Kisah 3 Bersaudara yang Hidup dalam Keterbatasan di Rumah Bedeng, Ayah Meninggal & Ibunya Pergi
Sang ayah meninggal dunia sekitar 9 bulan yang lalu akibat sakit serangan jantung dan ibunya sekitar 4 hari yang lalu pergi meninggalkan mereka
Penulis: Adrian Amurwonegoro | Editor: Wema Satya Dinata
Laporan wartawan Tribun Bali, Adrian Amurwonegoro
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Tak seberuntung kawan-kawan seusianya, tiga bersaudara Gede Suardika (9), Kadek Sugiadnyana (6,5) dan Komang Budisuari (6 bulan) kini harus melanjutkan hidup tanpa belaian kasih sayang kedua orang tuanya.
Sang ayah meninggal dunia sekitar 9 bulan yang lalu akibat sakit serangan jantung dan ibunya sekitar 4 hari yang lalu pergi meninggalkan mereka bertiga tanpa sebab yang pasti.
Diduga sang ibu memilih pergi pulang ke kampung halaman karena didera himpitan ekonomi tidak lagi mampu menghidupi anak-anaknya sepeninggal sang suami.
Kini ketiga anak itu hidup diasuh oleh sang kakek Pekak Ketut Parta (70) dan nenek Luh Ngebek (66) yang sudah berusia renta serta seorang paman Ketut Artawa (31) yang tulus memberikan kasih sayangnya.
• BREAKING NEWS: Dua PMI di Karangasem Dinyatakan Positif Covid-19
• BKKBN Hitung Potensi Kehamilan pada Masa Pandemi Covid-19 Hingga 500.000 Kasus
• Ini Bahaya Begadang bagi Kesehatan, Ikuti Cara Berikut untuk Mengatasinya
Meskipun, kakek dan nenek sendiri hidup dengan penuh kesederhanaan dan keterbatasan di rumah bedeng berukuran sekitar satu are di Jalan Patih Nambi, Perumahan Telkom Banjar Tulang Ampiang, Ubung Kaja, Denpasar Utara, Kota Denpasar, Bali.
Di rumah beratapkan triplek itu kondisinya sangat memprihatinkan, terlihat lubang-lubang menganga di sejumlah titik dindingnya, lantainya pun hanya beralaskan tanah dan mereka harus tidur bersama di satu kasur dalam satu kamar yang kondisinya tak layak, sempit dan pengap tak terbayang jika hujan deras mengguyur, sedangkan kakek-nenek di satu kamar sebelahnya dengan kondisi yang serupa.
Untuk tinggal di sana pun mereka menyewa lahan kepada pemilik seluas 3,5 are dengan bangunan rumah bedeng sekitar 1 are, per tahunnya disewa dengan harga satu juta rupiah.
Dengan segala keterbatasan mereka berjuang bertahan hidup, apalagi kebutuhan pendidikan dan keberlanjutan kehidupan 3 anak tersebut kedepan tidaklah sedikit.
Keluarga ini sejatinya berasal dari Banjar Singkung Desa Sudaji Kecanatan Sawan, Buleleng, Singaraja, Bali, dan tinggal di rumah bedeng di sudut Kota Denpasar sejak satu setengah tahun yang lalu.
Kakek dan nenek hanya merupakan seorang buruh tani di sawah milik orang, sedangkan paman Ketut bekerja serabutan sebagai kuli bangunan dengan upah Rp 660 ribu per Minggu.
"Ayah mereka meninggal dunia sekitar 9 bulan yang lalu, ibunya sekitar empat hari yang lalu pergi tanpa alasan yang jelas, pamitnya pergi beli bunga untuk sembahyang tapi ternyata tidak pulang-pulang," kata paman Ketut Artawa adik dari Made Restina ayah anak-anak tersebut saat dijumpai Tribun Bali di lokasi, Selasa (9/6/2020).
Made Restina ayah dari ketiga anak itu meninggal dunia karena serangan jantung, sejak kecil juga hidup dengan kondisi keterbatasan di salah satu kakinya, untuk berjalan harus dibantu dengan tongkat.
Almarhum ayahnya dulu seorang pengrajin layang-layang, sedangkan ibunya membuka warung kecil sederhana.
Mereka dahulu tinggal di kawasan Nuansa Hijau yang masih satu dusun, keluarga ini tinggal mengontrak di tanah kosong dengan bangunan rumah semi permanen terbuat dari batako bersama adiknya.
• Ini 3 Drakor yang Tayang di Pertengahan Juni 2020, Kisahkan Persahabatan hingga Pekerja Paruh Waktu
• Wabup Ikuti Rapat Via Zoom Meeting dengan Polda Bali, Badung Dukung Upaya Pemulihan Pariwisata
• Ini Persiapan GWK Cultural Park Menghadapi Tatanan Normal Baru
"Jadi kami ada 4 bersaudara, anak pertama perempuan tinggal di Dalung nikah ke Tabanan. Kedua ya ayah dari anak-anak ini, ketiga perempuan nah mereka tinggal bersama kakak perempuan saya ini, dan keempat saya," papar dia.
Karena tidak ingin merepotkan kakak perempuan atau kakak ipar dari ibu anak-anak ini yang dalam kondisi mengandung bayi Komang Budisuari, maka dua bulan sebelum kelahiran, Ketut mengajak ibu dan anak-anak untuk tinggal di rumah bedeng ini bersama kakek neneknya.
"Sudah di sini pas mengandung, dua bulan sebelum melahirkan pindah ke sini," tutur Ketut.
Ketut sendiri kini harus sementara berhenti dari pekerjaan untuk membantu mengasuh ketiga anak ini.
"Saya kuli bangunan sebagai pengayah, proyeknya di Ubung, tapi sekarang tidak kerja dulu, mengasuh anak-anak ini, kalau kerkaannya memang masih ada, tapi saya berhenti sementara, kan kasihan mereka," ungkapnya.
"Penghasilan saya full Rp 660 ribu per Minggu, biasanya kalau gajian ya langsung untuk beli beras kebutuhan keluarga," imbuh dia.
Gede, anak sulung bercita-cita menjadi seorang pebalap motocross, selama pandemi covid-19 ia tak lalai dengan aktivitas belajar dari rumah.
Meskipun dengan kondisi seperti ini, Gede mengaku tetap bersemangat belajar dari rumah di tengah pandemi covid-19 dengan bimbingan paman dan kakak keponakannya seusia sama dengannya yang kerap menemaninya.
"Saya semangat dan senang belajar, kalau pas tugas Bahasa Inggris saya belajar sama kakak (keponakan) yang lebih pintar bahasa Inggris, supaya saya bisa," ucapnya.
Bahkan hampir tak tampak raut kesedihan di wajah Gede dan adiknya, wajah polosnya menggambarkan seolah tak ingin tahu apa yang kini sedang terjadi, kakak keponakannya pun selalu setia untuk menemani bermain, menghibur dan belajar.
Sore ini Gede bermain layang-layang, ia yang masih polos itu tampak gembira bisa menerbangkan layang-layangnya serupa dengan cita-citanya kelak.
Kisah mereka mulai menyeruak ketika Komunitas Taman Hati mengunjungi mereka dan menyerahkan bantuan sembako serta susu formula dan diposting di sosial media.
"Bahkan adik komang reflek minta digendong ke salah satu relawan kami, mungkin adik komang rindu ibunya," tulis akun FB bernama Kadek Widiana itu.
Kunjungan Dinas Sosial
Bersamaan dengan liputan wartawan Tribun Bali, terlihat aktivitas dari Dinas Sosial Kota Denpasar berkunjung untuk meninjau langsung kondisi keluarga tersebut.
Kepala Bidang Rehanilitasi Sosial Dinsos Kota Denpasar, Anak Agung Ayu Diah Kurniawati memimpin peninjauan bersama jajarannya.
AA Ayu Diah mengatakan setelah peninjauan ini pihaknya segera berkoordinasi dengan Dinsos Buleleng dan Provinsi Bali sebagai tindaklanjutnya, karena secara administratif ketiga anak ini masih terdata sebagai warga di Sudaji, Buleleng.
"Di sini ada anak-anak dan lansia yang perlu mendapatkan perlindungan. Untuk tindak lanjutnya kami koordinasikan dengan Dinsos Provinsi Bali, secara administrasi mereka masih terdata memiliki di Sudaji, Buleleng, kami upayakan yang terbaik," katanya
Pihak Dinsos Kota Denpasar mengaku berfokus pada keberlanjutan pemenuhan pendidikan pada anak-anak tersebut karena bagaimanapun pendidikan dasar anak-anak ini kedepannya adalah menjadi tanggung jawab pemerintah.
Gede Suardika (9) naik dari kelas 3 ke kelas 4 sekolah dasar, sedangkan adiknya Kadek Sugiadnyana (6,5) mulai beranjak dari TK ke kelas satu sekolah dasar.
"Fokus kami dengan pendidikan anak-anak, segala keperluan pendidikan kan harus dipenuhi, selain itu tempat tinggal yang layak bagi mereka, mereka kan ngontrak kemungkinan kedepannya mereka akan tersisih dengan kondisi kumuh seperti ini, setidaknya akan dikontrakkan yang lain, kita pikirkan kakek nenek juga," ujar AA Ayu Diah
Dinsos juga mengupayakan koordinasi dengan panti, akan tetapi hal itu jika ada izin dari keluarga (pihak kakek dan nenek), sebab anak-anak ini masih dalam pengawasan kakek nenek.
Dijekaskannya, pemerintah boleh mengambil alih, tapi karena masih ada keluarga yang lain sehingga harus ada koordinasi. Sebab tinggal dengan kondisi seperti ini kan riskan bagi kesehatan apalagi kondisi sekarang di tengah pandemi covid-19.
"Koordinasi diperlukan sebab rancu untuk kebijakan, KTP mereka bukan Denpasar namun kami pastikan kondisi sosial seperti ini diupayakan mendapat bantuan. Kalau Program bedah rumah harus sertfiikat sedangkan ini kan mengontrak. Kita upayakan mereka tinggal di lingkungan yang memenuhi kesehatan," bebernya
"Sebagai langkah alternatif bisa dikondisikan dengan panti. Tapi mereka (kakek nenek) masih mau seperti ini, karena sangat sayang sama cucunya yang bayi 6 bulan bahkan mau diasuh oleh sebuah keluarga tidak diperkenankan," imbuhnya
Pada saat kunjungan itu terjadi moment mengharukan, salah satu perangkat desa setempat, Wayan Sukarta (51) mengaku hatinya tersentuh dan ingin mengadopsi bayi Komang Budisuari yang baru berusia 6 bulan.
Namun sang nenek, Luh Ngebek seakan benar-benar tidak ingin lepas dari cucu yang sangat ia sayangi itu.
"Saya sangat tersentuh, dan istri ingin anak perempuan, anak saya satu laki-laki, saya mau mengasuhnya," ungkap Wayan Sukarta.
Pada kesempatan yang sama, Kadus Batumekaem, Banjar Tulangampiang, Putu Agus Budi Saputra bersama Kelian Adat setempat Wayan Budiasa sepakat untuk terus membantu dan memantau perkembangan serta menjadi fasilitator antara warga tersebut dengan pemerintah agar mengupayakan yang terbaik.
"Melihat kondisi ini kami langsung menyampaikan ke Dinsos, saya juga ke ke DPRD sudah saya ajak untuk atensi langkah-langkahnya. Fokusnya ke ketiga anak ini," ungkap Putu Agus.
Pantauan Tribun Bali di lokasi, juga terdapat sebuah komunitas relawan datang mengalirkan bantuan berupa susu formula dan kebutuhan pokok lainnya kepada keluarga tersebut.(*)