Corona di Indonesia

Istana Sampaikan Istilah New Normal Tak Dipahami Baik oleh Masyarakat karena Gunakan Bahasa Asing

Brian mengatakan hal itu dikarenakan penggunaan diksi berbahasa asing atau memakai Bahasa Inggris.

Editor: Wema Satya Dinata
Shutterstock
Ilustrasi the new normal. 

TRIBUN-BALI.COM - Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Brian Sriprahastuti mengakui istilah new normal yang kerap digaungkan Pemerintah di masa pandemi Covid-19, tidak dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat.

Brian mengatakan hal itu dikarenakan penggunaan diksi berbahasa asing atau memakai Bahasa Inggris.

Hal itu membuat masyarakat menganggap keadaan sudah bisa kembali seperti semula.

"Pemahaman menggunakan 'new normal', karena ada unsur bahasa asingnya."

Tarif Rapid Test di Indonesia Ditetapkan Rp 150.000, Bagaimana Efektivitas dari Tes Ini?

Soal & Jawaban Belajar di Rumah SMP di TVRI 13 Juli: Kenapa saat Bersenang-senang Waktu Terasa Cepat

Misteri Kematian Editor Metro TV Yodi Prabowo, Endusan Anjing Pelacak Terhenti di Warung Sari

"Kemudian tidak mudah dipahami dan diterjemahkan sebagai adaptasi kebiasaan baru," kata Brian dalam diskusi Trijaya bertajuk 'Covid-19 dan Ketidaknormalan Baru', Sabtu (11/7/2020).

Saat ini, perkembangan kasus Covid-19 kian meninggi.

Namun, setelah masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilonggarkan, muncul istilah new normal yang diiringi pembukaan kembali berbagai kegiatan ekonomi dan sosial.

Namun, hal itu membuat tingkat kewaspadaan masyarakat atas penularan Covid-19 menurun.

Ditambah lagi pandemi Covid-19 belum berakhir.

Penyebabnya, kata Brian, adalah ketidakpahaman saat ini merupakan periode prakondisi menuju kenormalan baru.

Artinya, ada tahapan yang harus dipersiapkan, mulai dari pembukaan sektor publik hingga penyiapan protokol pencegahan Covid-19.

"Orang tidak melihat kata 'new', ujug-ujug ke normal."

"Padahal, sebelum menuju new normal, ada periode prakondisi, ada tahapan yang harus dipersiapkan," ulas Brian.

"Tampaknya, prakondisi ini tidak dilakukan."

Mengapa Memakai Masker Itu Penting? Ini Jawaban Belajar dari Rumah TVRI Kelas 1-3 SD

Sepekan Latihan, Bima Sakti : Pemain Timnas U-16 Sudah Beradaptasi dengan Baik

Identitas R, Pria yang Diduga Booking Artis FTV H di Hotel Berbintang Adalah Karyawan Swasta

"Kemudian orang berpikir ini akan seperti pada saat seperti pandemi belum terjadi."

"Padahal, konidisinya tidak seperti itu. Kita harus menerima fakta bahwa virus ini masih ada di sekitar kita," imbuhnya.

Sebelumnya, juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto mengatakan, istilah new normal yang sering digunakan selama pandemi ini adalah diksi yang salah.

Yuri mengatakan, sebaiknya new normal diganti dengan kebiasaan baru.

"Diksi new normal dari awal diksi itu segera ubah."

"New normal itu diksi yang salah dan kita ganti dengan adaptasi kebiasaan baru," papar Yurianto dalam acara Peluncuran Buku 'Mengadang Corona: Advokasi Publik di Masa Pandemik" karya Saleh Daulay, Jumat (10/7/2020).

Hal itu mendapat respons positif dari anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDIP Rahmad Handoyo.

Menurut Rahmad, istilah new normal selama ini dimaknai masyarakat sebagai situasi yang normal.

Hal itu disampaikannya dalam diskusi bertajuk 'Covid-19 dan Ketidaknormalan Baru', Sabtu (11/7/2020).

"Kami selalu menyampaikan kepada pemerintah dalam hal ini masalah budaya baru yang tadi sudah dibenarkan."

"Saya kira harus diapresiasi ketika new normal itu adalah diksi yang kurang tepat dan menimbulkan euforia di masyarakat seolah-olah begitu new normal itu."

"Begitu ada car free day itu semua berbondong-bondong keluar," ucapnya.

Karena itu, ia mendesak pemerintah lebih menggencarkan adaptasi kebudayaan baru di tengah pandemi Covid-19.

Sebab menurutnya, kebiasaan menjaga jarak (physical distancing), mencuci tangan dan memakai masker menjadi suatu hal yang sulit dilakukan secara konsisten.

"Ini harus kita kampanyekan, momentum sekarang kepada pemerintah dan tidak bosan menyampaikan kepada pemerintah untuk selalu mengedukasi, kampanye yang masif," ujarnya.

"Karena jujur, budaya baru itu, budaya yang sangat belum familiar bagi kita bahwa cuci tangan, bermasker, jaga jarak, menjadi soal karena kurang dipedulikan," bebernya.

Sebelumnya, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo berharap pemerintah daerah menggencarkan pengertian istilah new normal kepada masyarakat.

"Pemberian pemahaman agar masyarakat tidak salah paham."

"Karena ada sebagian masyarakat menganggap new normal bisa kembali beraktivitas seperti sebelum kejadian pandemi Covid-19," papar Doni Monardo dalam rapat virtual dengan Komisi X DPR, Jakarta, Rabu (17/6/2020).

Doni Monardo menilai, peran kepala daerah sangat penting dalam memberikan pemahaman ke warganya, terkait berbagai hal istilah seperti new normal, social distancing, physical distancing, dan lainnya.

"Salah pemahaman tentu mengkhawatirkan, sehingga dibutuhkan cara dan tentunya setiap daerah memiliki cara yang berbeda."

"Misalnya menggunakan bahasa lokal agar masyarakat bisa memahaminya," ujar Doni Monardo.

Doni Monardo mengaku terkait imbauan menjaga jarak atau physical distancing memang sulit diterapkan di lapangan, dibanding meminta masyarakat menggunakan masker maupun cuci tangan.

"Kami mengedepankan preventif promotif, masyarakat diimbau menghindari kerumunan," ucap Doni Monardo. (*)

Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Pihak Istana Bilang Istilah New Normal Tak Dipahami Baik oleh Masyarakat karena Pakai Bahasa Asing,

 

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved