Kisah Ni Wayan Badengwati, Mantan Juara Pencak Silat Dunia yang Jadi Pekerja Serabutan 

Mantan atlet pencak silat Bakti Negara, Ni Wayan Badengwati yang pernah menjadi juara dunia tahun 1982 kini menjadi pekerja serabutan.

Penulis: Putu Supartika | Editor: Widyartha Suryawan
Tribun Bali/Putu Supartika
Mantan atlet pencak silat Bakti Negara, Ni Wayan Badengwati yang pernah menjadi juara dunia tahun 1982 kini menjadi pekerja serabutan. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Dulu adalah pesilat yang menjadi juara dunia, kini kerja serabutan untuk hidup sehari-hari.

Itulah sosok mantan atlet pencak silat Bakti Negara, Ni Wayan Badengwati yang pernah menjadi juara dunia tahun 1982 ini.

Ia menjadi juara satu atau mendapat medali emas dalam Festival dan Invitasi Internasional Pencak Silat kelas D (55 - 60 kg) putri yang berlangsung di Jakarta pada Agustus 1982.

Namun sepulang dari Jakarta, ia kembali menjadi tukang suwun (buruh jinjing) di Pasar Badung.

Kepada Tribun Bali, Badengwati yang berasal dari Angantelu, Manggis, Karangasem ini bercerita tentang masa lalunya ketika datang ke Denpasar saat remaja dan menjadi buruh serabutan.

Baca juga: Terdampak Pandemi Covid-19, Penjualan Gitar Ukir Wayan Tuges Kini Andalkan Marketplace

Kemudian oleh saudaranya ia diajak menjadi tukang suwun dan tinggal di Banjar Gemeh dengan upah Rp 5 sampai Rp 10 sekali angkut.

Sambil menjadi buruh tukang suwun, Badengwati belajar pencak silat Bakti Negara.

"Paginya jadi buruh tukang suwun, sorenya belajar silat. Guru saya, I Nengah Oncegan, juga tukang panggul di Pasar Badung," kata Badengwati saat ditemui di kediamannya, Jalan Indrajaya Gang III Nomor 9, Desa Ubung Kaka, Denpasar, Minggu (25/10/2020) siang.

Ni Wayan Badengwati menunjukkan piagam penghargaan yang pernah diperlolehnya.
Ni Wayan Badengwati menunjukkan piagam penghargaan yang pernah diperlolehnya. (Tribun Bali/Putu Supartika)

Selain mendapat medali emas di Festival dan Invitasi Internasional Pencak Silat, ia juga sempat berlaga di PON tahun 1981 dan mendapat emas.

Begitupun saat pra PON ia juga mendapat medali emas.

“Saat PON saya melawan orang Jabar, orang Aceh dan Sumatra Utara, tiga kali saya bertanding. Kalau pas juara dunia lupa orang dari mana, tapi lawan saya perawakannya tinggi,” tutur perempuan yang memiliki empat anak ini.

Tapi sayang, nasib wanita kelahiran 1962 ini tak sesukses atlet lainnya.

Apalagi dirinya buta huruf dan tak pernah mengenyam bangku sekolah formal.

Ia menuturkan beberapa teman atlet seangkatannya ada yang menjadi pegawai negeri.

Baca juga: Kisah Warga di Perbatasan, Hidup Makin Sulit di Masa Pandemi Covid-19 dan Sejak Malaysia Lockdown

“Ya namanya nasib. Coba kalau ditawari, ya jadi tukang sapu saja, pasti mau saya, kan lumayan juga gajinya,” katanya.

Sepulang dari Jakarta dan membawa medali emas, ia hanya mendapat uang Rp 300 ribu dari Gubernur Bali saat itu dan itupun menurut pengakuannya keluar dari kantong sang gubernur.

Ia pun kembali ke pekerjaannya sebagai tukang suwun hingga suatu hari ia mengalami kecelakaan dan kakinya patah.

Saat bekerja menjadi tukang suwun sepulang dari Jakarta, banyak kasak-kusuk di antara temannya sesama tukang suwun tentang dirinya yang menjadi juara.

“Banyak teman tukang suwun yang tahu, tukang suwune ento juara dunia silat (tukang suwun itu juara silat dunia), begitu mereka bilang. Tapi saya ya biasa saja,” kisahnya.

Namun sejak mengalami kecelakaan dan kakinya patah, ia menghabiskan lebih banyak waktunya di rumah.

“Ya kadang buat porosan (pelengkap upakara) kalau ada yang minta. Men sekarang lagi sulit begini tidak ada yang beli,” aku istri dari I Made Wijaya ini.

Kadang-kadang jika ditawari, ia ikut menjadi panitia dalam pertandingan.

“Ya kalau diajak saya ikut. Apapun pekerjaannya itu, karena saya tidak tahu huruf, kadang angkut matras atau membawa makanan,” katanya.

Kadang dirinya pun merasa iri dengan perhatian pemerintah kepada atlet saat ini.

“Coba sekarang saya jadi atlet dan dapat juara Asian Games, pasti dapat uang Rp 1.5 miliar, dapat jadi PNS juga,” katanya.

Baca juga: Kisah Letkol Revilla Oulina, TNI Perempuan Pertama yang Mendapat Tugas Sebagai Chief di Sudan

Kini yang tersisa hanya kenangan pernah menjadi atlet yang pernah menjuarai event internasional dan piagam yang ia simpan rapi di rumahnya.

Sementara untuk penerusnya, anaknya yang kedua juga pernah menjadi juara pencak silat.

Selain itu, saat ini cucunya juga menekuni pencak silat Bakti Negara dan mendapat juara I pada tingkat gugus. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved