Serba serbi
Kisah di Balik Hari Raya Tumpek Wayang di Bali
Bhatara Kala kemudian ingin memakan Hyang Kumara karena lahir Tumpek Wayang. Hyang Kumara terus berlari dari pengejaran Bhatara Kala
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Berbicara tentang agama, budaya, dan sastra Hindu, di Bali rasanya selalu akan menarik.
Satu di antaranya adalah tentang wuku, atau siklus penanggalan Jawa dan Bali berumur 7 hari atau sepekan.
Sabtu (9/1/2021) adalah satu di antara hari suci umat Hindu di Bali yaitu Tumpek Wayang.
Hari suci ini jatuh setiap 6 bulan (210 hari) sekali, dalam kalender Bali. Atau pada Saniscara Kliwon Wuku Wayang (Sabtu).
Jro Mangku Ketut Maliarsa, menjelaskan mitologi menurut lontar Kala Pati Tattwa.
Baca juga: Otonan Saat Tumpek Wayang, Ini Maknanya Dalam Hindu Bali
Baca juga: Terkait Pandemi Covid-19, PHDI Keluarkan Edaran untuk Melakukan Upacara Saat Tumpek Wayang
Dikisahkan bahwa dahulu, lahirlah Bhatara Kala yang merupakan anak dari Bhatara/Dewa Siwa.
“Bhatara Kala lahir akibat nafsu tak terkendali Bhatara Siwa, saat beliau keluar dari Siwalaya untuk jalan-jalan menaiki lembu Nandini. Beliau bepergian bersama Dewi Uma yang merupakan saktinya atau istrinya,” jelas Jro mangku kepada Tribun Bali, Jumat (8/1/2021).
Ketika dewa-dewi ini berjalan-jalan, angin kencang datang yang dihembuskan oleh Hyang Bayu.
Angin itu membuat kain Dewi Uma tersingkap, dan memperlihatkan bagian tubuhnya. Tanpa sengaja hal tersebut membuat Dewa Siwa tidak bisa mengendalikan nafsu birahinya.
“Namun Dewi Uma menolak Dewa Siwa, dengan alasan tidak pantas melakukan hal tersebut,” jelasnya.
Oleh sebab nafsunya yang besar, maka kama Bhatara Siwa jatuh dan berceceran dari langit ke samudera di bawahnya.
Kama itu bergejolak, saking hebatnya. Kemudian lahir dan menjadi raksasa tiada lain itulah Bhatara Kala.
Dewa Wisnu dan Dewa Brahma kemudian memelihara sang raksasa ini.
Sampai suatu saat, ia bertanya tentang siapa ayah kandungnya. Disebutkanlah bahwa Dewa Siwa adalah ayahnya.
“Kemudian Bhatara Kala ingin mencari Dewa Siwa ke Siwaloka. Lalu diakuilah raksasa itu memang anaknya dan diberi nama Bhatara Kala,” jelas Jro mangku.
Bhatara Kala lahir tepat ketika Tumpek Wayang. Ia dianugerahi oleh Dewa Siwa, bisa memakan siapa saja yang lahir saat wuku atau Tumpek Wayang.
Tak dinyana, Bhatara Siwa kembali memiliki putra bernama Hyang Kumara.
Lahirnya pun sama dengan Bhatara Kala yakni ketika Tumpek Wayang.
Bhatara Kala kemudian ingin memakan Hyang Kumara karena lahir Tumpek Wayang.
Hyang Kumara terus berlari dari pengejaran Bhatara Kala, karena tidak ingin dilahap sang kakak.
Sampai akhirnya ia berhasil bersembunyi di sebuah tempat, ketika seorang dalang sedang mementaskan wayang.
Sang Hyang Kumara bersembunyi di dalam plawah alat musik gender agar bisa selamat.
Bhatara Kala datang, dan menanyakan kepada dalang tersebut apakah Hyang Kumara ke sana.
Sang dalang menolongnya dan mengaku tidak tahu.
Bhatara Kala yang kelelahan, akhirnya melahap atau menyantap sesaji yang ada di depan tempat dalang mementaskan wayang.
Ki dalang menasehati Bhatara Kala, bahwa sesajen itu tidak boleh dimakan karena merupakan persembahan kepada dewa.
Bhatara Kala pun merasa bersalah, dan ia berjanji anak yang lahir ketika Tumpek Wayang harus diruwat dengan tirta wayang sapuh leger agar bisa selamat.
Serta menetralisasi sifat buruk atau kala dari sang anak.
Bhatara Siwa yang tahu bahwa Bhatara Kala ingin memakan adiknya, mengatakan bahwa ia bisa memakan Hyang Kumara ketika ia besar nanti.
Namun di sisi lain, Bhatara Siwa memastu Hyang Kumara agar tetap kecil sampai akhir hayatnya.
Sehingga tidak bisa dimakan oleh Bhatara Kala.
Dari kisah inilah, hingga sekarang dipercayai bahwa seseorang yang lahir saat wuku Wayang harus diruwat dengan banten sapuh leger.
“Kalau tidak diruwat dengan tirta sapuh leger dari pementasan wayang, secara rasa kurang baik dan anak ditakutkan akan melakukan hal-hal negatif."
"Sehubungan dengan perlu adanya penetralisir dengan cara seperti dimaksud, juga memberikan upah kepada nyama papat atau catur sanak agar kita tetap dijaga, dilindungi dan diayomi secara niskala,” sebutnya.
Sebab kelahiran Tumpek Wayang, adalah kelahiran yang dianggap tenget. Jiwa anak yang lahir saat Tumpek Wayang, kata dia, keras karena pengaruh sifat-sifat negatif yaitu keraksasaan.
“Mebayuh sapuh leger diyakini membantu menyelamatkan sang anak, agar hidupnya selamat, rahayu dan panjang umur. Hal ini harus dilandasi dengan keyakinan yang sangat mendalam,” tegas Jro mangku.
Lanjutnya, alangkah baiknya anak yang lahir saat Wuku Wayang atau tepat saat Tumpek Wayang tetap mengikuti pegangan sastra pada lontar Kala Pati Tattwa.
Sehingga menyelamatkan anak tersebut dari sifat-sifat buruk karena disebut kelahiran salah wetu. (*)