Rare Angon Buru Layang-layang Celepuk, Kelebihannya Tak Butuh Angin Kencang untuk Menerbangkannya
Bulan ini banyak rare angon, sebutan untuk mereka yang bermain layang-layang, menerbangkan layang-layangnya.
Penulis: Putu Supartika | Editor: Ady Sucipto
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR -- Musim layang-layang di Bali sudah tiba.
Bulan ini banyak rare angon, sebutan untuk mereka yang bermain layang-layang, menerbangkan layang-layangnya.
Gara-gara pandemi Covid-19, permainan layang-layang di Pulau Dewata tak sesemarak tahun-tahun sebelumnya. Tak ada lomba layang-layang, tak ada keramaian saat bermain layang-layang.
Oleh karena itu, layang-layang yang mudah terbang di area pemukiman menjadi pilihan rare angon.
Undagi layang-layang dari kelompok Layangan Andel-andel Team di Banjar Pagan Kelod, I Gede Arya Swastika mengatakan saat ini kebanyakan rare angon beralih ke layang-layang jenis celepuk.
Rare angon berburu celepuk karena layang-layang ini bisa dikreasikan dengan berbagai jenis gambar.
Selain itu, layangan ini mudah diterbangkan di daerah pemukiman dan tak memerlukan angin kencang.
“Hanya angin sepoi-sepoi saja sudah bisa menerbangkan layangan celepuk dengan ukuran 1,5 meter.
Cukup dari rumah dan tak perlu ke tempat luas. Kalau yang layangan bebean kan ada ngelog, kalau di pemukiman itu agak sulit,” katanya kepada Tribun Bali, Senin (15/6) siang.
Swastika yang juga membuat layang-layang untuk dijual ini mengaku dalam seminggu mendapat pesanan hingga 5 layang-layang celepuk. Namun, dia hanya akan membuat layang-layang jika mood-nya bagus.
“Dalam membuat layang-layang ini saya pakai mood, kalau mood bagus baru buat.
Ini kan hobi dan kalau kurang bagus, saya tidak sreg untuk menjual, kasihan pembeli, apalagi di saat-saat seperti ini.
Dan, kebanyakan saya nolak pesanan juga kalau tidak mood,” katanya.
Saat ini agar layang-layang tersebut bisa bertahan lama, ia membuat dengan sistem knock down atau bongkar pasang. Tujuannya agar setelah musim layang-ayang berakhir bisa disimpan untuk digunakan lagi pada tahun berikutnya.
“Kalau biasanya kan digantung di tembok, pasti cepat pudar warnanya atau bambunya rapuh. Kalau dengan sistem ini kan bisa dipakai untuk jangka waktu yang lebih panjang,” katanya.
Untuk layang-layang celepuk dengan warna polos berukuran 120 cm, ia jual dengan harga Rp 100 ribu.
Sementara yang dilengkapi dengan motif atau hiasan ia jual dengan kisaran harga Rp 350 ribu tergantung pada tingkat kerumitannya.
“Ukuran yang kebanyakan dicari itu 130 cm atau 120 cm, namun ada juga yang mencari ukuran 150 cm. Selain itu anak-anak biasanya membeli layang-layang bebean plastik atau layangan cotek,” kata Gede Arya Swastika.
Penjual layang-layang dari Kesiman, Gede Supardiarta juga mengatakan yang paling dicari saat ini adalah layang-layang jenis celepuk.
“Ya karena proses pembuatannya tidak rumit. Kalau saya sehari bisa buat maksimal 4 layang-layang celepuk yang biasa dari mulai membelah bambu hingga memasang tukub,” katanya.
Namun jika dicat, karena masih menggunakan kuas, memerlukan waktu hingga 3 hari. Selain itu ia juga membuat layang-layang dengan tukub diprint yang juga bisa diselesaikan dalam sehari.
Untuk harga layang-layang print ini tergantung ukurannya, berkisar Rp 175 ribu.
“Karena saya kan beli sket gambarnya. Kalau misalnya saya bisa buat sket sendiri pasti akan lebih murah harganya,” katanya.
Kesulitan membuat layang-layang yang diprint yakni menyesuaikan gambar dengan rangka layang-layang.
“Karena harus buat gambar dulu, pas nempelnya baru dicocokkan dengan rangka. Biasanya kan buat rangka dulu, baru buat tukubnya,” kata Suparrdiarta.
Ia mengakui, banyak yang memilih layang-layang celepuk karena lebih mudah menerbangkannya. Kalau layang-layang bebean membutuhkan tempat yang lebih luas untuk menaikkannya ke angkasa. (i putu supartika)