Ngopi Santai

Monumen Bajra Sandhi: Medan Perjuangan Sekaligus Sebuah Upaya Merawat Ingatan

1 Mei 2017, Hari Buruh Internasional. Saya bertemu Dewa Nyoman Karya di seputar Monumen Bajra Sandhi, Renon, Denpasar. Kala itu usianya 45 tahun.

Penulis: Widyartha Suryawan | Editor: Ady Sucipto
DOK. TRIBUN BALI/I NYOMAN MAHAYASA
Ilustrasi - Kawasan Monumen Bajra Sandhi 

Oleh: I Wayan Widyartha Suryawan*

1 Mei 2017, Hari Buruh Internasional. Saya bertemu Dewa Nyoman Karya di seputar Monumen Bajra Sandhi, Renon, Denpasar. Kala itu usianya 45 tahun.

Matahari bersinar cukup terik membuat dahinya yang sudah berkerut bercucuran keringat. Laki-laki asal Banjarangkan, Klungkung, itu menjinjing dagangannya dan mendekat ke depan Kantor Gubernur Bali. Di sana sudah berkumpul berbagai elemen dari mahasiswa hingga pekerja yang sedang melakukan aksi damai dan memperjuangkan aspirasinya. Pak Dewa pun menghampiri satu per satu peserta aksi dan menawarkan dagangannya sembari berkata: “lumpia… lumpia….”

Pak Dewa sudah beberapa tahun jualan lumpia di kawasan Renon. Jika ada kegiatan yang melibatkan banyak orang, lumpia jualannya tentu lebih cepat habis dibandingkan hari-hari biasa. Meski demikian, ia tetap harus bersabar karena penjual lumpia di areal itu tak hanya dirinya. Pedagang lainnya yang saya temukan ketika itu adalah Ni Nengah Suardani, seorang perempuan paruh baya asal Karangasem. Lumpia yang dia jual belum banyak pembeli karena datang terlambat ketika massa aksi sudah bubar dengan damai bin tertib.

Itu baru lumpia. Di titik lain di sekitar monumen Bajra Sandhi, ada juga pedagang bakso, penjual buah potong, hingga pedagang nasi lawar khas Bali yang lezat itu. Keberadaan pedagang-pedagang kecil itu mungkin saja dianggap mengganggu estetika kota hingga sering kita dengar mereka kejar-kejaran dengan petugas Satpol PP. Tetapi, bagi beberapa orang yang isi kantongnya pas-pasan seperti saya, keberadaan mereka tentu sangat membantu.

Di lain kesempatan, sembari lari-lari kecil mengelilingi Lapangan Renon, tak jarang saya lihat pasangan yang melakukan sesi pre wedding dengan latar bangunan menjulang bernama lengkap Monumen Perjuangan Rakyat Bali itu. Pasangan-pasangan tersebut menabur harapan agar kelak momen berlatar monumen yang diabadikan menjadi kenangan manis ketika mengarungi bahtera rumah tangga.

Lalu, ada juga rombongan dari berbagai daerah yang turun satu per satu dari bus. Mereka tampaknya sedang berdarmawisata di Bali dan memilih Monumen Bajra Sandhi sebagai salah-satu destinasi yang dikunjungi. Sementara emak-emak mencari keringat sembari meliuk-liukkan badan dan mengikuti gerak senam, anak-anak tak mau ketinggalan bermain bola. Jika sore tiba, di bawah pohon-pohon rindang di pinggir lapangan itu kerap menjadi ruang diskusi atau tempat bercengkrama para muda-mudi. Pada waktu-waktu tertentu, kawasan Bajra Sandhi Renon juga menjadi titik kumpul bagi para aktivis untuk menyuarakan aspirasi sebagai bagian dari proses berdemokrasi.

Pertemuan dengan kedua pedagang lumpia dan segala aktivitas yang saya jumpai itu semuanya adalah bentuk perjuangan di masa kini. Ada yang berjuang untuk urusan perut, menjaga kesehatan, merajut romantika, menyemai pemikiran, hingga menegakkan demokrasi. Dengan demikian, Monumen Bajra Sandhi tidak hanya mengajak kita bertamasya ke sebuah masa lampau melalui museum yang ada di dalamnya. Ia sejatinya merupakan medan perjuangan masyarakat Bali di masa lalu, kini, dan bahkan di masa mendatang. Sebagai ruang publik, kawasan Lapangan Renon – demikian kita sering menyebutnya – adalah potret sosial masyarakat Bali yang senyata-nyatanya tengah berjuang dengan caranya masing-masing.

Merawat Ingatan
Selain menjadi medan perjuangan, keberadaan Monumen Bajra Sandhi juga lekat dengan upaya merawat ingatan. Atau jika sedikit menyitir kata penulis Cekoslowkia, Milan Kundera: perjuangan itu adalah upaya melawan lupa. Secara fisik, ada berbagai cara untuk merawat ingatan. Ia bisa berbentuk manuskrip, artefak, peninggalan bersejarah, bangunan, dan sebagainya. Tak terkecuali monumen.

Di Indonesia, kita menjumpai banyak sekali monumen yang dibangun di berbagai daerah. Bapak Proklamator kita, Bung Karno, mencetuskan ide untuk membangun Monumen Nasional (Monas) di DKI Jakarta pada 1961. Ide tersebut barangkali semacam pengejawantahan jargon Jas Merah (jangan sekali-kali melupakan sejarah) yang mashyur itu. Dikutip dari Kompas.com, Monas adalah wujud ambisi Bung Karno untuk menunjukkan kebesaran bangsa Indonesia meskipun pada akhirnya diresmikan oleh penguasa Orde Baru pada 1975.

Demikian halnya Monumen Perjuangan Rakyat Bali Bajra Sandhi yang digagas Gubernur Bali, Ida Bagus Mantra. Jika di sisi luar kita menyaksikan berbagai aktivitas warga yang sedang ‘berjuang’ untuk hari ini dan masa depan, maka di dalam monumen kita diajak untuk mengingat perjuangan di masa lampau. Di dalam monumen, kita disuguhkan 33 diorama yang melukiskan perjuangan rakyat Bali dari masa pra sejarah hingga pascakemerdekaan.

Jika ditelisik, bangunan Monumen Bajra Sandhi sangat kaya akan falsafah yang membumi bagi masyarakat Bali. Dari segi tata ruang kawasan, monumen berbentuk genta (bajra) itu sangat kental dengan arsitektur khas Bali. Bentuknya mengambil konsep lingga-yoni, yaitu pertemuan antara purusha (pria) dan pradhana (perempuan) yang melambangkan kesuburan.

Meski kental dengan filosofi Hindu Bali, Monumen Bajra Sandhi menunjukkan dialektika lokal-nasional yang sesungguhnya saling menguatkan. Simbol-simbol ke-Indonesia-an ditandai dengan 17 anak tangga di pintu utama monumen, 8 tiang agung di bagian dalam monumen, dan ketinggian monumen 45 meter. Ya, angka-angka tersebut adalah tanggal kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.

Refleksi

Begitulah Monumen Bajra Sandhi menjadi medan perjuangan sekaligus sebuah upaya merawat ingatan. Di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang, kita tentu sudah jenuh menghabiskan lebih banyak waktu di rumah. Kita diharuskan beradaptasi dengan kebiasaan baru, termasuk mengindari kerumuunan. Tetapi, itulah bentuk tanggungjawab sekaligus dukungan kita terhadap perjuangan dalam memutus rantai penyebaran virus corona.

Kelak, ketika masa pandemi telah usai, kita akan kembali ke Bajra Sandhi tanpa perasaan waswas seperti sedia kala. Mungkin untuk berolahraga, bercengkrama, merajut romantika, atau mengisi ruang demokrasi dengan pekik ‘Merdeka!’. Atau, barangkali untuk sekadar membeli lumpia...

*Penulis adalah warga Bali, tinggal di Kutuh, Kuta Selatan

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved