Serba Serbi
Dosa Bunuh Diri dalam Ajaran Agama Hindu, Roh Menetap 60 Ribu Tahun, Berimbas pada Orang Lain
Ada yang beranggapan bunuh diri jalan terakhir dalam penyelesaian masalah. Padahal, bunuh diri tidak menyelesaikan masalah, malah menimbulkan masalah
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM – Ada yang beranggapan bunuh diri jalan terakhir dalam penyelesaian masalah.
Padahal, bunuh diri tidak menyelesaikan masalah, malah menimbulkan masalah baru bagi orang yang ditinggalkan termasuk bagi diri sendiri.
Belum banyak yang tahu, bunuh diri punya konsekuensi, setiap orang tidak ingin ini terjadi pada orang yang ditinggalkan termasuk pada diri sendiri.
Seperti yang diberitakan Tribun Bali hari ini Selasa 16 Februari 2021, ada dua kasus bunuh diri di Bali.
Satu di Karangasem, I Nengah KT tidak pulang ke rumahnya seharian, dan ditemukan dalam kondisi meninggal dunia di tegalanannya.
Baca juga: BREAKING NEWS - Petani di Bunutan Karangasem Bali Bunuh Diri di Tegalannya

Ia ditemukan tergantung dengan tali di kandang sapi miliknya.
Kejadian bunuh diri kedua terjadi di Denpasar.
GNS ditemukan istrinya tergantung di dalam kamar mandi pada Senin 15 Februari 2021 sekitar pukul 13.00 wita.
GNS saat itu sudah tidak bernyawa.
Kejadian bunuh diri selalu meninggalkan duka bagi keluarga yang ditinggalkan.
Dianggap menyelesaikan masalah bagi pelaku bunuh diri, padahal tidak begitu sesungguhnya.
Seperti yang pernah diberitakan tribun-bali.com 13 Desember 2020 lalu, Rektor UHN I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar, Prof I Gusti Ngurah Sudiana mengatakan, bunuh diri disebut ngulah pati berdasarkan sumber buku seperti ada di Parasara Dharmasastra.
Diungkapkannya, orang yang bunuh diri adalah orang yang hendak mempercepat kematiannya.
Baca juga: Seorang Pria di Denpasar Nekat Akhiri Hidup Dengan Cara Gantung Diri di Kamar Mandi
Prof Sudiana menjelaskan, orang yang bunuh diri maka rohnya akan menetap selama 60 ribu tahun di alam kegelapan di neraka.
Dijelaskan juga dalam lontar, orang lain bisa ikut mendapatkan dosa akibat bunuh diri itu.
"Demikian menurut lontar Parasara Dharmasastra, jadi dampaknya sangat luar biasa," tegasnya.
Hal ini menegaskan, orang yang mengambil jalan pintas bunuh diri sesungguhnya menambah dosa dan sama sekali tidak menyelesaikan masalah.
"Justru orang yang bunuh diri menambah masalah dari sang hyang atmanya," imbuh Prof. Sudiana.
Orang lain pun kena dampaknya, yang berhubungan dengan si pelaku bunuh diri.
Ia mengingatkan agar umat Hindu di Bali berpikir 1.000 kali sebelum bunuh diri, karena akan merugikan dirinya sendiri, keluarga, bahkan orang lain.
Mulai dari yang menemukan, melihat, mengupacarai, dan yang mengurus mayatnya hingga ngaben, semuanya terkena dampaknya.
Pada zaman dahulu, kata dia, seseorang yang bunuh diri tidak boleh diupacarai atau langsung ngaben.
Orang yang bunuh diri harus dikubur terlebih dahulu, atau dalam bahasa Bali dipendem di dalam tanah di setra.
"Bahkan di beberapa desa, seseorang yang bunuh diri maka dikuburkan di tempat berbeda dengan yang meninggal wajar," tegasnya.
Berkaitan dengan bunuh diri ini, yang kerap dianggap jalan keluar dari masalah adalah salah besar.
Prof. Sudiana mengatakan bahwa umat Hindu harus banyak meningkatkan Sradha Bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Memohon ampunan dan petunjuk Tuhan, agar diberikan jalan keluar dari segala bentuk masalah.
Sehingga tidak mengambil jalan pintas.
"Minimal berkonsultasi dengan orang yang dipercaya, serta mampu memberikan perlindungan.
Bisa memberikan pencerahan sehingga tidak sampai bunuh diri," tegasnya.
Lanjut Ketua PHDI Bali ini, ada perbedaan besar antara meninggal wajar, ngulah pati, dan salah pati.
"Kalau salah pati, adalah kematian yang tidak disengaja, semisal karena kecelakaan. Berbeda dengan ngulah pati," jelasnya.
Seseorang yang meninggal salah pati, hanya perlu ngulapin di lokasi kecelakaan.
Serta ada aturan berbeda saat ngabennya.
"Nah dalam keputusan parisadha, orang yang salah pati dan ngulah pati.
Kini dianggap 'kadi wong mati bener' atau dalam artian diupacarai selayaknya seseorang yang meninggal wajar biasa," sebutnya.
Perubahan ini dilakukan, karena kalau digunakan landasan lontar-lontar kuno di Bali, atau lontar lama.
Rasanya memberikan perbedaan yang sangat berjarak antara seseorang yang meninggal wajar, salah pati, dan ngulah pati.
Semua ini telah diputuskan dalam pesamuan parisadha, melihat sisi humanismenya.
Hanya saja memang ada banten tambahannya, seperti banten pengulapan, guru piduka, pabersihan, dan upakara sebagainya sesuai aturan atau awig-awig.
Sehingga dengan banten tambahan pada upacara ngaben ini, maka seseorang yang meninggal tidak wajar rohnya bisa tenang.
Tidak akan diam di tempat ia meninggal.
Dalam keputusan parisadha, seseorang yang ngulah pati atau salah pati seharusnya memang dikubur terlebih dahulu.
Namun ada keluarga yang ingin agar mayatnya segera diaben.
Perubahan tradisi ini dimaklumi, asal sesuai aturan dan awig-awig yang berlaku, serta disetujui prajuru adat baik di banjar maupun di desa.
"Sekarang memang ada yang langsung diupacarai, tetapi ada yang langsung dipendem," ujarnya.
Menurut lontar-lontar kuno di Bali, Prof. Sudiana menjelaskan esensi harus dipendem atau dikubur itu tidak diterangkan lebih jauh.
Hanya saja berdasarkan persepsi para pemuka agama, analisanya adalah agar rohnya bisa melihat badan kasarnya (jasad) lebih lama.
Lontar Yama Purana Tatwa, imbuh dia, menyebutkan bahwa setelah dikubur tiga tahun, baru boleh diupacarai (ngaben) jasad dari kematian akibat ngulah pati itu.
Sehingga jasadnya dapat diam di ibu pertiwi untuk sementara waktu.
Sebelum dibakar dalam upacara ngaben.
Jika seseorang yang ngulah pati, tempatnya puluhan ribu tahun di neraka.
Tidak demikian dengan seseorang yang meninggal salah pati.
"Kalau salah pati, layaknya meninggal pada umumnya. Hanya saja ada upacaranya lagi," jelasnya.
Sebab salah pati adalah kematian yang tidak terduga dan tidak bisa ditentukan.
Sedangkan ngulah pati adalah kematian yang direncanakan dengan membunuh dirinya sendiri.
Hal ini adalah dosa.
Dan banten yang diperlukan juga sangat besar.
"Karena ada banten pecaruan di tempat meninggal, banten pabersihan, pengulapan, dan lain sebagainya," tegas Prof. Sudiana.
Sementara itu, roh pada seseorang yang meninggal ngulah pati, ataupun salah pati jika tidak diupacarai dengan benar semisal pengulapan.
Menurut beberapa lontar, rohnya diperkirakan bisa berjalan tidak karuan.
Makanya di bale banjar di Bali itu, dibuatkanlah Pelinggih Pan Balang Tamak.
Kalau ada roh gentayangan atau penasaran, roh ini akan tangkil di pelinggih ini.
Ibaratnya tempat singgah bagi roh tanpa tujuan ini.
Apabila mati wajar atau biasa, rohnya memang tidak jauh dari jasadnya.
Sedangkan jika ngulah atau salah pati, maka rohnya bisa berdiam di lokasi ia meninggal, lalu setelah berapa lama ke sana-ke mari kalau tidak diupacarai.
Bisa mengganggu dan membuat ketidakharmonisan pada alam. (*)