Pangan Organik Disebut Lebih Sehat Dibanding Non-organik, Ini Kata Ahli Kesehatan Masyarakat Unair
Meski pangan organik umumnya memiliki harga yang lebih tinggi, namun tetap digemari karena dianggap lebih sehat dikonsumsi.
TRIBUN-BALI.COM - Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan lingkungan berbanding lurus dengan naiknya tren mengonsumsi makanan berlabel organik.
Meski pangan organik umumnya memiliki harga yang lebih tinggi, namun tetap digemari karena dianggap lebih sehat dikonsumsi.
Pakar Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga ( Unair) Annis Catur Adi mengatakan, dari aspek gizi makro, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara pangan organik dan non-organik.
Namun, untuk zat-zat tertentu, seperti zat gizi mikro, pangan organik memiliki kandungan zat gizi lebih tinggi.
• AFC kembali Tunda Kualifikasi Piala Dunia 2022, Begini Reaksi PSSI
• Menteri Tito Sebut Indonesia Berpotensi Alami Resesi Bila Kontraksi Ekonomi Terus Terjadi
• Tutup Bulan Mutu Karantina 2020 di Bali, Menteri Edhy Minta BKIPM Tetap Solid Melayani
Sayuran organik, lanjut dia, memiliki kandungan vitamin mineral lebih tinggi jika dibandingkan dengan non-organik.
Misalnya vitamin C sebanyak 27 persen, zat besi 29 persen, dan fosfor 14 persen.
“Sejumlah penelitian juga menunjukkan, beberapa jenis sayuran organik memiliki kandungan mineral yang lebih tinggi daripada sayuran konvensional,” paparnya seperti dilansir dari laman Unair Rabu (12/8/2020).
Selain itu, Annis menyebut sejumlah hal yang menjadikan pangan organik banyak digemari.
Pertama, kata Annis, proses organik lebih meminimalisasi penggunaan bahan kimia, termasuk pestisida.
Sehingga organik dapat dikatakan lebih alami dan memiliki kandungan residu pestisida jauh lebih rendah. Bahkan di bawah batas aman.
Secara langsung maupun tidak langsung, residu pestisida yang tinggi dalam bahan pangan dapat berpengaruh terhadap kesehatan.
Daya racun pestisida sangat beragam dan sering kali tidak disadari, zat-zat tersebut akan tertimbun di dalam tubuh.
Meski begitu, bebas dari pestisida juga bukan berarti aman sepenuhnya.
“Keamanan pangan, bukan hanya terbebas dari bahaya kimia, tapi juga bahaya mikrobiologi dan fisik.
• Hari Pramuka, Jokowi Minta Pramuka Bentuk 2 Gerakan Nasional di Tengah Pandemi Covid-19
• Ulang Tahun ke-25, Lea Secret Number Dapat Kejutan dari Fans Indonesia dan Global
• Begini Perjalanan Kasus Kacung WHO hingga Jerinx SID Ditahan di Rutan Mapolda Bali
Karena itu, tetap perlu memperhatikan kemungkinan adanya cemaran lain, seperti jamur, organisme, dan mikroba,” jelasnya.
Alasan lainnya ialah pangan organik lebih ramah lingkungan.
Sebab, dihasilkan secara alami dari sistem pertanian organik dengan lebih memperhatikan keseimbangan ekosistem alam.
Annis menuturkan, syarat bagi suatu produk untuk mendapatkan label organik memang cukup ketat.
“Banyak produk yang tidak menggunakan pupuk kimia saja sudah diklaim produk organik. Mungkin tepatnya adalah produk hasil pertanian sehat ya. Karena itu, belum memenuhi syarat organik,” ucapnya.
Mengacu pada Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.06.52.0100 Tentang Pengawasan Pangan Olahan Organik, pangan organik diartikan sebagai pangan yang dihasilkan dari suatu sistem pertanian dengan menerapkan prinsip-prinsip keseimbangan ekosistem secara terpadu.
Lebih lanjut, sistem pertanian organik berkembang karena kesadaran akan lingkungan, keamanan pangan, dan kesehatan.
Sehingga, Annis menegaskan bahwa label organik tidak cukup menjadi jaminan bahwa makanan tersebut 100 persen aman.
Dia menambahkan, jika pangan tidak diperlakukan dengan baik, sangat memungkinkan ditumbuhi jamur.
“Semua pangan berisiko, hanya saja risiko bisa diperkecil,” ujar dia.
Annis berpesan masyarakat bijak dan cerdas dalam memilih makanan.
Selama makanan tersebut aman dan memiliki kandungan gizi yang sesuai, organik maupun non-organik bisa saja dipilih untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Benarkah Pangan Organik Lebih Sehat? Ini Penjelasan Pakar Unair",