Kisah di Balik Pura Melanting Jambe Pole Padang Galak, Warga Luar Bali Hingga Pejabat Kerap Datang
Pertemuan dengan Jero Arimbawa, seorang penekun spiritual dan tantra menjadi jawabannya.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Eviera Paramita Sandi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Pura Melanting Jambe Pole, satu diantara pura di Bali yang memiliki kisah unik dan menarik untuk dikupas.
Kisah mistis juga menjadi bagian pura yang berada di tengah-tengah area, bekas Taman Festival Bali di Padang Galak, Kesiman, Denpasar, Bali.
Walau Taman Festival Bali telah lama mati suri, namun pura ini tetap memiliki denyut nadinya.
Apalagi banyak pamedek dari seluruh Bali, bahkan hingga tanah Jawa datang ke pura ini.
Mbah Huda, seseorang yang kerap bersih-bersih di areal Taman Festival Bali, mengatakan bahwa pura ini memang dikenal hingga ke telinga warga luar Bali.
Ia menceritakan banyak yang datang, memohon tamba atau dibantu dalam hal apapun.
Termasuk pejabat juga banyak yang datang ke pura ini. Tribun Bali mengulik kisah dibaliknya lebih dalam.
Pertemuan dengan Jero Arimbawa, seorang penekun spiritual dan tantra menjadi jawabannya.
Ia menuturkan, Pura Jambe Pole ini sudah ada bahkan sebelum Taman Festival Bali ada.
Dahulu sebelum dibangun palinggih, pura ini hanya berisi turus lumbung.
Sebagai pertanda bahwa kawasan tersebut memiliki aura niskala yang kuat.
Namun saat ini, sudah dalam bentuk bangunan layaknya pura yang ada di Pulau Dewata.
Hanya saja, beberapa bagian terlihat mulai rusak dimakan zaman. Kisahnya dahulu dari bapak dari pria bernama Jero Mangku Lilir.
Pria tersebut sering membawa sapi, dan mencari rumput di area sana.
Tepat di sebelahnya adalah aliran sungai Ayung, yang langsung bermuara ke pantai Padang Galak.
“Turus lumbung itu dibuat, karena ia (ayah Mangku Lilir) melihat pohon pole kembar. Sehingga harus dibuat turus lumbung atau palinggih di sana,” jelasnya kepada Tribun Bali, Senin 1 Februari 2021.
Setelah itu, Jero Mangku Lilir juga akhirnya sering membawa sapi untuk makan rumput di area sana. Uniknya, ketika ia sedang mandi di sungai Ayung.
Entah bagaimana, tiba-tiba saja pohon pole kembar ini hilang. Kagetlah ia karena siang hari bolong, pohon pole kembar ini hilang.
Namun anehnya lagi, ketika selesai mandi di sungai Ayung. Pohon pole kembar itu, sudah ada lagi di tempatnya.
“Makanya didirikanlah turus lumbung ini. Sebelum Bali festival ada, nah setelah Bali festival dibangun baru dibuat satu palinggih di ajeng gedong itu,” jelasnya.
Diberikan nama pura melanting, karena ada kaitan dengan pasar. Dahulu panglingsir dari Mangku Lilir pernah melihat banyak orang di sekitar sana.
Layaknya pasar yang ramai, namun itu semua adalah mahluk astral atau di Bali disebut dengan wong samar dan gamang.
Pura melanting memang erat kaitannya dengan dunia perdagangan, pasar, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, dibangunlah Taman Festival Bali yang megah nan mewah beberapa tahun silam.
Karena Taman Festival Bali ini, menyediakan banyak restoran dan bisnisnya adalah menjual hiburan maka dibangunlah Pura Melanting Jambe Pole dengan apik.
Sehingga bisnis mereka diharapkan juga lancar kala itu.
Namun nasib berkata lain, Taman Festival Bali bangkrut dan mangkrak sampai saat ini. Kemudian alih pura diambil oleh Jero Mangku Malia dari Sindu.
Lalu untuk ngodalin di pura diambil dari dana punia pamedek, kebetulan kala itu ada donatur dari Kuta.
Odalan pura ini, setiap Purnama Jyesta setahun sekali berbarengan dengan Pura Segara.
Saat ini, agar kehidupan di pura dan upakara upacara tetap berjalan. Maka terbentuklah sebuah organisasi, dimana dana untuk odalan disumbang dari pengayah dan pamedek secara sukarela.
“Ketuanya Wayan Suwirta dari Kesiman, dan ia mengkoordinasi agar ada kepastian ngodalin baik itu, Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, dan lain sebagainya,” imbuhnya.
Sampai saat ini belum ada pemangku di sana, sehingga pamedek yang ingin sembahyang masih bisa melakukannya sendiri-sendiri.
“Mudah-mudahan ketika Purnama Jyesta, ada dana punia dari pamedek yang nangkil. Sehingga ada jalan untuk melakukan pawintenan pemangku,” sebutnya.
Apabila pamedek datang sendiri, bisa membawa peras pejati, canang sari, dan memakai kamen serta selendang. Serta tidak dalam keadaan cuntaka.
“Harapannya ke depan, Pura Melanting Jambe Pole ini bisa lebih dikenal masyarakat luas. Karena pura melanting ini bukan hanya untuk swagina, tetapi juga untuk pengobatan, panglukatan dan lain sebagainya,” sebutnya.
Orang yang meminta tamba juga banyak datang. Kemudian balian dan pengusada juga banyak meminta berkah dan kesembuhan ke sana.
“Tidak hanya dari Bali tetapi dari Jawa juga banyak. Di palinggih Ida Bhatari Melanting, Ida Ratu Gede Dalem Nusa, dan Ida Ratu Mas Manik Maketel,” sebutnya. (ask)