Sponsored Content
FSP Bali Nilai UU Cipta Kerja Berdampak pada Turunnya Kesejahteraan Pekerja
FSP Bali pada Bulan Juli 2020 lalu telah melayangkan surat tertulis secara resmi kepada Gubernur Bali I Wayan Koster untuk menyampaikan aspirasi
Penulis: Adrian Amurwonegoro | Editor: Wema Satya Dinata
Laporan wartawan Tribun Bali, Adrian Amurwonegoro
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Federasi Serikat Pekerja Bali mengambil sikap atas disahkannya Omnibus Law Undang - Undang Cipta kerja, mereka menilai disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja dapat berdampak pada merosotnya kemampuan pekerja di Bali dalam mempertahankan budaya dan adat istiadat bali yang menjadi daya tarik pariwisata Pulau Dewata.
FSP bali pada Bulan Juli 2020 lalu telah melayangkan surat tertulis secara resmi kepada Gubernur Bali I Wayan Koster untuk menyampaikan aspirasi mereka karena UU Cipta Kerja disinyalir dapat berdampak pada kemerosotan kesejahteraan buruh yang merupakan bagian daru masyarakat Bali.
Hal ini disampaikan Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) FSP Bali provinsi Bali, Putu Semara Kandi saat dijumpai Tribun Bali di Kantor setempat, Jalan Kertapura IV, No.7, Denpasar Barat, Kota Denpasar, Bali, pada Sabtu (24/10/2020).
"Berdasarkan pembahasan internal FSP Bali, tentang sejumlah poin pasal UU Cipta Kerja, utamanya klaster ketenagakerjaan, kami FSP Bali menyatakan tidak sependapat dengan UU tersebut," kata Putu.
Baca juga: Update Covid-19 di Denpasar, 25 Oktober: Pasien Sembuh Bertambah 21 Orang, Kasus Positif 23 Orang
Baca juga: Antisipasi Penyebaran Covid-19, Satpol PP Denpasar Tertibkan Kerumunan di Gerai Makanan Gatsu Tengah
Baca juga: Jenazah Laki-laki Ditemukan Telah Meninggal Dunia di Pemecutan Klod Denpasar, Sempat Alami Sesak
Putu beranggapan, masyarakat Bali membutuhkan kebijakan pemerintah yang menjamin kesejahteraan secara sustainable atau berkelanjutan untuk memenuhi keberlangsungan adat dan budaya mereka.
"Pada akhirnya berimplikasi pada sosial, adat dan budaya, padahal itulah yang menunjang pariwisata Bali, di mana masyarakat atau pekerja di Bali membutuhkan biaya tidak sedikit dalam melestarikan budaya dan adat ini, jika mereka menurun kesejahteraanya maka akan berdampak pada keberlangsungan budaya dan adat," sambungnya menjelaskan.
Alumni Hukum Universitas Mahasaraswati itu juga menyebut, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terlalu tergesa-gesa dalam pembahasan UU Cipta Kerja yang disahkan pada 5 Oktober 2020 lalu, ini terlihat dari perubahan halaman yang terjadi beberapa kali, bahkan terakhir setelah sampai di sekretariat negara ada pasal yang dihapus mengakibatkan UU ini cacat secara formil.
"Pembahasan juga dilakukan dengan kecepatan luar biasa, bahkan di hari libur pun tetap ada pembahasan serta disahkannya pun tengah malam," ucapnya.
Pihaknya mendukung adanya uji materiil terhadap UU Cipta Kerja khususnya pasal-pasal dalam klaster ketenagakerjaan yang dinilai merugikan sektor buruh atau pekerja.
Sehingga apabila UU Cipta Kerja tetap diundangkan dan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo tidak mengeluarkan Perppu maka diprediksi berdampak merugikan pada pekerja.
"Dampaknya pada pekerja, men-down grade kesejahteraan pekerja, tidak hanya dalam segi materiil tapi juga kenyamanan bekerja dan job security," sebutnya.
Pria asal Bangli itu merinci banyak pasal-pasal dihapus dari Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 mengenai ketentuan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan yang mengatur rincian kompensasi PHK.
"Pasal 161-172 UU tenaga kerja dihapuskan, itu men-down grade kesejahteraan, di Pasal 167 kita lihat mengatur detail PHK, orang mendapat pesangon, penghargaan masa kerja sebagaimana UU 13/2003 sekarang malah dihapuskan, menjadi gamang," paparnya.
Kemudian, lanjut dia, pada pasal 156 ayat (4) poin c, pada UU 13 tahun 2003 tentang uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15 persen dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
Baca juga: Ramalan Zodiak Keuangan 26 Oktober 2020: Gemini Beruntung, Keuangan Capricorn Berkembang Pesat
Baca juga: Kenali Gejala Bells Palsy yang Mirip Stroke
Baca juga: Pangeran Brunei Abdul Azim Meninggal di Usia 38 Tahun, Ini Profil dan Sosok Kontroversialnya