Ngopi Santai

Belajarlah Untuk Bertambah Bodoh

Makin banyak orang yang menempuh pendidikan tinggi, namun literasi emosi dan spiritual mereka tidak berbanding lurus dengan literasi intelektualnya.

Penulis: Sunarko | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
Image by Annica Utbult from Pixabay
Ilustrasi benda kecil 

Siapa yang menyangkal bahwa internet merupakan gudang informasi dan pengetahuan? Ayo acungkan tangan hehehe

Ingin tahu informasi dan pengetahuan apapun atau belajar darinya, cukup tulis kata kunci yang dicari di mesin pencarian, dan daftar panjang informasi akan muncul. Tidak hanya berupa teks tetapi juga gambar dan video, bahkan tayangan langsung (live) bisa diikuti berkat adanya internet.

Kemudahan mengakses informasi dan pengetahuan ini mendorong orang-orang yang haus pengetahuan (knowledge junkie) menjadi makin bernafsu untuk terus menimba atau mengoleksi informasi serta pengetahuan.

Kalau tidak update informasi, dia jadi merasa dianggap tertinggal atau tidak keren. Karena itu, ada satu jenis baru gangguan kecemasan (anxiety disorder) di era internet yang terkait dengan perasaan takut tertinggal ini, yaitu Fear of Missing Out (FOMO).

Pendek kata, kini banyak muncul kolektor pengetahuan. Bahkan, makin asing istilah dan kosa kata yang disampaikan oleh seorang kolektor pengetahuan (karena saking update-nya dia dengan pengetahuan dari internet), ia bisa dianggap makin keren, makin jempol.

Ironisnya, ketika jumlah manusia yang well-informed dan berpengetahuan makin banyak, literasi justru makin jauh merosot. Maksud literasi di sini ialah kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.

Makin banyak orang yang menempuh pendidikan tinggi, namun literasi emosi dan  spiritual mereka tidak berbanding lurus dengan literasi intelektualnya.

Itulah mengapa baru-baru ini pakar logoterapi Indonesia, Hanna D. Bastaman, menyebut abad 21 yang mencolok ditandai dengan kehadiran internet, sebagai abad krisis karakter (the age of the crisis of character).

                                              ***

“Dunia dalam genggaman”, di satu sisi kalimat promosi sebuah produk ini menyiratkan kekaguman atas perkembangan teknologi komunikasi & informatika; tetapi di sisi lain juga menyingkap kerentanan manusia di hadapan teknologi. Teknologi menjadi pisau bermata dua.

Memang ada segudang manfaat dalam genggaman berkat kemajuan teknologi komunikasi dan informatika. Informasi dan pengetahuan kini bukan lagi barang mewah. Akan tetapi, seabreg kemudaratan juga dalam genggaman.

Menurut Erling Kagge, penulis buku Silence in The Age of Noise
era internet menciptakan banyak sekali godaan berupa interupsi dan distraksi (pengalihan perhatian) pada manusia. Apalagi sejak hadirnya smartphone atau ponsel pintar dalam 20 tahun terakhir. 

Konsekuensinya, meskipun manusia di Bumi kini makin jauh melek informasi dan pengetahuan, mayoritas dari mereka masih dalam tahap “tahu” (know). Paling banter ya tahap “mengerti” atau “memahami” (understand).

Sedangkan “tahu” pun belum tentu mengetahui secara lengkap. Kebanyakan cuma tahu sepotong-potong, cuplikan-cuplikan atau  snapshot.

Padahal, antara tahu, paham, menghayati, menyadari dan mempraktikkan tentu berbeda, bahkan bisa berbeda jauh. Mereka seperti anak-anak tangga.

Tentu saja, “mengerti” (understand) masih mending, karena ia bisa diartikan sebagai mengetahui secara terstruktur dan sistematis.

Nah, karena kebanyakan orang baru berada di tahap “tahu”, maka yang terjadi kini adalah kebisingan dan kegaduhan.

Penjelasannya begini: tatkala internet, terutama media sosial, menyediakan kesempatan yang luas untuk berkomunikasi bahkan secara real time, maka “tahu” berubah menjadi saling merasa tahu, dan menjelma menjadi kebisingan (noise), bahkan pertikaian. Inilah cacophony.

Di era ini, kata Erling Kagge, jeda (pause) dan hening (silent) menjadi barang langka.

Akan tetapi, bagi banyak kalangan, memilih diam-hening di era sekarang justru bukan lagi dinilai emas. Silence is not golden anymore. Diam justru dianggap perunggu, dinilai sebagai pilihan yang bodoh.

Oleh karena itu, kini diam dan hening bukan saja menjadi barang langka, malahan sangat langka. Sampai ada yang bercanda “diam itu spesies yang sangat langka, dan karena itu perlu dilindungi undang-undang agar tidak punah…”.

Abad kebisingan ini tentu saja mempromosikan manusia-manusia yang pintar berkomentar bahkan pintar adu mulut, termasuk yang bermulut besar seperti Donald Trump.

                                                    ***

Sekali lagi, mengetahui dan memahami itu barulah pada tataran inteligensia, yang masih rentan terjerumus ke dalam sikap sok pintar.

Dibutuhkan pengendapan (kontemplasi) dalam keheningan (silence) untuk menuju penghayatan (internalisasi), dan selanjutnya pengamalan (practice) dari apa yang diketahui agar bisa benar-benar mengetahui secara hakikat, dan meraih kesadaran (consciousness) serta pencerahan (enlightenment).  

Pakubuwono IV dalam Serat Wulangreh mengatakan ngelmu iku kelakone kanthi laku. Untuk benar-benar berilmu, tidak cukup seseorang hanya mengetahui, tetapi dia harus juga menjalani atau mempraktikkannya (laku).

Bahkan ada istilah “kalah ilmu ananging menang laku”, yakni orang berpendidikan tinggi bisa kalah sukses dengan orang berpendidikan rendah yang kaya pengalaman hidup.

Di sini kemudian ada paradoks. Kita mesti melakukan hal yang berlawanan.

Di era internet dimana orang-orang menjadi sangat terhubung (highly-interconnected ) setiap waktu dalam lalu lintas komunikasi yang padat, justru  diperlukan tekad untuk menjaga jarak (distancing) atau menjauhi internet sebagai bagian dari membangun kenormalan baru (new normal) yang sehat dan positif.

Istilah dari Carl Newport dalam bukunya Digital Minimalism, manusia era internet membutuhkan digital declutter.

Jika pikiran (otak) anda ibarat komputer atau perangkat teknologi digital (katakanlah ponsel pintar), semakin banyak aplikasi atau fitur-fitur di ponsel, maka semakin banyak kapasitas/ruang penyimpanan (storage) yang dibutuhkan di ponsel untuk data baru.

Apabila informasi atau data kian berjejal, maka tumpukan data digital itu akan memperlambat proses kerja ponsel. Kerjanya jadi lemot, dan karena itu perlu untuk dibersihkan secara rutin. Itulah yang disebut digital declutter.

Nah, “komputer insani” pun penting untuk dibersihkan secara berkala. Internetisasi atau konektivitas perlu diimbangi dengan keberanian untuk melakukan diskonektivitas. Intinya, pikiran juga butuh dibersihkan bahkan mungkin di-setting ulang.

Seperti kekacauan digital, ketidakmampuan dalam mengorganisasi paparan informasi dan pengetahuan akan membuat hidup lebih rumit dan stres.

Sebab itu, yang diperlukan tidak hanya meng-update ilmu, tapi juga membuang ilmu serta pandangan lama yang tidak relevan dan konstruktif. Salah-satu caranya, melalui keheningan.

Digital declutter kurang lebih identik dengan unlearning dalam konsep Alvin Tofler. Yakni proses mengeksplorasi apa yang telah kita simpan dalam sistem internal pengetahuan kita, dan menghapus data-data yang tidak relevan serta kadaluwarsa.

Jadi, belajar bukanlah cuma proses menambah dan mengoleksi, tetapi juga proses nengurangi dan membuang.

Dengan demikian, di era internet, hakikat manusia pembelajar justru adalah manusia yang terus merasa bodoh. Dengan kerendahan hati untuk merasa bodoh, ia akan mudah men-delete data dan pandangannya yang tidak relevan, sehingga daya tampung pikirannya jadi lebih luas untuk menerima ilmu baru.

Jadi, seseorang yang merasa pintar sejenis kepintaran gudang pengetahuan berjalan (baca: kolektor pengetahuan), justru orang itu menyingkap kebodohan sendiri yang sesungguhnya. Jumlah orang seperti ini banyak di era internet. Jangan-jangan saya salah-satunya hehehe. Semoga tidak.

So, tetaplah rendah hati dan merasa bodoh dalam kepintaran.  Bukankah kerendahan hati adalah tanda dari jiwa yang sehat? Bagaimana pendapat(an) anda?

Denpasar, 31 Oktober 2020

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved