22 Ribu PMI Asal Bali Bisa Kerja Lagi, Menaker RI Sudah Cabut SK No 151 Tahun 2020
Sebanyak 22 ribu Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Provinsi Bali kini bisa bekerja lagi di kapal pesiar.
Penulis: I Wayan Erwin Widyaswara | Editor: Ady Sucipto
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Sebanyak 22 ribu Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Provinsi Bali kini bisa bekerja lagi di kapal pesiar.
Hal itu dimungkinkan karena Menteri Tenaga Kerja (Menaker) RI sudah mencabut Surat Keputusan (SK) Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 151 Tahun 2020 tentang Penghentian Sementara Penempatan Pekerja Migran Indonesia.
Menteri Tenaga Kerja RI, Ida Fauziyah mengatakan, pencabutan SK 151/2020 itu guna mendukung percepatan pemulihan nasional serta memperhatikan kebijakan beberapa negara penempatan yang sudah menerima kembali tenaga kerja asing.
"Maka kami memandang perlu untuk membuka kembali kesempatan bagi calon pekerja migran Indonesia untuk dapat bekerja kembali di negara tujuan penempatan, dengan tetap mengedepankan prinsip perlindungan hak-hak pekerja migran serta protokol kesehatan," kata Ida dalam video konferensi, Kamis (30/7).
Ida Fauziyah menjelaskan, dari sisi pemerintah tidak ada untungnya tetap memberlakukan SK No 151/2020 tersebut.
Terlebih lagi semua pihak terkait sudah siap membuka kesempatan bagi pekerja migran dari negeri ini.
"Jadi sekali lagi saya katakan tidak ada untungnya pemerintah untuk menahan-nahan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan itu. Setelah kita bisa pastikan semuanya siap, baru kita lakukan pembukaan kembali," ujarnya.
Keputusan pemerintah pusat mencabut SK 151/2020 tersebut disambut gembira para pekerja kapal pesiar Bali yang jumlahnya 22 ribu.
Sebab pada 7 Juli 2020 lalu sebanyak 257 PMI khususnya pelaut yang batal berangkat ke kapal pesiar karena terhalang aturan tersebut.
"Dicabutnya SK 151 itu sangat melegakan kami. Yang pertama artinya mereka yang berangkat, baik itu melalui pesawat komersial terutama charter tanggal 7 Juli terhalang dan jelas-jelas dari KBRI mengatakan karena ada SK 151," kata Ketua Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) Cabang Bali, Dewa Putu Susila, Sabtu (1/8).
Dewa Susila menjelaskan, ada beberapa keuntungan dicabutnya SK 151 tersebut.
Pertama, status para PMI yang kembali bekerja menjadi sah secara hukum.
Artinya, mereka tidak berstatus ilegal di negeri orang.
"Karena kan selama ini meskipun ada SK 151 itu dan mereka sudah lengkap dokumen, terutama visa, dia sudah bisa terbang kan begitu. Tapi kalau misalnya kita menilik secara aturan dari kacamata SK Kemenaker Nomor 151, mereka dianggap ilegal. Nah makanya itu sangat mengkhawatirkan kita sebelumnya," ujar Dewa Susila.
Dewa Susila begitu getol menyuarakan masalah ini di media sosial terutama di akun facebooknya.
Sebab menurutnya SK 151/2020 tersebut menjadi penghambat bagi pekerja kapal kembali bekerja.
Selain itu, SK Kemenaker 151 itu bisa membahayakan PMI ketika terjadi risiko yang tidak diinginkan.
"Karena yang kita khawatirkan adalah ketika terjadi risiko. Bukan dalam keadaan aman-aman saja. Karena ketika terjadi risiko kemudian dengan belum dicabutnya SK 151 artinya pemerintah bisa saja lepas tangan berdasarkan itu," ucap Dewa Susila.
Dengan dicabutnya SK Kemenaker 151 tersebut, Indonesia bisa terbebas dari sanksi internasional.
Sanksi tersebut bisa berupa penghentian perekrutan pekerja dari Indonesia dan sebanyak 22 ribu pekerja Bali bisa terancam gagal bekerja lagi di luar negeri khususnya di kapal pesiar.
Indonesia termasuk negara yang ikut dalam perjanjian soal crew changes.
"Itu sanksi terberat. Kalau sampai dihentikan, luar biasa dampaknya. Pasti akan berkurang kuota kita. Kalau saya bicara di Bali, dari 22 ribu bisa berkurang drastis bisa jadi tinggal 10 ribu, bisa 5 ribu dan sebagainya," ujar Susila.
Sebelumnya, lanjut Dewa Susila, Indonesia melalui Kemenko Kemaritiman sudah mengikutsertakan Kementerian Tenaga Kerja RI, Kementerian Perhubungan RI, KKP dan instansi terkait mengikuti pertemuan yang digelar Organisasi Maritim Dunia IMO pada 9 Juli 2020 terkait crew changes tersebut.
"Pada tanggal 9 Juli itu, Indonesia ikut menandatangani bersama dengan 12 negara. Tujuannya mensuport diadakannya crew change ini.
Jadi crew change yang dimaksud adalah, negara atau pemerintah tidak boleh menghambat keberangkatan mereka. Harus memberikan kemudahan-kemudahan," jelas Dewa Susila.
Itu sebabnya, kata dia, KPI Bali selama ini berteriak lantang agar pemerintah Indonesia konsisten dengan kesepakatan tersebut.
Jika SK tersebut tidak direvisi atau dicabut, maka Indonesia akan ditertawai dunia internasional.
Dia menjelaskan, crew changes adalah pergantian kru di atas kapal dalam kurun waktu tertentu.
Jadi meskipun kapal beroperasi atau tidak beroperasi, kapal pesiar akan tetap menempatkan 20 sampai 30 persen kru di atas kapal.
"Misalnya pada saat pandemi ini, memang ada penawaran jadi tidak ada pemaksaan. Walaupun kewajiban bahwa kapal berhak menahan 20-30 persen kru di atas kapal. Tapi pada waktu pandemi kemarin mereka ditanyakan, atau ditawarkan, kamu mau mau pulang atau mau diam di atas kapal. Kondisi 2-3 bulan ke depan gaji full, tapi setelah itu lihat kondisi," jelas Dewa Susila.
Ketika kru yang ditawarkan itu bersedia, mereka ditahan di atas kapal dan tetap bekerja.
Namun demikian, jika sudah waktunya misalnya sudah 8-12 bulan bekerja di atas kapal, mereka harus diganti. Inilah yang dinamakan crew changes.
"Kan tetap ada acuan mereka 8 bulan maksimal 12 bulan sudah harus pulang. Karena kalau mereka sudah lebih dari waktu yang sudah ditentukan, secara psikologi kapal karena sudah waktunya itu pasti akan menggangu keselamatan kerja.
Artinya tidak teliti lagi, kelelehan dan secara mental kalau kita di atas kapal sekian lama pasti banyak terganggu, karena tidak bertemu keluarga, istri, suami dan sebagainya," demikian Dewa Susila.
I Nengah Satwika Bersyukur
Seorang pekerja migran asal Bali, I Nengah Satwika menyambut gembira pencabutan SK Kemenaker No 151 tahun 2020 Tentang Penghentian Sementara Penempatan Pekerja Migran Indonesia.
Menurut mantan kru Kapal Pesiar Carnival Splendor ini, jika SK tersebut tidak dicabut, akan menambah jumlah pengangguran di Bali.
"Yang jelas kita bersyukur atas dicabutnya (SK) itu. Bisa dibayangkan kalau SK itu tidak dicabut, berapa pengangguran yang bertambah," kata Nengah Satwika, Sabtu (1/8).
Menurut Satwika, pencabutan SK 151 tersebut bisa mempercepat pemulihan perekonomian.
Sebab, jumlah PMI asal Bali saat ini sebanyak 22 ribu.
Nengah Satwika mengatakan, beberapa cruise line sudah mulai beroperasi, seperti cruise line yang berbasis di Eropa.
"River cruise yang sudah mulai beroperasi sudah pasti memerlukan kru lagi untuk bekerja. Kalau ada SK itu peluang ini bisa diambil negara lain," kata Satwika.
Satwika mengatakan, pemberangkatan kru kapal pesiar bakal banyak terjadi pada Oktober 2020 nanti.
"Untuk sementara ini cruise ship yang basenya di US kemungkinan baru dibuka 1 Oktober. Jadi kalau tidak ada perubahan, nanti ada pemberangkatan kru kapal pesiar yang banyak di Bali. Australia berangkat 29 Oktober," katanya.
900 Pelaut
Ketua Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) Cabang Bali, Dewa Putu Susila mengatakan, pihaknya sudah menginformasikan pencabutan SK Kemenaker No 151 tahun 2020 itu ke negara luar terutama perusahaan kapal pesiar.
"Dan, sekarang kami bisa lebih sounding lagi ke perusahaan-perusahaan bahwa kita siap. Dalam waktu dekat kami rencanakan tanggal 4 Agustus ini mudah-mudahan tidak meleset," ujar Susila.
Menurut informasi terbaru yang ia dapatkan, sebanyak 900 PMI atau pelaut yang diminta untuk kembali bekerja kembali. Mereka rencananya diberangkatkan secara bertahap.
"Jadi rencana awal akan diberangkatkan 281 kru menggunakan pesawat carter, langsung dari Denpasar ke Doha, kemudian ke Milan. Karena joinnya mereka di Italia. Itu informasi yang sekarang ada," ungkap Dewa Susila.
Sedangkan 257 pekerja kapal yang batal berangkat pada 7 Juli lalu, direncanakan berangkat dari Jakarta.
Namun, masih memerlukan pemutakhiran dokumen terutama hasil VCR atau swab test yang sudah kadaluarsa.
"Sekarang pihak agen mengumpulkan lagi yang kemarin batal. Mereka kan secara otomatis ada yang VCR-nya sudah mati. Dalam artian, pada saat tiba di sana, VCR-nya itu masih berlaku 72 jam. Ini kita harus koordinasi kuat dengan pihak agen dan rumah sakit yang menangani ini agar ditemukan win win solution," demikian Dewa Susila. (win)