Prof Windia: Eksistensi Subak Kini Justru Ikut Digerus oleh Desa Adat

Keberadaan subak di Bali ternyata kini semakin tergerus. Bukan hanya karena alih fungsi lahan yang semakin tinggi, tetapi karena desa adat

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/I Putu Supartika
Persawahan di areal Kesiman Kertalangu, Denpasar, Bali. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, I Wayan Sui Suadnyana

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Keberadaan subak di Bali ternyata kini semakin tergerus.

Bukan hanya karena alih fungsi lahan yang semakin tinggi, tetapi karena desa adat.

Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana (FP Unud), Prof Wayan Windia mengatakan, kini ada sebuah permasalahan baru di akar rumput.

Permasalahan tersebut yakni keberadaan subak yang eksistensinya kian dipepet dan digerus oleh desa adat.

"Alasannya adalah, Pulau Bali sudah dibagi habis oleh wilayah desa adat. Oleh karenanya, subak otomatis menjadi bagian dari desa adat," kata Windia dalam keterangan tertulisnya yang diterima Tribun Bali, Kamis (3/9/2020).

Windia yang juga sempat menjabat sebagai Ketua Pusat Penelitian (Puslit) Subak Unud ini mempertanyakan klaim yang dikeluarkan oleh desa tersebut.

Padahal faktanya, banyak kawasan desa adat berada dalam satu kawasan desa dinas.

Begitu pula sebaliknya, beberapa desa dinas berada dalam satu kawasan desa adat atau satu desa dinas berada dalam satu kawasan dengan desa adat.

"Faktanya, kawasan kewenangan desa dinas, desa adat, dan subak, memang saling tumpang tindih. Sastrawan Bali modern, Made Sanggra, menyebutkan, desa adat dan subak, masing-masing sebagai simbol lelaki (puruse), dan perempuan (predane)," jelasnya.

Windia mengatakan, struktur masyarakat di Bali yang rumit diakui Cliford Geertz dan tatanannya disebut sebagai masyarakat polisentris oleh ahli sosiologi McGinnis, 1999.

Masyarakat Bali memiliki banyak pusat/sentral kawasan dengan kewenangan tertentu sesuai fungsinya masing-masing.

Misalnya, di kawasan pemukiman adalah kewenangan desa adat (untuk urusan adat) atau desa dinas (untuk urusan ke-pemerintahan).

Kemudian di kawasan persawahan adalah kewenangan subak serta kawasan perkebunan adalah kewenangan subak-abian dan di kawasan pantai adalah kewenangan bendega.

"Masing-masing lembaga itu sudah memiliki peraturan perundang-undangan masing-masing. Semua dari mereka adalah juga melestarikan kebudayaan Bali. Kebudayaan Bali tidak hanya dilestarikan oleh desa adat," tegas Windia.

Halaman
12
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved