Tak Mudah Menjadi Sulinggih, Begini Pandangan Ida Rsi yang Juga Pensiunan Dosen UNHI

Tak Mudah Menjadi Sulinggih atau Nabe, Begini Pandangan Ida Rsi yang Juga Pensiunan Dosen UNHI

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Widyartha Suryawan
Tribun Bali/AA Seri Kusniarti
Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti 

Laporan Wartawan Tribun Bali Anak Agung Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Menjadi sulinggih atau pendeta dalam Hindu Bali, tidaklah mudah.

Banyak syarat yang harus dilalui oleh seorang sulinggih.

Selain muput upacara yadnya, seorang sulinggih juga harus mengayomi masyarakat.

Sebab sulinggih adalah panutan umat, khususnya dalam kehidupan beragama Hindu di Bali. 

Hal ihwal tentang kesulinggihan secara umum dijelaskan di dalam lontar Siwa Sesana, lontar Rsi Sasana Catur Yuga, atau lontar Tutur Purbha Somi, lontar Wreti Sesana, dan beberapa lontar lainnya.

Lontar-lontar tersebut membicarakan tentang kesulinggihan atau sesana menjadi sulinggih (pendeta).

"Dalam lontar-lontar tersebut telah diuraikan tentang syarat-syarat, dan ketentuan apabila ingin menjadi sulinggih ataupun syarat-syarat untuk menjadi nabe," jelas Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, kepada Tribun Bali, Minggu 7 Maret 2021.

Baca juga: Karmaphala Dalam Hindu Bali, Ini Penjelasan Sulinggih

Sebenarnya, kata beliau, dulu PHDI juga pernah mengeluarkan ketentuan bagi orang yang ingin madiksa atau menjadi sulinggih.

Dalam lontar-lontar di atas, secara panjang lebar menyebutkan tentang sesana atau tatanan untuk menjadi seorang sulinggih, yang syarat-syaratnya cukup berat.

Ada kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan dan harus ditaati.

Pertama, Amari Aran, yaitu kewajiban untuk mengubah nama.

Kemudian Amari Wesa, yaitu kewajiban mengubah tentang berpakaian. Contoh tidak boleh berpakaian celana pendek atau panjang, pakai jeans dan pakaian casual lainnya. 

"Ada ketentuan khusus untuk pakaian sulinggih pria maupun sulinggih wanita," tegas pensiunan dosen Unhi ini.

Lalu ada Amari Wisaya, yaitu kewajiban untuk mengubah perilaku, karena seorang sulinggih harus sudah melepaskan keduniawiannya.

Karena sulinggih telah meninggalkan dunia walaka dan lahir kembali ke dunia sadhaka, yang ditandai dengan upacara Dwijati atau Diksa.

Sehingga seorang sulinggih harus meninggalkan perilaku saat dia masih walaka, karena dia sekarang menuju ke alam Brahman.

Pantangan-pantangan
Seorang sulinggih juga memiliki banyak pantangan.

Antara lain, seorang sulinggih harus menuruti perintah nabe (gurunya). Tidak boleh melawan nabe.

Tidak boleh membenci, memfitnah, menjelekkan nabe. Serta masih banyak lagi.

Ada pula pantangan masalah makan, misalnya tidak makan binatang berkaki empat atau dua, ikan tertentu, sayur tertentu. Makanan bekas, makanan cemer atau tidak sukla. Dan lain-lainnya.

Pantangan berperilaku, tidak marah, membunuh, memfitnah, menyakiti mahluk hidup, berjudi, minum alkohol, berzinah (selingkuh), bahkan berhubungan dengan istri sendiri pantang dihari yang terlarang, harus pada hari baik tertentu saja. 

Tidak boleh berdagang untuk mencari untung (adol atuku).

"Dan lain-lain banyak lagi pantangan-pantangannya," tegas Ida Rsi.

Ilustrasi orang melukat
Ilustrasi orang melukat (Tribun Bali/I Putu Supartika)

Seorang sulinggih memiliki kewajiban. Diantaranya, Arcanam, memuja kebesaran Tuhan, dengan setiap pagi nyurya sewana, dan lain sebagainya.

Adhyaya, selalu tekun mempelajari ilmu pengetahuan keagamaan seperti Weda, tattwa-tattwa, serta acara.

Adhyapaka, suka memberikan pengajaran tentang kerohanian, kesucian, keagamaan, kesusastraan serta bimbingan kerohanian tanpa pamrih.

Swadhyaya, rajin belajar sendiri, selalu mengulangi pelajaran yang diberikan oleh nabenya.

Dhyana, merenungkan Brahman (Tuhan) atau Ida Sang Hyang Widhi dan hakekat  yang dipujanya. Aturan-aturan ini harus ditaati dan dijalankan oleh para sulinggih. Agar tidak melakukan perbuatan yang cacat.

Baca juga: Ini Penjelasan Sulinggih Soal Perbedaan Nyegara Gunung dan Meajar-ajar, Serta Makna Ngenteg Linggih

Perilaku sulinggih atau pendeta yang dianggap cacat, seperti Wuku Panjer atau sulinggih yang mengejar setoran alias mengejar pendapatan atau dana.

Wiku Sabha Ukir adalah sulinggih yang mau memberi petunjuk jalan apabila ia dibayar mahal.

Wuku Sanggraha yaitu sulinggih yang mengawini walaka, melanggar perintah nabe.

Wiku Grahita adalah sulinggih yang memiliki nabe lebih dari satu.

"Sebenarnya ada delapan wiku/sulinggih yang disebut Wiku Ceda atau wiku cacat, yang seharusnya dihindari oleh orang yang telah madwijati atau madiksa," tegas ida.

Namun disamping Wiku Ceda/cacat, ada wiku atau sulinggih yang disebut mulia atau dihormati.

Diantaranya, Wiku Grhahasta atau sulinggih yang berkeluarga, tinggal di satu tempat, hormat kepada nabe, hormat kepada masyarakat dan lingkungan, selalu berdoa kepada Tuhan/Hyang Widhi, suka menolong orang kesusahan, sabar, mentaati aturan dan sesana kesulinggihan.

Wiku Bhiksuka atau sulinggih yang selalu mempelajari sastra filsafat, keagamaan, hidup mengembara dan tidak berkeluarga.

Wiku Wanaprasta  atau sulinggih yang senantiasa bertapa di hutan, tidak berkeluarga, mahir tentang filsafat agama.

Wiku Sukla Brahmacari  yaitu sulinggih yang memiliki pengetahuan sempurna di bidang sastra, filsafat atau tatwa keagamaan hidup sederhana, dan tidak pernah berkeluarga (tidak pernah berhubungan suami-istri dari lahir sampai mati).

Sesana
Kemudian tentang nabe yang baik. Diantaranya, punya pengetahuan tentang sastra, budaya, tatwa, keagamaan, sopan, berperilaku baik dan jujur.

"Yang akan menjadi nabe tidak boleh meminta agar dia dipilih jadi nabe," tegas ida. 

Seorang calon nabe boleh menolak atau menerima murid, apabila tidak sesuai atau telah memiliki kriteria sebagai seorang sisya atau murid. Dan lain sebagainya.

"Seorang bisa didiksa apabila telah lulus persyaratan baik persyaratan tertulis/administrasi maupun tak tertulis, baik yang dikeluarkan oleh guru nabe ataupun dari PHDI," sebut pembina Pasraman Bhuwana Dharma Shanti ini. 

Seperti contoh yang dulu dikeluarkan oleh PHDI, yakni berkelakuan baik, ada persetujuan dari keluarga sendiri, keluarga besar atau dadia, serta cukup umur.

Termasuk sehat jasmani dan rohani. Serta masih ada beberapa syarat lainnya.

"Apabila seorang sulinggih keluar dari sesana seperti di atas, misalnya berhubungan dengan hukum, kriminal, kepolisian, maka yang paling bertanggung jawab adalah guru nabe," tegasnya.

Tak hanya itu, seorang sulinggih yang melanggar sesana juga dapat kena sanksi administrasi dari PHDI apabila ketika madwijati tercatat dalam daftar PHDI. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved