Kisah Putu Puspawati Mendidik Anak Autis, Berubah Sedikit Saja Senangnya Luar Biasa
Mendidik anak autis yang berkebutuhan khusus membutuhkan kesabaran dan ketelatenan. Anak autis harus dibimbing dan dibina sedemikian rupa agar bisa
Penulis: Putu Supartika | Editor: Ady Sucipto
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR -- Mendidik anak autis yang berkebutuhan khusus membutuhkan kesabaran dan ketelatenan.
Anak autis harus dibimbing dan dibina sedemikian rupa agar bisa mandiri.
Hal itulah yang dilakukan Putu Puspawati (43), sosok dibalik berdirinya Yayasan Sehati Bali di Jalan Ken Arok Nomor 2, Denpasar, Bali. Yayasan ini bergerak dalam bidang pendidikan anak autis.
Yayasan tersebut dikelola secara pribadi mengandalkan dana dari para donatur dan sumbangan sukarela orangtua anak autis.
Puspawati mulai melayani pendidikan anak autis tahun 2015. Saat itu dia memutuskan mundur dari pekerjaan sebagai guru umum yakni mengajar kewirausahaan dan PKN.
Berbekal pengetahuan dan keterampilan mendidik anak autis yang dia dapat saat menjadi relawan komunitas peduli autis, Puspawati pun mulai menekuki medan pengabdian yang baru itu.
Awalnya Puspawati mendapat informasi dari relawan bahwa ada anak autis dari orangtua kurang mampu yang tak mendapat pendidikan.
"Saya telusuri ternyata benar, lalu saya ajak mereka ke sini untuk ikut terapi secara individu. Saya ajak ke sini dan saya antar jemput," kata Puspawati yang ditemui, Senin (27/7) siang.
Terapi awal dia berikan secara gratis. Saban hari mereka belajar selama dua jam.
Berkat dukungan sang suami yang bekerja di luar negeri serta bantuan dari donatur, terbentuklah yayasan tersebut.
"Ya walaupun ilmu tentang autis saya punya sedikit namun saya ingin berbagi dan tahun 2018 barulah membuat yayasan. Akhirnya mencari guru untuk bisa membantu saya. Hingga kini kami punya lima orang guru," katanya.
Sampai saat ini yayasan tersebut sudah mendidik anak autis sebanyak 30 orang.
Bangunan tempat mendidik anak autis merupakan rumah milik ibunya yang sebelumnya jadi kos-kosan.
Puspawati mengaku ibunya sempat kurang setuju dengan langkahnya mengajar anak autis tanpa dibayar.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu, ibunya pun merestui dan mengizinkan rumahnya dijadikan tempat mendidik anak-anak autis.
Hingga kini sudah 4 kelas yang dia miliki untuk memberikan pendidikan atau terapi bagi anak autis.
Di tempat ini ada tingkatan pendidikan yakni pendidikan dasar, pendidikan transisi dan mandiri.
Untuk pendidikan dasar, anak-anak diajarkan mulai dari hal-hal kecil yakni toilet training seperti kencing, cebokan, memahami rasa sakit.
Kemudian pada tahap pendidikan transisi mereka sudah bisa duduk dan diam. Pada level pendidikan mandiri, anak autis sudah bisa melakukan kegiatan tulis-menulis.
Ketika pertama kali mendidik anak autis, Puspawati mendapat mainan dari pemulung. Dia tidak sanggup beli karena harga sarana pendidikan anak autis sangat mahal.
"Kami pakai botol bekas dan kelereng. Kami ajarkan anak-anak memasukkan kelereng ke botol. Menyamakan warna, itu kami pakai mainan dari pemulung," katanya.
Mendidik anak autis bukan perkara gampang. Harus penuh kesabaran dan dimulai dari hal-hal kecil.
Bahkan untuk mengajarkan anak autis bisa meremas atau merobek pun butuh waktu berminggu-minggu.
"Dari tidak bisa makan sendiri, menjadi bisa makan sendiri, itu sudah kayak sarjana. Kalau bisa yang lain lagi, udah naik tingkat seperti S2. Itu kepuasan luar biasa yang tidak bisa didapat dari tempat lain. Berubah sedikit saja senangnya luar biasa," tuturnya.
Pembelajaran berlangsung setiap hari Senin hingga Jumat mulai pukul 08.00 hingga pukul 11.00 Wita. Pembelajaran diawali doa atau persembahyangan sesuai agama masing-masing.
Setelah itu senam lalu berbaris dan masuk kelas masing-masing. Siangnya mereka belajar makan, mencuci piring, menggosok gigi yang dilakukan secara berulang-ulang agar siswa menjadi terbiasa.
Pada masa pandemi Covid-19 ini, pembelajaran dilakukan secara bergiliran. Setiap hari diikuti hanya 10 anak autis.
"Awal pandemi dapat libur satu minggu. Tapi orangtua banyak yang menelepon, katanya anaknya banyak yang berubah, kan kasihan, jadinya saya buat secara bergiliran," katanya. (i putu supartika)