Cerita Juru Pugar Candi di Jawa Tengah, Tak Boleh Sembarang Batu Bisa Digunakan Memugar
Ari mendapatkan informasi bahwa para pemugar menjadi penentu dalam mencocok-cocokkan batu-batuan candi yang dipugar.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Laporan Wartawan Tribun Bali Anak Agung Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Koordinator Staf Khusus Presiden RI, AAGN Ari Dwipayana, meninjau langsung kompleks Candi Plaosan, Candi Sajiwan, Candi Sewu, Candi Bubrah dan Candi Lumbung di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.
Berbincang langsung dengan para pemugar, Ari sampaikan pemugaran adalah pekerjaan mulia karena menjaga warisan bangsa.
Dari hasil kunjungan tersebut, Ari mendapatkan informasi bahwa para pemugar menjadi penentu dalam mencocok-cocokkan batu-batuan candi yang dipugar.
Proses itu bukanlah proses mudah yang bisa dilakukan oleh setiap orang.
Baca juga: 5 Tempat Wisata di Bali dengan Bangunan Candi Bentar yang Ikonik dan Instagramable
“Ini kan menjadi proses yang luar biasa, para pemugar dia mengerjakan sambil mengukur, mencocokkan, dan juga mencari batunya di sungai,” kata Ari dalam siaran pers yang diterima Tribun Bali, Kamis 11 Maret 2021.
Salah satu pemugar di Candi Sewu, bernama Restu (38) menjelaskan memerlukan waktu yang tidak singkat untuk menemukan jenis batu yang cocok ketika memugar candi.
Perbedaan tekstur, ukuran, dan jenis batuan tidak diperbolehkan oleh prosedur kementerian karena akan mengurangi nilai dari cagar budaya itu sendiri.
“Kita cari sendiri pak, di sungai. Jadi kita sambil kerja memugar, kita juga mengukur dan mencocokan itu antara satu batu dengan batu yang lain, mana yang paling cocok untuk dijadikan satu bangunan candi," ujar Restu kepada Ari.
Untuk itu, Ari menekankan terjadinya perubahan paradigma terhadap peninggalan cagar budaya, dari yang sebelumnya hanya menjaga-melindungi menjadi pengembangan-pemanfaatan.
Dalam perubahan itu, BPCB tidak bisa bekerja sendirian.
Perlu sinergi dan partisipasi masyarakat.
Tantangan untuk mendorong partisipasi tersebut dapat dihadapi dengan melakukan edukasi dengan cara-cara yang kekinian.
Sehingga mampu menarik partisipasi masyarakat yang semakin besar untuk menjaga cagar budaya.
“Keterlibatan masyarakat (merawat cagar budaya) tidak bisa tiba-tiba muncul, harus ada edukasi dan rasa memiliki dahulu, nah itu tergantung caranya harus menarik dan mengikuti perkembangan,” ujar Ari.
Baca juga: Jejak Hindu di Candi Prambanan, Ari Dwipayana: Pelestarian dan Ritual Tak Perlu Dikontraskan