Myanmar
Protes Kudeta Militer, Dokter dan Petugas Medis di 70 Rumah Sakit Myanmar Mogok Kerja
Aksi mogok tersebut mereka lakukan sebagai wujud protes terhadap kudeta militer Myanmar yang menggulingkan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi.
TRIBUN-BALI.COM, NAYPYIDAW - Para dokter dan petugas medis di 70 rumah sakit dan departemen kesehatan di 30 kota seluruh Myanmar mogok kerja pada Rabu 3 Februari 2021.
Aksi mogok tersebut mereka lakukan sebagai wujud protes terhadap kudeta militer yang menggulingkan pemimpin terpilih dalam pemilu bulan November 2020, Aung San Suu Kyi.
Sebagaimana dilansir kantor berita Reuters, Rabu 3 Februari 2021, Gerakan Pembangkangan Sipil Myanmar yang baru itu menilai militer mengutamakan kepentingannya sendiri di atas populasi rentan Myanmar yang kesulitan selama pandemi Covid-19.
• Peristiwa Kudeta Militer Myanmar, Begini Kesaksian Warga Terkait Situasi Negaranya Terkini
• Kudeta Militer Terhadap Pemerintahan Aung San Suu Kyi di Myanmar, Apa Dampaknya Bagi Indonesia?
• Video Perempuan Aerobik di Myanmar Saat Ada Konvoi Militer Viral, Begini Penjelasannya
Virus corona telah membunuh lebih dari 3.100 orang di Myanmar. Myanmar termasuk negara dengan jumlah kematian tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
"Kami menolak perintah dari rezim militer yang tidak sah, yang menunjukkan bahwa mereka tidak menghormati pasien kami yang malang," kata kelompok tersebut.
Sedikitnya empat orang dokter yang mengonfirmasi aksi mogok kerja, tapi enggan menyebutkan identitas mereka untuk dipublikasikan.
"Saya ingin tentara untuk kembali ke barak mereka, maka kami para dokter akan kembali ke rumah sakit," kata seorang dokter di Yangon yang berusia 29 tahun.
“Saya tidak memiliki kerangka waktu berapa lama saya akan terus melakukan mogok kerja ini. Itu tergantung situasinya," ujarnya kepada Reuters.
Reuters melaporkan, para pelajar dan kelompok muda Myanmar telah bergabung dengan warga sipil dalam aksi pembangkangan terhadap kekuatan militer.
Sejauh ini belum ada tanggapan dari pihak militer terhadap aksi mogok kerja yang dilakukan paramedis sebagai bentuk protes terhadap kudeta.
Militer Myanmar telah melakukan kudeta terhadap pemerintah sipil pada Senin dini hari 1 Februari 2021 setelah menuding adanya penipuan pemilu pada 8 November lalu.
Hasil pemilut itu dimenangkan Aung San Suu Kyi dari Partai Liga Nasional untuk Demorasi.
Kudeta tersebut menuai kecaman dari Amerika Serikat dan berbagai negara Barat lainnya, karena para jenderal yang berkuasa menahan Suu Kyi dan puluhan pejabat lainnya.
Demi memperkuat kekuasaannya, junta meluncurkan dewan pemerintahan baru termasuk 8 jenderal dan dipimpin panglima militer Jenderal Min Aung Hlaing.
Situasi saat ini di mirip aparat yang berkuasa di bawah junta sebelumnya yang telah memerintah Myanmar selama hampir setengah abad hingga tahun 2011.
Peraih Nobel Perdamaian, Suu Kyi yang berusia 75 tahun masih ditahan, meski ada seruan internasional agar dia segera dibebaskan.
Seorang pejabat NLD mengatakan dia mengetahui bahwa dia berada dalam tahanan rumah di ibu kota Naypyidaw dan dalam keadaan sehat.
Dalam protes publik terbesar terhadap kudeta sejauh ini, orang-orang di pusat komersial Yangon meneriakkan "kejahatan pergi" dan memukul pot logam pada Selasa malam waktu setempat 2 Februari 2021 sebagai isyarat tradisional mengusir kejahatan atau karma buruk.
China Halangi Upaya PBB
Sementara China dilaporkan menghalangi upaya Dewan Keamanan PBB untuk memberi kecaman atas kudeta yang terjadi di Myanmar.
Kabar itu muncul setelah dewan menggelar pertemuan secara tertutup untuk membahas perkembangan di Negeri Seribu Pagoda Myanmar.
Dalam pertemuan tertutup, Dewan Keamanan PBB gagal mengeluarkan pernyataan gabungan karena China menggunakan hak vetonya.
Sebuah pernyataan gabungan membutuhkan dukungan dari China yang saat ini merupakan anggota tetap DK PBB.
Sebelumnya, Utusan Khusus PBB untuk Myanmar Christine Schraner mengecam manuver yang dilakukan oleh Tatmadaw atau militer Myanmar.
Schraner mengatakan. angkatan bersenjata jelas tidak bisa menerima fakta mereka kalah dalam dalam pemilu 8 November 2020.
"Sudah jelas hasil dari pemilu lalu adalah kemenangan besar bagi partai Aung San Suu Kyi," papar Schraner.
Pakar Myanmar National University of Singapore Elliott Prasse-Freeman menyatakan, Beijing nampaknya memberi dukungan diam-diam terhadap aksi kudeta tersebut.
"Mereka nampaknya berusaha menempatkan bahwa masalah ini adalah isu internal Myanmar, dan kita hanya menyaksikan 'reshuffle kabinet'," papar Prasse-Freeman.
Dilansir BBC Rabu 3 Februari 2021, dia menjelaskan meski tidak mempunyai dampak signifikan, pernyataan DK PBB bisa menyatukan tanggapan dunia.
Sebastian Strangio, editor di The Diplomat menerangkan, langkah China sejalan sikap skeptisnya terkait intervensi internasional.
China sebelumnya sudah memeringatkan, tekanan maupun sanksi dunia hanya akan memperburuk negara di Asia Tenggara tersebut.
Meski menghalangi upaya Barat menghukum Naypyidaw, Strangio berujar bukan berarti mereka senang dengan adanya kudeta.
Menurut Strangio, selama ini Beijing sudah berinvestasi banyak untuk membangun relasi bagus dengan pemerintahan Aung San Suu Kyi.
"Karena itu, kembalinya militer berarti China harus berurusan dengan institusi yang paling curiga dengan niat mereka," ujarnya.
Artikel ini sudah tayang di Kompas.com berjudul Para Petugas Medis Myanmar Mogok Kerja sebagai Protes Kudeta Militer