Pekan Professor Summit 2020, Bahas Tantangan Profesor di Masa Pandemi Covid-19

Apalagi saat memasuki pandemi Covid-19 yang bersamaan dengan era digitalisasi dan industri 4.0 banyak menimbulkan persoalan baru yang harus segera

Editor: Wema Satya Dinata
Istimewa
Rektor ITS Prof Dr Ir Mochamad Ashari MEng 

TRIBUN-BALI.COM - Minimnya jumlah profesor di Indonesia menjadi salah satu permasalahan di bidang akademik.

Apalagi saat memasuki pandemi Covid-19 yang bersamaan dengan era digitalisasi dan industri 4.0 banyak menimbulkan persoalan baru yang harus segera dicarikan pemecahannya secara cepat, tepat, dan efektif.

Menyikapi hal tersebut, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menghelat agenda Professor Summit 2020, sebuah forum yang mewadahi pemikiran dan karya inovatif profesor di Indonesia untuk membangun dan menyelesaikan persoalan bangsa, sejak Senin (3/11/2020) selama sepekan.

Kegiatan tahunan Dewan Profesor (DP) ITS yang baru diadakan untuk kali kedua ini diikuti 45 profesor (guru besar) dari seluruh Indonesia dan tiga pelaku profesional yang bekerja sama dengan Majelis Dewan Guru Besar PTN Badan Hukum (MDGB PTNBH), Forum Dewan Guru Besar Indonesia (FDGBI), dan Asosiasi Profesor Indonesia (API).

Baca juga: Cegah Penyebaran Covid-19, Kemenparekraf Ajak Pelaku Usaha Kuliner di Bali Terapkan Protokol CHSE

Baca juga: 9 Jenis Makanan yang Aman Dikonsumsi oleh Penderita Asam Urat

Baca juga: Setelah Ikuti Pelatihan, Peserta Program ICRG di Bali Mulai Kerjakan Struktur Tanam Terumbu Karang

Rektor ITS Prof Dr Ir Mochamad Ashari MEng mengungkapkan kegiatannya ini mengambil tema Challenges of Professors in the Era of Covid-19 Pandemic and Beyond atau Tantangan Profesor di Era Pandemi Covid-19 dan Sesudahnya.

"Tema ini merupakan tanggapan terhadap permasalahan yang sangat aktual pada saat ini yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan seluruh dunia,"ujarnya.

Ia menceritakan bagaimana inovasi para pemikir merupakan kunci dari penyelesaian masalah yang terjadi di masyarakat, khususnya ITS sendiri.

Seperti bagaimana ITS mengumpulkan berbagai tenaga untuk membuat face shield sebagai tanggap darurat dari tidak adanya masker di lapangan pada awal-awal pandemi.

“Ketidaksiapan Indonesia menghadapi pandemi mendorong kami (ITS, red) membuat proyek face shield dan berhasil memproduksi 170 ribu selama tiga bulan, lalu kami bagikan secara gratis ke rumah sakit hingga puskesmas dan dari Aceh hingga Papua,” ujar Ashari.

Guru besar Teknik Elektro ITS itu juga mengungkapkan bagaimana peran inovasi industri 4.0 seperti karya hasil kolaborasi ITS dengan Universitas Airlangga dalam membuat robot Raisa yang sangat membantu tenaga medis dalam menangani pasien Covid-19.

“Robot Raisa ini sangat berguna khususnya di awal masa pandemi, sebab saat itu rumah sakit di Surabaya kekurangan sumber daya manusia akibat tenaga medis yang banyak terkena Covid dan harus dikarantina,” ungkapnya.

Sementara itu, Ketua API Prof Dr Ir H Ari Purbayanto MSc menyatakan para profesor di Indonesia saat ini masih belum merdeka.

Ia sendiri menganggap profesor di Indonesia belum bersatu.

Sehingga, ia berharap melalui kegiatan ini semua profesor dapat saling memberikan arahan dan membantu satu sama lain, sehingga menjadi lebih maju khususnya wilayah ASEAN.

Baca juga: Layani Rute Khusus Kargo Denpasar-Hongkong, Garuda Indonesia Angkut 30 Ton Komoditas Ekspor Bali

Baca juga: BLT Subsidi Gaji Mulai Cair, Pantau Rekening, Berikut Cara Ceknya

Baca juga: Viral Video Mata Jenazah Pasien Covid-19 Hilang, Satgas Probolinggo: Itu Tidak Benar

“Para profesor Indonesia tidak boleh hanya diam saja agar negara tidak salah arah. Kita harus terus meningkatkan kualitas dan kuantitas, memberi masukan kepada pemerintah dan mampu membawa negara ini menjadi lebih maju,” ungkapnya.

Ari juga menyayangkan kuantitas profesor di Indonesia sebanyak 5.389 orang yang terhitung masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan 268 juta jumlah penduduk Indonesia.

Apalagi, sebanyak 45 persen dari jumlah tersebut atau 2.395 profesor masih berada di 11 PTNBH yang terpusat di Pulau Jawa.

“Kami belum merdeka sebab masih terkungkung di kampus masing-masing, saya sedih melihat kualitas wilayah pelosok sebab terlalu terpusat di Jawa. Mengapa profesor tidak diberikan kebebasan mengajar di kampus-kampus lain?” keluh Ari mempertanyakan.

Ia juga menyesali bagaimana gelar profesor di Indonesia yang terlalu terpaku pada publikasi Scopus.

Menurutnya, seharusnya profesor mampu berinovasi dan diakui manfaatnya, selain menulis di jurnal Scopus yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan dari gelar profesor.

Namun, kenyataannya jika belum terakreditasi Scopus maka ia tidak akan diakui sebagai profesor.

Selain itu, ia juga menyorot adanya topik penelitian yang sebenarnya sangat berkualitas, namun bisa saja tidak terdanai karena keterbatasan dana yang tersedia.

“Dalam hal ini Malaysia masih jauh lebih baik dari kita, sebab mereka setiap membuat proposal langsung mendapat dana, sementara kita harus diseleksi sebab dana yang dibatasi,” ungkap Ari.

Pada kesempatan yang sama, Ketua DP ITS Prof Dr Ir Nadjadji Anwar MSc berharap adanya forum untuk bertukar informasi mengenai pemikiran-pemikiran dan karya-karya inovatif yang telah dihasilkan oleh para professor. Sehingga dapat membangun dan menyelesaikan persoalan bangsa.

“Melalui kegiatan ini saya harap dapat menjadi wadah untuk meningkatkan sensitivitas para profesor agar bisa menjaga idealisme, integritas, dan mengutamakan kemanfaatan dalam berkarya,” pungkasnya.(*)

Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul Professor Summit 2020, Bahas Tantangan Profesor di Era Pandemi Covid-19,

 

Sumber: Surya
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved