Leak di Bali Ternyata Juga Punya Aturan dan Etika, Berikut Penjelasannya

Kata Leak jika di Bali, nampaknya bukan kata asing ditelinga masyarakat. Sebab sejak dahulu kala, leak dipercaya adalah mahluk jadi-jadian

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: M. Firdian Sani
Pande Putu Agus Permana
Pande Putu Agus Permana saat mementaskan tarian rangda dalam pertunjukan calonarang, belum lama ini. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Kata Leak jika di Bali, nampaknya bukan kata asing ditelinga masyarakat.

Sebab sejak dahulu kala, leak dipercaya adalah mahluk jadi-jadian dari hasil mempergunakan ilmu hitam. 

Leak pun identik dengan sesuatu yang buruk dan jahat.

Namun apa sebenarnya leak, berikut penjelasan Jero Arimbawa, satu diantara penekun tantra di Bali.

Baca juga: Barong dan Rangda di Bali, Ini Kisah dan Makna Dibalik Perwujudannya

“Ngeleak berasal dari kata leak, yang berarti linggih aksara atau linuih ikang aksara. Yang termuat, tersirat, dan tersurat dalam lontar Leputusan Pengliakan  karya sastra Tanting Mas atau Walu Nate Ing Dirah atau disebut juga Nyai Girah. Di sana tertera tulisan Jawi Kuna, dengan gaya Saloka,” sebutnya kepada Tribun Bali, Kamis 18 Februari 2021.

Lanjutnya, linuih ikang aksara tersebut adalah aksara Wreastra yang berjumlah 20 aksara.

Aksara dasa atau yang kerap disebut dasa aksara, juga aksara Swalalitta, dan aksara Modre.

“Semua aksara ini dipelajari baik Linggihnya di alam semesta atau bhuana agung dan bhuana alit (diri sendiri),” sebutnya.

Baca juga: UPDATE: Keluarga Penari Rangda Tak Tempuh Jalur Hukum, Sudah Ikhlaskan Kepergian IGNEP

Selanjutnya adalah tahapan  pasuk wetu atau keluar masuknya aksara tersebut dari dalam tubuh.

Kemudian diakhiri dengan pemuteran aksara itu sendiri.

“Bagi yang menekuni pengliakan itupun ada Tatwa, Susila, dan Upakara yang harus dilakukan serta dijalani. Sesuai tuntunan seorang guru atau praktisi,” katanya.

Setelah semua persyaratan terpenuhi naik pada tahapan menjadi pengesengan atau melebur aksara tersebut menjadi aksara Panca Gni dan sebagainya,” jelas Jero Arimbawa.

Baca juga: Jasad Bayi Tersangkut di Tangga Jukung Milik Nelayan, Ditemukan di Sungai Rangda, Sidakarya

Tentunnya semua itu membutuhkan segala proses waktu dan pondasi spritual seseorang. Sebab leak juga mempunyai aturan dan etika yang ekstrim. Yaitu diatur dlm Swadharmaning Ikang Pengliakan.

“Adapun aturan yang tidak bisa dilanggar satu diantaranya adalah bhakti kepada ibu dan ayah, yang melahirkan seorang anak. Khususnya seorang ibu dari rahimnya,” ujarnya.

Lalu bhakti kepada Dewa Widhi, dengan melakukan persembahyangan rutin di kawitan, Bhatara Hyang Guru, Tri Kahyangan, Pura Mrajapati dan Pamuhun Agung.

“Jangan salah, karena leak dilarang sombong, angkuh, dan selalu bersikap  sama kepada siapapun,” ucapnya. Bhakti kepada sang catur sanak, bahkan senantiasa berpuasa.

Baca juga: UPDATE: Keluarga Penari Rangda Tak Tempuh Jalur Hukum, Sudah Ikhlaskan Kepergian IGNEP

“Dalam pembelajaran, leak tidak satupun ada yang boleh dilanggar. Apalagi secara Sengaja, sehingga ekstrimnnya pengendalian diri yang harus dilakukan agar tujuan dalam pembelajaran bisa tercapai,” katanya.

Namun sayangnya, paradigma selama ini leak dijadikan kambing hitam dalam perbuatan yang selalu dikonotasikan jahat.

“Semestinya kita bercermin pada lontar Pangliakan, atau Aji Ugig yang menerangkan bahwa leak itu adalah Lenga Ikang Aksara,” katanya.

Dimana artinnya keluar atau lupa dengan aksara suci, dan keluar dari pemikiran dharma sesungguhnya. Namun demikian juga mempunyai kewajiban yaitu Dharma Weci.

Baca juga: UPDATE: Walau Tak Ada Laporan, Polisi Tetap Dalami Kasus Meninggalnya Seorang Penari Rangda

“Semua sudah diatur sedemikian rupa, sehingga terjadi keseimbangan dunia agar bisa merangkul Aji Rwa Bhibeda tersebut,” jelasnya.

Tetapi sesungguhnya tujuan leak, sejatinnya adalah untuk bisa mencapai kelepasan pada saat mati nanti agar bisa tersenyum menyambut kematian tersebut.

Adapun dalam setiap proses belajar, kata dia, memang tersurat di dalam lontar tersebut mengenai laku Nyeraya.

Yaitu sembahyang ke Pemuhun Agung dan Prajapati inilah yang kerap disalahartikan oleh masyarakat.

Bahwa diidentikan dengan hal-hal yang jahat.

Baca juga: UPDATE Penari Rangda Meninggal, Pihak Keluarga Sudah Mengikhlaskan, Suardana: Kami Mohon Doanya

“Padahal tidak seperti itu, tujuannya adalah mendoakan roh-roh yang dikubur agar mendapatkan tempat yang baik dan mengembalikan semua unsur Panca Maha Bhuta keasalnya,” sebutnya.

Ini menjadi sebuah kewajiban bagi yang melakukan proses belajar maupun yang sudah menjalani.

Laku ini yang sering disinyalir oleh orang lain, digunakan untuk berbuat jahat sehingga turun-temurun menjadi negatif pada paradigma leak itu sendiri.

Lalu bagaimana ciri-ciri orang yang bisa dengan ilmu leak?.

Ia menyebutkan tidak ada kepastian.

Baca juga: UPDATE: Hari Ini 7 Februari Penari Rangda yang Tertusuk Keris Diaben di Kuburan Desa Adat Tuka Bali

“Tidak ada yang pasti, baik itu orang muda, dewasa, maupun sudah tua yang bisa belajar menjadi liak. Sehingga tidak menjadi fitnah di masyarakat,” ujarnya.

Untuk menentukan, apakah orang tersebut bisa atau tidak. Maka harus diketahui juga bahwa ilmu leak tersebut seperti apa. Sehingga menjadi sebuah kebenaran dan tidak tafsir belaka.

“Sangat berbahaya kalo kita menjudge seseorang, mengatakan dia bisa menjadi leak atau tidak tanpa dasar sastra yang jelas,” tegasnya. Sebab jatuhnya menjadi fitnah, dan itulah kejahatan yang sesungguhnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved