Prof Windia: Eksistensi Subak Kini Justru Ikut Digerus oleh Desa Adat
Keberadaan subak di Bali ternyata kini semakin tergerus. Bukan hanya karena alih fungsi lahan yang semakin tinggi, tetapi karena desa adat
Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Irma Budiarti
Oleh karena itu, Windia menganggap tidak benar ada yang mengklaim suatu kawasan tertentu sebagai kawasan desa adat, apalagi dengan alasan bahwa semua wilayah Bali sudah habis dibagi untuk kawasan-kawasan desa adat.
"Siapa yang membagi? Apa haknya untuk membagi? Apa dasar hukumnya?," tanya dia.
Prof Windia menyarakan, agar melihat kembali Undang-Undang Dasar (UUU) 1945 dalam Pasal 33 ayat (3) yang menyebutkan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
"Jadi, bumi Indonesia ini dikuasai oleh negara. Di Bali bukan dibagi habis oleh desa adat. Tetapi ada berbagai kelompok masyarakat yang memiliki kewenangan-kewenangan tertentu untuk kesejahteraannya," paparnya.
Untuk itu, guna menghindari friksi sosial di akar rumput, dirinya menilai diperlukan wadah koordinasi yang intensif antarlembaga di lapangan, baik desa adat, subak dan bendega.
Dengan demikian, mereka akan semakin kuat dalam menghadapi intervensi dari eskternal.
Dalam sejarahnya, kata Windia, memang selalu ada koordinasi antara subak dan desa adat di lapangan.
Misalnya, kalau di desa adat akan ada upacara ngaben, maka pimpinan desa adat akan berkoordinasi dengan pekase untuk melihat musim tanaman yang ditanam.
Jika di sawah sedang musim panen atau musim pengolahan tanah, maka bisa saja pelaksanaan upacara ngaben dicarikan hari baik yang lainnya.
Windia memperkirakan, munculnya friksi antara desa adat dengan subak di Bali bisa jadi berkaitan dengan masalah uang atau masalah ekonomi.
Baginya, globalisasi menyebabkan terjadinya kompetisi atau persaingan yang bebas dan ketat sehingga manusia menjadi pragmatis, individualis dan melulu mengejar profit.
"Konsep manusia seperti inilah yang akhirnya bisa menimbulkan friksi/konflik," tuturnya.
(*)