Ketut Kariyasa Tegaskan Tolak RUU Pelarangan Minuman Beralkohol Sebut Pengusul Sangat Gigih
Ia menilai, RUU ini sangat kontroversial, terlebih DPR RI sebelumnya sudah menghabiskan banyak energi dalam pembahasan UU "Omnibus Law" Cipta Kerja
Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Eviera Paramita Sandi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Sejumlah fraksi di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengusulkan Rancangan Undang-undang (RUU) Pelarangan Minuman Beralkohol.
RUU ini diusulkan oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan salah satu anggota dari Fraksi Partai Gerindra.
Anggota Badan Legislasi DPR RI Dapil Bali, I Ketut Kariyasa Adnyana mengatakan, para pengusul sudah membuat rancangan akademik RUU Pelarangan Minuman Beralkohol.
Pihak yang mengusulkan juga telah mempresentasikan RUU tersebut, baik dari naskah akademik, bahayanya minuman beralkohol dan sebagainya.
Baca juga: Daftar Minuman yang Dilarang Dalam RUU Larangan Minuman Beralkohol, Termasuk yang Tradisional
"Karena sudah masuk longlist, dia ingin agar RUU ini segera dibahas dan menjadi UU prioritas tahun 2021," kata Kariyasa Adnyana saat dihubungi Tribun Bali melali sambungan telepon dari Denpasar, Jum'at (13/11/2020).
Namun sebelum menjadi RUU prioritas, berbagai usulan yang disampaikan oleh berbagai pihak nantinya masih akan diharmonisasi oleh Badan Legislasi DPR RI.
Kariyasa menegaskan, bahwa pihaknya di Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bersama Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) menilai bahwa RUU ini tidak usah dilanjutkan untuk dibahas menjadi RUU prioritas.
Ia menilai, RUU ini sangat kontroversial, terlebih DPR RI sebelumnya sudah menghabiskan banyak energi dalam pembahasan UU "Omnibus Law" Cipta Kerja.
Apalagi, dalam masa jabatan DPR RI periode sebelumnya, RUU Pelarangan Minuman Beralkohol itu sudah pernah diusulkan.
"Ternyata pengusul ini sangat gigih terus dia, periode DPR sebelumnya juga sudah diusulkan. Nah tapi waktu itu kan Pemerintah tidak setuju, itu lebih cenderung kepada pengaturan. Kita pun dari Fraksi PDIP itu inginnya lebih pada pengaturan," kata Kariyasa.
Politisi asal Buleleng ini menilai, jika UU nantinya menitikberatkan pada pelarangan minuman beralkohol dan memiliki sanksi pidana maka secara hukum tidak lagi sebagai upaya membina masyarakat, melainkan akan membuat penjara penuh.
Apalagi dalam usulan RUU tersebut, sanksi pidana bagi masyarakat yang meminum alkohol bisa antara tiga bulan sampai dua tahun.
"Nah tentu kami dari Fraksi PDI Perjuangan kemarin dengan tegas belum oke, jangan sampai ini menjadi skala prioritas," jelasnya.
Kariyasa menegaskan, pihaknya secara pribadi dan juga Fraksi PDIP akan bersikap lantang untuk melakukan penolakan terhadap RUU Pelarangan Minuman Beralkohol jika nantinya diloloskan dalam agenda prioritas.
Ia berharap, berbagai komponen di DPR RI, terutama wakil masyarakat dari daerah penghasil minuman beralkohol, juga harus bersikap dan menolak adanya RUU Pelarangan Minuman Beralkohol tersebut.
Kariyasa pun mengajak para DPR untuk mengerjakan berbagai hal yang lebih positif di tengah pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
Berbagai hal positif dimaksud seperti pemilihan ekonomi dan sebagainya.
"Jangan lagi membuat hal-hal yang kontroversial seperti ini," ajaknya.
Kariyasa juga mengajak anggota DPR RI Dapil Bali lainnya, termasuk komponen pariwisata, tokoh-tokoh agama juga harus ikut menolak RUU tersebut.
"Jangan sampai dengan adanya hal-hal begini nanti bisa memecah NKRI ini. Karena kita tidak ingin situasi sudah seperti ini (Covid-19), daerah-daerah dalam keadaan kesusahan. Kemudian muncul RUU ini, ini kan akan membahayakan persatuan kita," tegasnya.
Kepentingan Pariwisata dan Budaya
Kariyasa menuturkan, keberadaan minuman beralkohol tidak serta merta bisa dilarang, terutama bagi daerah-daerah yang bergantung dengan pariwisata.
Terlebih jika daerah pariwisata tersebut, seperti Bali, lebih banyak mengandalkan wisatawan mancanegara yang mempunyai budaya minum minuman beralkohol.
Melalui alasan itu pula, pariwisata Bali menyediakan berbagai minuman beralkohol di berbagai tempat seperti club, bar dan berbagai hotel.
"Tentu kita tidak ingin Indonesia dan Bali ini menjadi negara tertutup," kata Sekretaris Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Bali itu.
Saat ini perekonomian Bali sedang mengalami keterpurukan paling dalam dan minus hingga dua digit pada kuartal II 2020.
Namun nantinya, setelah ditemukan vaksin dan kehidupan berjalan normal, sektor pariwisata Bali diharapkan pariwisata hidup kembali.
Apalagi, hampir sebanyak 80 persen masyarakat di Pulau Dewata hidupnya bergantung dari keberadaan sektor pariwisata.
Di sisi lain, keberadaan Bali juga tidak lepas dari kehidupan masyarakat yang memegang teguh sistem hukum adat yang sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.
Dalam melakukan ritual upacara tertentu, masyarakat adat di Bali juga membutuhkan minuman beralkohol sebagai salah satu sarana yang tidak boleh dipisahkan.
Oleh karena itu, banyak masyarakat Bali memproduksi minuman fermentasi yang mengandung alkohol, seperti brem, arak dan sebagainya.
"Nah ini kan juga bagian dari prosesi untuk Bhuta Kala, nah itu tujuannya. Keseimbangan dengan alam dan lain sebagainya itu kan bagian dari prosesi agama dan itu sudah turun temurun diproduksi," tegasnya.
Bermanfaat Luas
Keberadaan minuman beralkohol di Pulau Dewata seperti arak, brem, wine manggis, wine salak, anggur dan sebagainya banyak diproduksi oleh para petani dengan skala rumahan.
Bahkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali saat ini tengan berupaya menggalakkan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang memproduksi bahan baku minuman beralkohol tersebut.
Kariyasa menegaskan, hal itu dilakukan melalui terbitnya Peraturan Gubernur Bali (Pergub) Nomor 1 tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali.
Regulasi ini dikeluarkan oleh Pemprov Bali guna melindungi para petani yang memproduksi minuman beralkohol seperti arak, berem dan sebagainya.
Tak hanya itu, melalui adanya minuman beralkohol juga mempunyai manfaat yang besar terhadap para petani di Bali, khususnya petani anggur di Buleleng.
Sebelum adanya pengolahan minuman anggur fermentasi, banyak petani yang menebang anggurnya dikarenakan tidak laku dijual saat panen raya tiba.
Kondisi ini setali tiga uang dengan petani yang membudidayakan salak dan manggis di Karangasem.
Maka dari itu, hasil panen dari petani tersebut kini sudah bisa diolah menjadi minuman beralkohol seperti berem, arak, wine dan sebagainya.
"Tentu ini kan mempunyai dampak yang cukup luas bagi Bali," jelas pria lulusan Fakultas Pertanian Universitas Udayana (Unud) itu.
Bahkan, kata Kariyasa, bukan hanya Bali saja yang mendapatkan manfaat bagi keberadaan minuman beralkohol.
Saat ini sudah banyak daerah yang memproduksi minuman lokal seperti Papua, Manado, Ambon, Sumatera hingga Nusa Tenggara.
Seperti diberitakan Kontan (Kompas Gramedia Group), DPR ingin membuat undang-undang yang melarang minuman beralkohol.
Pengusul yang diwakili Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi PPP, Illiza Sa’aduddin Djamal mengatakan, spirit dan tujuan RUU tentang larangan minuman beralkohol selaras dengan tujuan negara sebagaimana termaktub dalam alinea ke-4 UUD 1945.
Adanya RUU Minuman Beralkohol ini juga untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol.
“Tujuannya melindungi masyarakat dari dampak negatif, menciptakan ketertiban, dan ketentraman di masyarakat dari para peminum minuman beralkohol,” kata Illiza saat rapat di Baleg, Selasa (10/11).
Illiza menyebut, minuman beralkohol belum diatur secara spesifik dalam bentuk UU, sebab saat ini hanya dimasukkan pada Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan pasal yang sangat umum dan tidak disebut secara tegas oleh UU.
Illiza mengungkapkan, sejumlah poin usulan dalam RUU Minuman Beralkohol, diantaranya setiap orang yang memeluk agama Islam dan agama lainnya dilarang untuk memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan/atau ,menjual dan mengkonsumsi larangan minuman beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, minuman beralkohol tradisional, dan minuman beralkohol campuran atau racikan yang memabukkan.
Kemudian, setiap orang yang akan menggunakan, membeli, dan/atau mengkonsumsi minuman beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, minuman beralkohol tradisional, dan minuman beralkohol campuran atau racikan, untuk kepentingan terbatas, harus berusia minimal 21 tahun dan wajib menunjukkan kartu identitas pada saat membeli di tempat – tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang – undangan.
Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahardiansyah menilai tidak ada urgensi pembentukan RUU Minuman Beralkohol. Sebab, aturan terkait hal ini sudah terakomodasi salah satunya dalam KUHP.
Ia khawatir adanya RUU Minuman Beralkohol ini dapat memiliki efek domino.
Misalnya di sejumlah daerah di Indonesia menggunakan minuman beralkohol dalam ritual adat. (*)