Raden Mattaher Jadi Pahlawan Nasional, Panglima Perang yang Ditakuti, Berikut Sosok dan Silsilahnya

pengusulan Raden Mattaher sebagai pahlawan nasional sudah dilakukan beberapa kali karena syaratnya cukup berat

Editor: Kambali
KOMPAS.com/Suwandi
Tangkapan layar adegan Raden Mattaher saat berunding di rumahnya mengenai strategi menghadapi Belanda, dalam film dokumenter produksi Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Kepri. 

Puncak keganasan Raden Mattaher berhasil menaklukkan pos pasukan Belanda di Bayung Lincir. Dia bergabung bersama pasukan Suku Anak Dalam (SAD) dari Bahar, yang dipimpin Raden Perang.

Baca juga: Ketua LVRI Buleleng Sebut Data Pemakaman di Taman Makam Pahlawan Çurasthana Amburadul

Dalam serangan itu, kepala Bea Cukai dan pengawalnya mati terbunuh. Banyak senjata laras pendek milik Belanda dapat dirampas.

Pada penyerangan itu, uang sebesar 5.000 golden dan uang 30.000 ringgit cap tongkat di dalam brangkas milik perusahaan minyak berhasil dirampas pasukan Raden Mattaher.

Peti kas baja berisi uang tersebut dibawa SAD ke Bahar dan lalu dibongkar.

Setelah mengalami banyak kekalahan, Belanda kemuian menambah kekuatan dari Batavia.

Semua daerah di Jambi digempur habis-habisan. Maka, Sultan Thaha Saifuddin gugur pada 23 April 1904.

Kematian Sultan Thaha sempat memukul mental Raden Mattaher. Namun demikian, sebagai panglima perang, dia tetap mengobarkan semangat perlawanan.

Namun kekuatan Belanda terus bertambah. Banyak daerah juga telah dikuasai Belanda.

Pada penghujung 1907, Raden Mattaher hendak diungsikan ke Batu Pahat, Malaysia. Uang 500 ringgit sebagai bekal telah disiapkan.

Sebelumnya, beberapa keluarga keturunan Sultan Thaha Syaifuddin dan saudara Raden Mattaher sudah mengungsi lebih dulu.

“Aku tidak sampai hati meninggalkan kalian dalam kesusahan dan mengalami penyiksaan. Sementara aku selamat dari Belanda. Aku tetap di sini, menunggu Belanda sampai peluru menembus kulit. Aku ingin mati syahid,” tulis Arman dalam bukunya, mengutip pernyataan Raden Mattaher.

Hari Kamis gerimis datang. Gemuruh bersahutan. Sebelum tengah malam Raden Mattaher bersalin pakaian. Dia mengenakan pakaian paling bagus dan pinggangnya dibebat. Lalu mengisi peluru senapang mauscher.

Adiknya, Raden Achmad, duduk menunggui senapang. Pintu belakang dijaga orang dari Mentawak, Gabuk.

Suasana malam hening, Raden Mattaher membunyikan kecapi, kemudian shalat malam.

Sekitar pukul 03.00 pagi, pasukan Belanda telah mengempung rumahnya. Untuk terakhir kali, Raden Mattaher diminta menyerah. Namun dia menolak, sampai kulitnya tertembus peluru.

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved