Indonesia Saat Pandemi Covid-19, Ini Sebabnya
"Jadi kira-kira ada 400.000 kehamilan," ujar Zumrotin, dalam webinar 'Reformasi Kesehatan dan Pencapaian SDG's Indonesia', Rabu (3/6/2020).
TRIBUN-BALI.COM - Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan Zumrotin K Susilo memprediksi angka kehamilan naik 10 persen di tengah pandemi Covid-19.
Angka tersebut setara dengan 400 ribu kehamilan baru.
"Sekarang ini kenaikan ibu hamil itu 10 persen."
"Jadi kira-kira ada 400.000 kehamilan," ujar Zumrotin, dalam webinar 'Reformasi Kesehatan dan Pencapaian SDG's Indonesia', Rabu (3/6/2020).
• Danau Yeh Malet di Karangasem Alami Pendangkalan, Pihak Desa Usulkan Pengerukan & Normalisasi
• Ciri-ciri Munculnya Kanker Perut yang Patut Diwaspadai, Segera Periksa ke Dokter
• Menteri Pertahanan AS Tentang Kebijakan Trump Kerahkan Militer Hadapi Demo Kematian George Floyd
Akan tetapi, Zumrotin mengaku sangat tidak setuju dengan anggapan angka kehamilan naik akibat tidak adanya hiburan bagi masyarakat Indonesia.
Menurutnya, hal ini dikarenakan pemerintah yang tidak memiliki atau tidak memikirkan ketersediaan alat kontrasepsi yang cukup.
Dia menegaskan, mayoritas yang hamil adalah mereka yang tidak ingin hamil.
Melainkan, karena ketidaktersediaan alat kontrasepsi menjadikan yang bersangkutan hamil.
"Saya sebetulnya tidak setuju kalau penambahan ini dianggap karena tidak punya hiburan."
"Orang menghadapi Covid-19 itu aja sudah stres, tidak mungkin mikir hiburan."
"Jadi lebih kepada ketersediaan pemerintah memberikan alat kontrasepsi yang memadai."
"Bukan karena tidak ada hiburan."
"Seakan-akan rendah banget masyarakat Indonesia ini," imbuhnya.
Zumrotin mengungkap pengalaman nyata di mana asisten rumah tangganya tidak bisa mendapatkan alat kontrasepsi.
• Tagihan Listrik di Rumah Raffi Ahmad Rp 17 Juta Per Bulan, Nagita Slavina Mengeluh, Ini Kata PLN
• Update Covid-19: 349 Orang Telah Sembuh di Bali, Kasus Positif di Indonesia Sudah 28.233 Kasus
• Member Secret Number Dita Karang Deactive Akun Instagram
Selain itu, banyak alat kontrasepsi berjenis tablet dan suntik yang ternyata kosong persediaannya di puskesmas.
"Apalagi kalau orang miskin dan terdampak Covid-19."
"Sekarang ini kan dalam kondisi ekonomi yang susah, boro-boro uang untuk makan aja susah, mana mungkin buat beli alat kontrasepsi."
"Itulah kemudian makanya dia jadi tidak menggunakan alat kontrasepsi," ulasnya.
Work From Home Bikin Perceraian dan KDRT Meningkat
Presiden Jokowi memberlakukan kebijakan Work From Home (WFH) alias bekerja dari rumah selama masa pandemi Covid-19.
Pemberlakuan WFH itu berpotensi menimbulkan masalah, di antaranya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan meningkatnya angkat perceraian.
Hal ini diungkapkan dua dosen dari Universitas Indonesia.
Mereka adalah Imam B Prasodjo, Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI); dan Dave Lumenta, Dosen Antropologi FISIP UI.
Imam B Prasodjo menjelaskan, kebijakan WFH membuat ayah dan ibu yang pada umumnya banyak menghabiskan waktu di rumah, tiba-tiba berinteraksi bersama-sama anak di rumah.
Menurut dia, kebijakan WFH itu menimbulkan banyak perubahan di keluarga.
“Yang negatif, angka perceraian meningkat."
"Yang positif, semakin paham apa yang terjadi dalam keluarga sendiri,” katanya, pada sesi Forum Diskusi Salemba bertema 'The New Normal: Menjalani Kehidupan Normal di Tengah Pandemi Covid-19', Jumat (1/5/2020).
Selama ini, kata dia, karena ayah menghabiskan waktu bekerja di luar rumah, maka kerap tidak memperhatikan kondisi keluarga.
Dia mengharapkan agar terjadi dampak positif di keluarga selama penerapan WFH tersebut.
“Mudah-mudahan positif. Harapan kualitas keluarga menjadi bagian penting dari hikmah Covid,” ujarnya.
Sementara, Dave Lumenta mengungkapkan terjadi peningkatan kasus KDRT selama penerapan lockdown atau karantina wilayah.
“Selama lockdown (artikel) yang saya baca di Eropa meningkat KDRT,” kata Dave.
Dia menjelaskan, angka kekerasan itu meningkat karena dampak dari tingkat stres seseorang.
“Orang banyak belum terbiasa di rumah 24 jam sehari."
"Belum lagi ketakutan stres, ketidakpastian income (pendapatan)."
"Orang stres persoalan psikosomatik. Mengganggu relasi dengan anggota di rumah,” tambahnya.(*)