RUU Omnibus Law Disahkan, FSPM Bali Tetap Menolak 'Kami Merasa Janggal'
Pihaknya dari FSPM Regional Bali mengaku tetap melakukan kampanye penolakan, baik melalui sosial media dan sebagainya.
Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Eviera Paramita Sandi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Rancangan Undang-Undang atau RUU “Omnibus Law” Cipta Kerja resmi disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi Undang-Undang (UU) pada rapat paripurna, Senin (5/10/2020).
RUU Cipta Kerja merupakan RUU yang diusulkan Presiden dan merupakan RUU Prioritas Tahun 2020 dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2020.
Meski telah disahkan menjadi UU, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Regional Bali tetap menolak.
“Sikap kami ya tetap menolak,” kata Ketua FSPM Regional Bali, Anak Agung Gede Eka Putra Yasa saat dihubungi Tribun Bali melalui sambungan telepon dari Denpasar, Selasa (6/10/2020) siang.
Pihaknya dari FSPM Regional Bali mengaku tetap melakukan kampanye penolakan, baik melalui sosial media dan sebagainya.
FSPM pusat juga sudah menyurati Presiden Jokowi, anggota DPR dan beberapa lembaga yang menjadi bagian dari UU tersebut.
Sebelum UU tersebut masuk pada lembaran negara, maka pemberlakuannya belum sah untuk dilakukan.
Maka dari itu, pihaknya masih terus berupaya sekuat tenaga untuk menunda atau membatalkan keberadaan UU Cipta Kerja.
Agung Putra Yasa mengaku heran dengan disahkannya RUU Cipta Kerja oleh DPR.
Baginya, pengesahan RUU Cipta Kerja ibarat seperti kejar tayang atau kejar setoran.
Padahal, situasi negara saat ini sedang menghadapi pandemi Covid-19.
Disamping negara masih fokus menghadapi pandemi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah memberikan imbauan agar Omnibus Law klaster ketenagakerjaan ditunda terlebih dahulu karena ada penolakan dari berbagai pemangku kepentingan.
Namun, imbauan yang diberikan oleh Presiden justru tidak ditanggapi oleh DPR dan mereka seolah-olah harus mengesahkan atau memutuskan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang.
“Kami kan merasa janggal. Berarti kan ada sesuatu hal (lain) yang lebih urgensi yang dilakukan oleh DPR,” tegasnya.
Baginya, keberadaan keberadaan Omnibus Law sebenarnya bagus untuk tenaga kerja.
Namun pada klaster ketenagakerjaan ada beberapa yang cacat hukum atau banyak hak-hak buruh yang disunat.
“Jadi sangat disayangkan. Menurut kita di FSPM hal itu bisa dilaksanakan dengan tergesa-gesa tanpa memikirkan masukan-masukan dari pihak terkait yang tentunya menjadi stakeholder dari pembuatan undang-undang tersebut,” tuturnya. (*)