Wawancara Menristek Bambang Brodjonegoro, Harus Konsisten Pada Ekonomi Berbasis Inovasi
Bambang Brodjonegoro menyebut tiga sektor industri yang bisa membuat Indonesia menjadi negara kuat secara ekonomi.
TRIBUN-BALI.COM - Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang Brodjonegoro menyebut tiga sektor industri yang bisa membuat Indonesia menjadi negara kuat secara ekonomi.
"Suatu negara kalau mau industrinya kuat dia harus kuat di industri mesin, baja atau metal, kemudian di industri petrokimia serta industri kimia dasar," tutur Bambang saat wawancara eksklusif dengan Tribun Network yang dipandu Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra, Selasa 23 Maret 2021.
Bambang menilai langkah pemerintah melarang ekspor nikel juga tepat.
Sebab, nikel harus terlebih dulu diolah agar mendatangkan manfaat yang lebih besar, sebelum akhirnya diekspor ke luar negeri.
Baca juga: Wawancara Menristek Bambang Brodjonegoro, Ciptakan 61 Inovasi Sejak Pandemi
Baca juga: Wawancara dengan Dubes RI untuk Malaysia, Lebih 50 Persen TKI di Malaysia Ilegal
Baca juga: Wawancara Sekretaris Majelis Tinggi Demokrat, Mallarangeng: Wajar Jokowi Berkomunikasi dengan AHY
Jika tidak mengolah terlebih dahulu, meskipun menjadi negara dengan ekspor nikel terbesar, Indonesia tidak akan bisa mendapat nilai lebih.
"Nikel itu harus diolah dulu menjadi bahan yang paling simpel yaitu feronikel. Kemudian naik lagi menjadi yang paling penting sebelum baterai adalah stainless steel,” paparnya.
“Kita sudah terkenal sebagai salah satu ekspor nikel terbesar di dunia, tetapi untuk waktu yang begitu lama kita tidak pernah punya stainless steel. Akibatnya kalau kita perlu stainless steel, akhirnya harus impor," jelas Bambang.
Berikut petikan wawancaranya:
Selain nikel, sumber daya alam apa lagi yang juga diekspor mentah selama ini?
Sumber Daya Alam (SDA) lainnya adalah sawit, kopi, dan kakao yang diekspor mentah ke berbagai belahan dunia.
Kita ambil contoh kakao, nilai tertinggi dari kakao itu kan coklat.
Orang-orang Eropa barat ini bisa jual coklat premium dan minuman berbasis coklat dengan harga premium, mereka jadi jauh lebih kaya dibanding dengan juragan kakao yang ada di Indonesia.
Maka, kita harus memanfaatkan teknologi untuk membawa kakao ke produksi coklat dengan kualitas seperti di Swiss, agar nilai tambahnya tetap yang paling besar ada di kita.
Kemenristek/BRIN mendorong pengoptimalan nilai tambah dari berbagai SDA tersebut, agar Indonesia mampu menyerap manfaat sebesar-besarnya dari hasil sumber daya yang diolah.
Di dalam bidang ekonomi itu ada istilah middle income country, apa itu?
Itu adalah istilah dalam ekonomi pembangunan untuk menggambarkan sekelompok negara atau sekelompok ekonomi yang naik kelas, dari low income country menjadi middle income country.
Itu sendiri suatu pencapaian.
Masalahnya middle income country letaknya lebar, namanya juga di tengah-tengah.
Jadi kalo di bawah 1.000/1.500 capacity low kemudian dia naik menuju lower middle, kemudian 4.000 itu adalah batas lower dan upper middle.
Kemudian 12.000-13.000 adalah high income country.
Dalam sejarahnya banyak negara yang sukses naik dari low income, tetapi ternyata sedikit sekali negara yang naik dari middle ke high.
Jadi artinya tidak berlaku yang namanya linearitas dalam kemajuan ekonomi suatu negara.
Jadi negara tidak semudah kayak naik kelas di sekolah. Itulah yang disebut middle income trap.
Lalu bagaimana untuk terhindar dari middle income trap itu?
Suatu negara membutuhkan waktu yang begitu lama di middle income dan ada kemungkinan dia tidak akan pernah naik menjadi high middle income country, mengingat itu bukan suatu yang linear dan otomatis.
Filipina misalnya, yang dianggap ekonomi terkuat kedua di Asia setelah Jepang.
Waktu itu, Korsel belum dihitung, artinya Korsel masih menata diri setelah selesai perang Korea pada tahun 50an.
Pada tahun 60an Filipina ekonomi terkuat. Indonesia saat itu juga masih sibuk soal urusan politik, begitu pula negara lain.
Lalu gejolak politik dan ketidakstabilan terjadi di Filipina, sehingga membuat pertumbuhan ekonomi Filipina stuck dan kemudian dia tidak berkembang lagi.
Lalu disusul dengan negara lain, termasuk Korea dan Indonesia.
Sehingga hari ini Filipina total GDP-nya tidak lagi 5 besar Asia (5 besar: China, Jepang, India, Korea Selatan, dan Indonesia). Filipina juga sudah kalah sama Thailand dan Malaysia.
Jadi bisa kejadian negara yang tampak sudah mau ke depan, terhambat.
Ini juga banyak terjadi di negara Amerika Latin, karena berbagai hal. Oleh karena itu, Indonesia jangan meniru yang gagal, kita justru harus belajar yang minoritas.
Seperti Eropa Barat, Asia Timur, maupun Amerika Utara, seperti Kanada dan lain-lain.
Mereka sangat konsisten dengan ekonomi yang berbasis inovasi agar terhindar dari middle income trap.
Maka, kita harus yakin dengan ekonomi berbasis inovasi, karena kalau kita kembali lagi kepada ekonomi berbasis SDA, maka kita akan kesulitan.
Apa dampaknya bila kita tidak konsisten dengan ekonomi berbasis inovasi?
Kita akan kembali di masa, di mana naik turunnya komoditas menentukan baik tidaknya perekonomian.
Kita sebagai negara tidak boleh bergantung pada komoditas yang tidak kita tentukan sendiri.
Karena harga komoditas bergantung pada internasional market. Indonesia harus bisa mendasarkan ekonominya pada kekuatan kita sendiri, kekuatan itu datangnya dari inovasi.
Target berikutnya adalah inovasi apa yang ingin kita lakukan?
Kalau Korea Selatan harus ke manufaktur karena mereka tidak punya SDA.
Nah, kalau Indonesia kan beda, kita ngga bisa mengikuti Korea dan Jepang yang dasarnya manufaktur dan elektronik.
Artinya kalau kita menantang mereka untuk buat elektronik dan mobil, itu proses yang sangat berat dan beresiko dan ngga akan bisa maju.
Jadi kita harus cerdik, yakni memanfaatkan SDA yang kita miliki dengan inovasi yang meningkatkan nilai tambah dari SDA kita.
Caranya? Pertama, kita mengalami bonus demografi di mana kita punya banyak anak muda calon entreprenur, khususnya start up.
Kedua, digital memang teknologi terkini karena kita sedang di era industri 4.0.
Jadi, kalau kita bisa fokus pada industri yang terkait SDA dan inovasi digital, maka harapannya itu yang akan menjadi kendaraan kita untuk bisa keluar dari middle income trap.
Ada wacana orang tidak perlu lagi menjalani rapid test bila sudah divaksin. Bagaimana menurut Anda?
Mungkin perlu disosialisasikan, diberi pemahaman kepada masyarakat bahwa meskipun sudah divaksin, di mana vaksin itu berfungsi mencegah orang sehat menjadi sakit.
Tapi kita juga ingat, vaksin ini juga kebijakan sangat cepat, virusnya adalah virus yang sama sekali baru, bahkan kalau kita lihat tingkat efikasi dan efektivitas atau sejenisnya, itu range-nya macam-macam.
Ada yang 60 persen ada yang 90 persen, tapi tidak ada yang berani 100 persen.
Artinya ketika kita semua sudah divaksin, kalau kita tidak menjaga 3M, masih ada kemungkinan kita terpapar Covid-19. Jadi kita masih bisa sakit Covid-19 istilahnya.
Tetapi memang ketika kita sudah divaksin, atau dengan kata lain antibodinya sudah terbentuk, maka mungkin penyakitnya pun paling tinggi kategorinya ringan atau mayoritas orang tanpa gejala (OTG).
Misalkan kita jadi OTG, mungkin untuk kita tidak masalah.
Tapi jangan lupa begitu kita OTG itu artinya kita sumber penyebar virus kepada orang lain.
Jadi menurut saya, meskipun kita sudah divaksin, katakan juga sudah cukup besar, menurut saya 3T, testing dan tracing harus terus dijalankan.
Bagaimana dengan herd immunity, kapan dicapai?
Ya, memang kondisinya akan berubah atau tidak seketat sekarang ini, kalau kekebalan komunal sudah tercapai.
Kekebalan komunal itu butuh 2/3 jumlah penduduk.
Kalau satu orang dua dosis, berarti perlu 360 juta dosis vaksin.
Kalau melihat target dari Kemenkes, mungkin butuh waktu 12-15 bulan untuk mencapai target herd immunity.
Jadi kita semua harus sabar sampai periode tersebut.
Tentunya menurut saya akan lebih baik kalau kita tetap berhati-hati.
Yang pasti meski kita sudah punya vaksin, bukan berarti virusnya sudah hilang benar-benar.
Virusnya mungkin masih ada, tapi mungkin daya serangnya sudah tidak seberat dulu.
(Tribunnetwork/Lusius Genik/tis)