Berita Bali
PHDI Bali Imbau Umat Sembahyang di Rumah Masing-masing, Ini Makna Siwaratri yang Dirayakan Esok
Ketua PHDI Bali, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Sudiana mengimbau umat agar merayakan Siwa Ratri di rumah masing-masing atau di merajan rumah.
Penulis: Putu Supartika | Editor: Widyartha Suryawan
Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Umat Hindu akan merayakan hari raya Siwa Ratri, Selasa (12/1/2021) besok.
Namun, saat ini masih dalam situasi pandemi Covid-19 dan sejumlah daerah di Bali melaksanakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Ketua PHDI Bali, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Sudiana mengimbau umat agar merayakan Siwa Ratri di rumah masing-masing atau di merajan rumah.
Apalagi dalam perayaan Siwa Ratri ini tidak difokuskan dalam satu pura.
"Sebaiknya lakukan di rumah. Karena yang utama itu niat. Dimanapun dilakukan esensinya sama," kata Sudiana.
Dengan melakukan bratha Siwa Ratri di rumah akan dapat menghindarkan diri dari kerumunan sehingga tidak tertular Covid-19.
Pada perayaan tahun lalu, memang banyak yang merayakan malam Siwa Ratri di pura maupun di pantai.
Akan tetapi saat ini diimbau agar tak ada yang merayakan malam Siwa Ratri di pantai, apalagi di tempat terlarang.
"Kemarin-kemarin ramai sekali yang merayakan ke pura atau pantai. Tahun ini cukup di rumah atau merajan," pintanya.
Apabila ada yang melakukan persembahyangan ke pura wajib menaati protokol kesehatan.
Pengempon pura juga wajib mengecek suhu pemedek dan menyiapkan tempat cuci tangan.
Sementara untuk kapasitas di areal pura yakni 25 persen saat setiap sesi persembahyangan.
Hal ini dilakukan agar umat bisa benar-benar menjaga jarak.
Jangan sampai perayaan Siwa Ratri ini kembali menimbulkan klaster Covid-19.
Baca juga: POPULER BALI: Derai Air Mata Keluarga Pramugari Sriwijaya Air di Bali | Hari Ini PPKM Dimulai
"Semua mengikuti arahan dari pemerintah dan surat edaran PHDI, MDA dan Gubernur terkait pelaksanaan upacara agama," katanya.
Ia menambahkan, brata yang dilakukan oleh umat Hindu yang merayakan yakni mona atau tidak bicara, jagra atau tidak tidur dan upawasa atau tidak makan dan minum.
Makna Siwaratri
Berikut adalah makna hari raya Siwaratri menurut Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda.
Artikel di bawah ini pernah diterbitkan Tribun Bali pada Senin (15/1/2018).
Dalam ajaran agama Hindu, pendekatan kita kepada Tuhan bisa dengan berbagai cara.
Maka disebutkan tidak ada satu jalan yang final untuk menuju Tuhan.
Silakan lakukan sesuai dengan kemampuan.
Yang terpenting adalah rasa tulus dan ikhlas. Konsep itu adalah konsep yoga.
Sementara kita di Bali secara umun menjalankan konsep karma dan bakti.
Dengan berbuat baik sudah cukup. Tapi setiap ritual dan upacara sudah menjadi trend sendiri.
Sehingga saat kita tidak melaksanakan, seakan-akan dosa kita tidak dilebur.
Setelahnya lagi berlumuran dosa.
Konsep Siwa Ratri tidak hanya begadang semalam suntuk.
Baca juga: 5 Wilayah di Bali Terapkan PPKM Mulai Hari Ini, Tempat Wisata Tidak Ditutup
Tapi bagaimana membangun kesadaran dalam diri.
Begadang adalah jagra, artinya tangiang, waspada, eling, mulat sarira.
Itu saripati dari perayaan Siwa Ratri.
Inikah Malam Penebusan Dosa?
Siwaratri seperti yang yang sering kita jumpai sebelum-sebelumnya, bukanlah malam yang penuh keheningan, melainkan kebisingan.
Ironis memang, malam yang suci ini justru kerap dijadikan kebut-kebutan di jalan raya hingga pamer pacar di pura.
Sesungguhnya hal tersebut bukanlah suatu wujud perayaan Hari Suci Siwaratri, melain Bhutaratri.
Ketika kita berbicara mengenai Siwaratri, kita harus mengetahui konsepnya.
Dalam aspek ajaran Siwa Sidhanta, Siwa merupakan Tuhan yang memiliki tiga wujud, yakni Parama Siwa, Sadha Siwa dan Siwa Atman.
Sementara dalam ajaran Hindu secara umum, Siwa adalah dewa yang bertugas sebagai pemralina atau pelebur alam semesta beserta isinya.
Sementara Ratri artinya malam atau gelap.
Malam atau kegelapan yang dimaksudkan di sini ialah, ketidaktahuan.
Di sinilah Siwa hadir sebagai penunjuk jalan, dari jalan gelap menuju jalan terang atau kebodohan menuju kecerdasan.
Dewa Siwa-lah sebagai agen perubahan itu.
Dewa Siwa sebagai sebuah kekuatan yang menuntun manusia membangun kualitas menjadi yang lebih baik.
Jadi, bukan berarti Siwaratri adalah malam bergadang semalam suntuk, peleburan dosa dan sebagainya.
Kehadiran Siwa tidak hanya terjadi pada malam Siwaratri, tetapi hadir setiap hari.
Malam Siwaratri itu adalah malam untuk menegaskan kembali kehadiran Sang Hyang Siwa dalam diri kita sebagai Siwa Atman.
Sangat disayangkan, kalau malam Siwaratri ini justru dijadikan ajang kontestasi diri, seperti kebut-kebutan di jalan hingga pamer pacar di pura.
Akhirnya, bukan kecemerlangan yang didapatkan, tapi Bhutaratri (kegelapan).
Dalam ajaran Siwaratri, ada sebuah cerita tentang seorang pemburu bernama Lubdaka.
Sebenarnya, ini merupakan cerita dengan makna ‘bersayap’.
Baca juga: Sehari Setelah Saraswati Disebut Banyu Pinaruh, Apa Maknanya?
Pemburu yang dimaksudkan di sini bukanlah pemburu dalam arti sebenarnya, tetapi yang dimaksudkan adalah pemburu Tuhan sejati.
Kata sato (binatang) dalam cerita itu merupakan makna dari kebenaran. Itulah sebenarnya yang terjadi.
Jadi Siwaratri bukanlah sekadar bergadang semalam suntuk.
Bukan karena sudah bergadang sampai pagi, berarti saya sudah melakukan Siwaratri, bukan begitu.
Walaupun dalam teks dikatakan, ‘Lubdaka pun tanpa sengaja begadang pada malam hari itu,’ itu harus dipahami sebagai sebuah tindakan tanpa pamrih.
Bentuk persembahan pada Siwa, (Lubdaka) naik pohon lalu memetiknya satu persatu, itu merupakan cerminan bahwa dia (Lubdaka) berusaha untuk meningkatkan kualitas kesadaran budhinya menuju tingkat manah lalu ahamkara.
Sebab ketika budhi ini menguasai manah, kemudian manah menguasai indria (ahamkara), itulah kehidupan yang diinginkan.
Sebab, tanpa itu semua, berarti kita gagal melaksanakan misi penebusan dosa, karena tidak ada instrumen yang dipakai untuk mencapai moksa. (*)