PHRI Sebut Sekitar 133.000 Orang Batal Berlibur ke Bali, Nilai Refund Mencapai Rp 48,4 Miliar

Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran mengatakan, nilai refund tiket pesawat sudah mencapai Rp 48,4 M. Sekitar 133.000 Orang Batal Berlibur ke Bali.

Editor: Widyartha Suryawan
Tribun Bali/Rizal Fanany
Ilustrasi - Suasana Pantai Double Six, Seminyak, Badung, yang mulai dipadati pengunjung, Kamis (30/7/2020). 

TRIBUN-BALI.COM - Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan, sekitar 133.000 orang batal berlibur ke Bali.

Adapun nilai refund tiket pesawat sudah mencapai Rp 48,4 miliar.

Hal itu terkait kebijakan baru pemerintah yang menetapkan syarat bepergian ke luar kota harus mengantongi  rapid test antigen.

Kebijakan tersebut pun berimbas pada perubahan rencana orang-orang menghabiskan hari libur Natal dan Tahun Baru.

Demikian pula rencana berlibur ke Pulau Dewata, Bali.

Banyak yang melakukan pengembalian tiket pesawat maupun membatalkan pemesanan hotel.

Selain keputusan pemerintah mewajibkan tes cepat antigen, Pemerintah Provinsi Bali juga mengeluarkan aturan bagi mereka yang akan berkunjung ke Bali pada 18 Desember 2020 hingga 4 Januari 2021.

Salah satunya, wajib membawa hasil tes swab atau PCR.

Baca juga: Perhatian: Dilarang Pesta Saat Malam Tahun Baru, Masuk Bali via Pesawat Wajib Tes Swab!

"Data dari OTA (Online Travel Agency atau Agen Perjalanan Online) adalah Rp 48,4 miliar total nilai refund dari pesawat udara," kata Maulana kepada Kompas.com, Jumat (18/12/2020).

Dampak dari kebijakan itu, kata dia, terutama pada cancellation.

Ia mengatakan, bisnis pariwisata seperti hotel, restoran, dan sebagainya adalah bisnis yang sangat membutuhkan kepercayaan publik.

Mereka yang akan melakukan perjalanan adalah orang-prang yang melakukan perjalanan dengan terjadwal dengan biaya pribadi.

Maulana menyebutkan, kebijakan yang dibuat mendekati hari-H liburan menyebabkan kekacauan di sektor pariwisata.

"Cancellation last minute kebijakan kita lihat sebagai inkonsistensi kebijakan pemerintah yang wnggak stabil, yang bisa berubah anytime. Last minute kebijakan itu menimbulkan tambahan biaya," kata Maulana.

Ia menilai, informasi soal kebijakan baru ini simpang siur.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved