Virus Corona
Tidak Punya Penghasilan, Cerita Geisha di Jepang Bertahan Hidup di Tengah Pandemi Covid-19
Cerita Geisha di Jepang bertahan hidup di tengah pandemi Covid-19, tidak punya penghasilan hingga dilanda kecemasan
TRIBUN-BALI.COM - Geisha adalah seniman penghibur tradisional Jepang.
Mereka terkenal dengan gaya percakapan yang luwes dan ahli dalam menari dan kesenian tradisional Jepang.
Selama masa pandemi, Jepang menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat sebagaimana dilansir dari Reuters, Kamis (16/7/2020).
Selama pandemi Covid-19, orang-orang Jepang juga berhemat untuk hiburan.
Hal itu berdampak terhadap kunjungan tamu ke tempat hiburan di Akasaka, Tokyo, Jepang, tempat geisha menghibur.
Protokol kesehatan yang ketat juga membuat orang-orang khawatir pergi ke tempat hiburan, terutama di tempat geisha menghibur.
Jumlah kunjungan anjlok hingga 95 persen.
Protokol kesehatan juga membuat aturan baru untuk tempat geisha menghibur yakni tidak menuangkan minuman, dilarang berjabat tangan, dan menjaga jarak sejauh 2 meter (m).
Para tamu dan geisha juga diwajibkan memakai masker.
Sebuah hal yang sulit bagi Geisha karena wig yang mereka pakai tidak memungkinkan untuk dipakaikan masker.
Ikuko adalah salah satu geisha di wilayah Akasaka, Tokyo, Jepang.
Sudah lebih dari 40 tahun dia menekuni profesi tersebut.
Selama masa pandemi Covid-19, dia tidak bekerja selama berbulan-bulan.
Dia beserta teman-teman geisha yang lain takut tertular virus Corona.
“Kini kami tidak memiliki penghasilan,” kata Ikuko.
“Ketika kamu duduk berdekatan, percakapan akan menjadi sangat hangat. Ketika kamu berjarak dua meter, perasaan itu hilang,” kata Ikuko.
Geisha lain, Mayu, mengaku cemas akan adanya gelombang kedua Covid-19.
“Aku sangat cemas, perkiraan tentang gelombang (Covid-19) kedua menakutkan,” kata Mayu.
Geisha bukan hanya satu-satunya seniman Jepang yang merana akibat virus Corona.
Penampil jiutamai, tarian wanita kuno Jepang, penata rias, penata rambut, dan penata kimono juga terdampak pandemi Covid-19.
Seorang penata rias geisha dan penari kuno, Mitsunaga Kanda, mengatakan setiap acara yang melibatkan dirinya kini dibatalkan.
Jika Mitsunaga bekerja harus merias geisha, kini dia harus mengatur jarak, memakai masker, dan tidak berbicara.
Pemilik restoran yang menyediakan hiburan geisha juga sudah berupaya sebisa mungkin untuk menerapkan protokol kesehatan.
Shota Asada, salah satu pemilik restoran, mengatakan kamar tempat geisha menghibur telah diatur seluas mungkin agar geisha dan tamu bisa menjaga jarak.
Menurun Drastis
Tokyo memiliki enam distrik geisha.
Tetapi karena dihalangi oleh kerasnya kehidupan geisha dengan jam praktik yang ketat, jumlah wanita yang berminat menjadi geisha semakin sedikit.
30 tahun lalu, terdapat 120 geisha di Akasaka. kini seluruh Tokyo hanya terdapat sekitar 230 geisha.
Ikuko kini berusia 80 tahun. Ketika dia datang ke Akasaka pada 1964, ada lebih dari 400 geisha di wilayah tersebut.
“Tetapi waktu telah berubah. Kini hanya tersisa 20 geisha,” kata Ikuko.
Pelajaran sulit, harga kimono mahal, dan gaji yang tidak pasti tergantung pada popularitas membuat peminat geisha menurun drastis.
Geisha yang memiliki bayaran mahal biasanya memiliki jam terbang yang tinggi dan populer seperti contohnya Ikuko.
Ikuko khawatir jika pandemi Covid-19 terus berlangsung berlarut-larut, akan banyak geisha yang memilih untuk berhenti.
“Sekarang adalah waktu yang buruk dari yang terburuk. Bagaimana cara kami melewatinya? Seluruh jiwa dan raga kami akan tercerabut,” pungkas Ikuko.
(Kompas.com/Danur Lambang Pristiandaru)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Kisah Geisha di Jepang Bertahan Hidup kala Pandemi: Jiwa Raga Kami Tercerabut