Ngopi Santai

Malam Gulita Jiwa

ungkapan the dark night of the soul bisa dimaknai sebagai krisis spiritual (seseorang) dalam perjalanan menuju keterhubungan dengan Tuhan

Penulis: Sunarko | Editor: Wema Satya Dinata
Pixabay
Ilustrasi manusia dan suasana senja. 

Dua hari lalu, tanpa disangka teman anak saya tiba-tiba bertanya dan sepertinya ingin memancing diskusi yang “berat”. Bagian yang tidak kusangka itu adalah topik pembicaraan yang dilemparnya: tentang spiritualitas dan filsafat.

Dia menyodorkan istilah yang saya belum pernah baca, yakni the dark night of the soul.

"Oke, saya coba cerna dulu ya," jawab saya dalam percakapan via WA pada 6 Desember 2020 pukul 08.00 pagi waktu Denpasar itu.

Percakapan kemudian sempat terhenti, karena saya akan menyetir mobil.

Baca juga: Dialog Dini Hari Rilis Single Payung Hitam, Terinspirasi dari Kisah Pejuang HAM

Singkat cerita, kemudian saya tahu bahwa the dark night of the soul  adalah judul puisi yang ditulis oleh seorang mistikus Spanyol abad 16, yang bernama St. John of The Cross (Santo Yohanes dari Salib).

Menurut wikipedia, ungkapan the dark night of the soul bisa dimaknai sebagai krisis spiritual (seseorang) dalam perjalanan menuju kebersatuan (union) dengan Tuhan. 

Beberapa hari kemudian, percakapan kami berlanjut. Seperti biasa, saya-lah yang sebetulnya terstimulasi untuk berdiskusi lebih jauh, karena saya memang demen diskusi tentang spiritualitas dan filsafat.

Akhirnya, saya menjawab pertanyaan teman anak saya itu dengan tulisan sebagaimana di bawah ini.

                                                ****

Di sini saya akan menulis tentang “Malam Gulita Jiwa”. Iya, kata-kata ini jelas nyontek judul puisi Santo Yohanes dari Salib itu, karena “Malam Gulita Jiwa" itu kan sekadar terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Mistikus modern Eckhart Tolle ternyata juga menyebut kata-kata itu dalam beberapa kesempatan ceramahnya.

Rasanya, saya bisa memahami maksud dari apa yang diungkapkan Tolle mengenai the dark night of the soul.

Tetapi saya ingin lebih bercerita tentang pencerapan saya atas pengalaman hidup saya sendiri dan dari apa yang saya pahami (lewat buku maupun kejadian yang dialami orang-orang lain) mengenai "gulita malamnya jiwa" itu.

Sebetulnya, ada juga “malam yang remang-remang”, malam dengan cahaya yang redup. Ada pula senja, yaitu setahap sebelum langit berubah menjadi gelap.

Kalau ada malam gulita jiwa, tentu boleh ada senja jiwa.

Nah, saya akan bicara dulu tentang keadaan senja jiwa. Senja ini tidak terkait dengan konotasi umum tentang usia senja.

Mari mulai.

Ketika nilai-nilai (values) dan beliefs yang existing dari seseorang dianggapnya sudah kurang/tidak aplikabel dan relevan untuk dijadikannya sebagai pegangan atau sumber acuan hidup; dan dalam waktu bersamaan dia belum mendapatkan pegangan hidup baru yang bisa menjawab kebutuhan/tuntutan hidupnya, maka seseorang itu bisa disebut sedang mengalami kebingungan eksistensial.

Ini menurut Dr. Viktor E. Frankl, bapak logoterapi. Dan izinkan saya menyebut keadaan ini sebagai "senja jiwa" atau the dusk of the soul.

Baca juga: 21 Tahun Art & Space: Penghormatan Atas Dedikasi Alm Made Wianta yang Suarakan Perdamaian Lewat Seni

Dalam "senja jiwa", seseorang sedang bingung tentang eksistensi dirinya sendiri. Yakni tentang bagaimana harus beradaptasi dan me-ngepas-kan diri di tengah lingkungan yang cepat berubah dan lebih kompleks yang dia hadapi.

Di sini belum ada terpaan masalah-masalah (berat), tetapi baru terjadi semacam value shocks atau culture shocks di hadapan lingkungan dan kondisi eksternal.

Oleh karena itu, tahap "senja jiwa" ini sama sekali bukanlah gejala klinis gangguan kejiwaan. Ini lebih mengenai bagaimana menemukan jawaban yang melegakan dan dianggap masuk akal tentang siapa diri, asal-muasalnya, dan mau ke mana; serta tentang apa makna (meaning) hidup.

Seseorang yang mengalami kebingungan eksistensial pada dasarnya sedang dalam proses untuk merumuskan kembali “kosmologi" diri dan  kehidupannya.

Bagaimanapun, karena dalam kebingungan, kondisi terasa mulai agak menghimpit, dan kadang pikiran sulit fokus. 

Jika kebingungan eksistensial berlanjut tak terjawab atau diatasi, dan apalagi seseorang malah berusaha mengabaikan atau menganggapnya tidak ada (padahal dirasakannya), baik itu karena pertama “tuntutan” lingkungan yang tidak memungkinkannya memiliki kesempatan untuk mengevaluasi diri; dan kedua karena saking kuatnya iming-iming yang diberikan oleh lingkungannya, sehingga dia keasyikan, dan kebingungannya pun tenggelam serta seakan terjawab oleh “kompensasi material dan pencitraan” yang diterimanya,  maka pada suatu titik, kebingungan eksistensial ini akan berubah menjadi kehampaan eksistensial.

Ini mulai berbahaya. Kehampaan eksistensial ini adalah kondisi meaninglessness. Hidup seperti tak bermakna. 

Kehampaan eksistensial inilah sesungguhnya fenomena yang mewabah pada manusia modern dewasa ini.

Tidak sedikit kini orang merasa sepi dan hampa di tengah keramaian dan ketercukupan (bahkan keberlimpahan) materi. 

Berdasarkan pengamatan, nilai-nilai dan beliefs yang dianggapnya tidak relevan lagi dan masuk akal itu, bisa jadi karena memang values and beliefs-nya itu sendiri memang dangkal dan profan.

Tapi mungkin juga values and beliefs itu tidak lagi praktikal dan aplikabel bukan lantaran dangkal. Mereka bisa jadi masih mengandung nilai-nilai keutamaan hidup yang dalam (virtues), namun ia tampak (terlalu) sederhana dan simpel, karena tidak disertai narasi dan penjelasan tentangnya yang up-to-date atau ilmiah. Sementera, di sisi lain, lingkungan kehidupannya sudah dan terus berubah makin kompleks

Bukankah, konon, salah-satu "paspor" untuk disebut manusia modern adalah jika orang mampu menjelaskan hal-hal dengan saintifik, dengan cara yang bisa diterima logika (umum)?

Ketika karena tingginya tingkat pendidikan, seseorang bertumbuh dan kemudian bergerak kemana-mana sehingga menghadapi lingkungan yang lebih kompleks dan rumit (sophisticated), ajaran dan nilai-nilai keutamaan hidup yang terkemas sederhana memang jadi terlihat kuno, kolot, dan non-sense. Sepertinya tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman, dan untuk dijadikan pegangan. 

Jadi, dimana letak solusinya?   

(bersambung)

Denpasar, sore 10 Desember 2020

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved