Serba Serbi
Watugunug Runtuh, Ini Maknanya Dalam Ajaran Hindu
Kajeng Kliwon Pamelas Tali, sering disebut Kajeng Kliwon Watugunung Runtuh.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Laporan Wartawan Tribun Bali Anak Agung Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kajeng Kliwon Pamelas Tali, sering disebut Kajeng Kliwon Watugunung Runtuh.
Dalam perhitungan sasih kalender Bali, bahwa Kajeng Kliwon ada tiga.
Diantaranya, Kajeng Kliwon Enyitan, Kajeng Kliwon Uwudan, dan Kajeng Kliwon Pamelas Tali.
"Kajeng Kliwon Pamelas Tali menurut keyakinan Hindu, merupakan hari suci yang datangnya setiap 6 bulan sekali. Hari suci ini tidak bisa lepas dengan perhitungan wuku," jelas Jro Mangku Ketut Maliarsa, kepada Tribun Bali, 24 Januari 2021.
Baca juga: Kelahiran Redite Kliwon Watugunung, Bijaksana Tapi Terkesan Sombong
Baca juga: Kajeng Kliwon, Ini Bahayanya dan Banten yang Harus Dihaturkan
Baca juga: Tumpek Wayang Bertepatan dengan Kajeng Kliwon, Apa Maknanya?
Lanjutnya, wuku Watugunung merupakan wuku yang ke -30 atau berada pada urutan terakhir dari 30 wuku berdasarkan kalender Bali.
"Adanya penyebutan Kajeng Kliwon Pamelas Tali, tidak bisa lepas dengan mitologi matinya I Watu Gunung yang dibunuh oleh Bhatara Wisnu," sebut pemangku asal Bon Dalem ini.
I Watu Gunung adalah anak seorang raja Kundala Dwipa yang bernama Dang Hyang Kula Giri.
Raja ini mempunyai istri 2 orang yaitu Dewi Sinta dan Dewi Landep.
Suatu ketika Dewi Sinta sedang hamil, dan ditinggalkan oleh sang raja untuk bertapa.
Namun lama sang raja tidak datang ke kerajaan sampai akhirnya hamilnya Dewi Sinta makin berumur tua.
Hendaklah sang dewi menyusul raja ke tempat pertapaan.
Namun sayang, di tengah perjalanan lahirlah anaknya.
Anak yang lahir ini jatuh di atas batu besar dan lebar, maka diberikan ia nama I Watu Gunung oleh Bhatara Brahma.
Bahkan anak ini juga mendapat anugerah dari Bhatara Brahma, menjadi anak yang sakti mandraguna.
Konon ia tidak bisa mati oleh siapapun, kecuali oleh Bhatara Wisnu.
"Oleh karena saktinya, maka anak ini menjadi sombong, angkuh, ingin menguasai semua kerajaan," jelas jro mangku.
Dan memang benar saja, raja pun takluk kepadanya.
Suatu saat I Watu Gunung juga menyerang kerajaan ayahnya, dan takluk lalu memperistri kedua permaisuri raja tersebut.
Ketika sedang bercengkerama untuk mencari kutu pada kepala I Watu Gunung, ada bekas luka.
Di sana barulah Dewi Sinta teringat, bahwa dahulu anak ini pernah dipukul dengan sendok nasi.
Ketika anak itu meminta makan tetapi belum masak dan matang.
Kala itu sang ibu (Dewi Sinta) marah, lalu dipukulah anaknya sampai ada tanda pada kepalanya.
"Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan antara anak dan ibu, maka ibunya meminta agar dicarikan madu dan tidak lain adalah istrinya Bhatara Wisnu yang bernama Dewi Laksmi," sebutnya.
Demikian kisahnya, kata dia, dalam lontar Medang Kamulan.
Pemangku Pura Campuhan Windhu Segara ini menjelaskan bahwa berbagai versi dari mitologi ini.
Namun pada intinya sama saja.
"Dari mitologi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Kajeng Kliwon Pamelas Tali bermakna untuk menghilangkan/memisahkan ikatan kebodohan. Sebab kebodohan akan mengakibatkan penderitaan. Sehingga Kajeng Kliwon ini tidak bisa lepas dengan hari suci candung watang, hari mepaid-paidan, hari suci urip, hari panegtegan, hari pangeredanan, sebutnya.
Serta berkaitan erat sekali dengan hari suci Saraswati, untuk memuja keagungan Dewi Saraswati dan memperingati hari turunnya Weda atau ilmu pengetahuan.
Maka Kajeng Kliwon Pamelas Tali, juga berkaitan dalam satu minggu ke depan sampai pada hari suci Saraswati untuk melepaskan kebodohan.
"Intinya adalah sebagai umat manusia, harus menuntut ilmu agar lepas dari ikatan kebodohan, dan tidak sombong atau angkuh layaknya ilmu padi makin berisi makin merunduk," tegas mantan kepala sekolah ini.
Di samping itu, bahwa sudah lumrah Kajeng Kliwon adalah hari suci pingit atau dalam Bahasa Bali tenget.
Sehubungan dengan itu, para umat Hindu selalu memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan manifestasinya agar dianugerahi keselamatan dan kerahayuan.
Selain itu juga ingat untuk "nyomya" para bhuta kala dan dipersembahkan di natar sanggah, natah paumahan, serta di lebuh nanceb sanggah cucuk dan menghaturkan tumpeng brumbun limang bungku, metatakan muncul don biu, maiwak rumbah gile, kakomoh, lawar kacang, calon agung 5 jatuh, raka geti-geti, pisang batu, tuak arak mewadah bumbung, nasi takilan siki, iwaknya taluh, buka asem magantung, ring sanggah cucuk.
Semua ini dihaturkan kepada Sang Kala Dengen. Agar tidak menganggu.(*).