Berita Denpasar

Tiga Pejabat LPD Kekeran Dihukum Bervariasi, Artini Diganjar Hukuman Paling Tinggi

Mantan sekretaris atau kolektor LPD Desa Kekeran, Ni Ketut Artini diganjar pidana tiga tahun penjara.

Penulis: Putu Candra | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Tribun Bali/Putu Candra
Terdakwa Artini, Suamba dan Winda saat menjalani sidang putusan yang digelar secara virtual. Ketiganya dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi LPD Desa Adat Kekeran, Angantaka, Abiansemal, Badung. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Mantan sekretaris atau kolektor LPD Desa Kekeran, Ni Ketut Artini diganjar pidana tiga tahun penjara.

Sedangkan mantan ketua LPD periode 1997-2017, I Wayan Suamba dan mantan sekretaris LPD, I Made Winda Widana masing-masing dijatuhi hukuman setahun penjara.

Ketiga terdakwa yang menjalani sidang secara online dengan berkas terpisah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi pengelolaan dana keuangan di LPD Desa Adat Kekeran, Angantaka, Abiansemal, Badung tahun 2016-2017.

Putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Denpasar untuk ketiga terdakwa lebih ringan dari tuntutan yang diajukan Tim Jaksa Penuntut Umum.

Masih Diperiksa, Tiga Tersangka Dugaan Korupsi LPD Desa Adat Kekeran Angantaka Ditahan 20 Hari

Dilimpahkan ke Kejari Badung, Tiga Tersangka Dugaan Korupsi di LPD Kekeran Langsung Ditahan

Untuk terdakwa Artini, sebelumnya jaksa melayangkan tuntutan pidana penjara selama empat tahun.

Sementara terdakwa Suamba dan Winda masing-masing dituntut satu tahun dan enam bulan penjara (1,5 tahun). 

Terhadap putusan majelis hakim itu, ketiga terdakwa yang didampingi masing-masing tim penasihat hukum belum bersikap dan menyatakan masih pikir-pikir.

"Saya masih pikir-pikir dulu, Yang Mulia. Saya serahkan ke tim penasihat hukum," ucap Artini kepada majelis hakim, Jumat, 5 Pebruari 2021. Hal senada juga disampaikan jaksa atas putusan majelis hakim terhadap ketiga terdakwa. 

Sementara itu dalam amar putusannya, majelis hakim memvonis ketiga terdakwa telah terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, yang dilakukan bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan subsidair.

Ketiganya pun dijerat Pasal 3 jo Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP. 

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ni Ketut Artani dengan pidana penjara selama tiga tahun, dikurangi selama menjalani masa tahanan. Dan denda Rp 50 juta subsidair dua bulan kurungan," Tegas Hakim Ketua Angeliky Handajani Day. 

Selain itu, terdakwa Artani juga dibebankan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp574.372.000.

"Apabila tidak membayar dalam jangka waktu satu bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita dan dilelang. Jika tidak memiliki harta benda diganti dengan pidana penjara sembilan bulan," imbuhnya. 

Sedangkan terdakwa Suamba dan Winda Widana masing-masing dijatuhi putusan pidana penjara selama satu tahun, denda Rp 50 juta subsidair dua bulan kurungan.

Diungkap dalam dakwaan jaksa, bahwa pada tanggal 15 Maret 2017 bertempat di Desa Adat Kekeran, saat itu dilaksanakan paruman agung atas laporan pertanggungjawaban pengurus LPD periode 1 Januari 2016 - 31 Mei 2017.

Namun, masyarakat menolak laporan yang dibuat Suamba bersama Artani dan Winda.

Masyarakat menolak lantaran laporan tersebut tidak ditandatangani seluruh pengurus LPD dan Ketua Badan Pengawas periode sebelumnya, yaitu Ida Bagus Made Widnyana.

Sementara bendesa adat yang baru, I Made Wardana meminta I Gusti Komang Pernawa Pandit membuat sistem komputerisasi terkait administrasi LPD.

Di luar dugaan, Pandit menemukan selisih atau ketimpangan antara neraca yang dibuat menggunakan aplikasi komputer dengan pencatatan neraca manual sebesar Rp 2,9 miliar.

Ketimpangan tersebut meliputi tabungan, kredit, deposito, dan kas bank.

"Buku tabungan yang dipegang oleh nasabah berbeda jumlahnya dengan kartu primanota yang ada di LPD."

"Nominal pada buku tabungan yang dipegang nasabah rata-rata lebih besar daripada kartu primanota LPD," beber Jaksa Riki Saputra kala membacakan surat dakwaan pada sidang sebelumnya. 

Sementara pada kredit ditemukan pemberian kredit tidak sesuai prosedur, baik dari administrasi, jaminan, dan tanda tangan.

Selain itu, adanya kredit fiktif, di mana ada nama nasabah yang tertera dalam daftar pinjaman di LPD. Namun saat dilakukan pengecekan lapangan ternyata yang bersangkutan tidak pernah mengajukan kredit.

Wardana sebagai pengawas LPD yang baru melakukan pengecekan langsung ke para nasabah LPD. Hasil pengecekan itu menemukan sejumlah fakta mengejutkan.

Di antaranya, pada laporan antara kas dan bank dengan kenyatan (cek fisik) ditemukan ketidaksesuaian dalam penjumlahan.

Setelah dilakukan pengecekan langsung kepada para nasabah, Pandit kembali mendapat temua terdapat selisih kas sebesar Rp 3,9 miliar.

"Selisih neraca terjadi karena laporan neraca bulanan maupun rugi laba selalu dibuat seolah-olah seimbang oleh para terdakwa," terang jaksa dari Kejari Badung itu.

Secara administrasi posisi keuangan LPD Desa Adat Kekeran selalu dalam keadaan sehat. Padahal, faktanya selama tahun 1997-2017, para terdakwa telah memakai setoran uang tabungan dan setoran deposito milik nasabah, mempergunakan uang kas, menggunakan uang pembayaran angsuran kredit milik nasabah, dan mengajukan kredit fiktif untuk keperluan pribadinya.

Selanjutnya pengurus LPD diganti yang baru. Setelah serah terima pengurus pada 2 Juni 2017, kondisi Kas LPD tidak sesuai dengan neraca.

Terdapat selisih kas per-31 Mei 2017 yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sebesar Rp 2,9 miliar.

Akibat perbuatan para terdakwa, LPD Desa Adat Kekeran mengalami kerugian sebesar Rp 5,2 miliar, sebagaimana laporan akuntan independen. Rinciannya, selisih kas yang tidak dapat dipertanggungjawabkan Rp 2,9 miliar.

Jumlah kredit yang tidak dapat dipertanggungjawabkan Rp 1,9 miliar. Tabungan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan Rp 93 juta dan jumlah deposito yang tidak dapat dipertanggungjawabkan Rp 310 juta. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved