Kabar Duka
Saya, Umbu, dan Puisi
Tulisan ini dipublikasikan oleh Wayan Jengki Sunarta pada tanggal 2 Desember 2009 pukul 15.38, di akun Facebook-nya.
Umbu yang menetap di Bali sejak tahun 1979 selalu punya cara-cara unik untuk menggairahkan dunia perpuisian dan membangkitkan gairah apresiasi sastra. Dia membuat jadwal pertemuan rutin, kunjungan ke semua kabupaten untuk mengadakan apresiasi puisi, atau dengan sentuhan-sentuhan pribadi yang membuat anak-anak muda merasa berada dalam sebuah ikatan keluarga besar. Di Bali, pada era 1980-an dan 1990-an Umbu mengklasifikasikan puisi-puisi yang dimuat di ruang sastranya ke dalam 4 kelas, yakni: kelas “Pawai” bagi pemula yang baru belajar menulis puisi, kelas “Kompetisi” bagi penyair yang cukup gigih mengirim puisi ke gawangnya dan siap diadu dengan penyair lain yang selevel, kelas “Kompro” atau “Kompetisi Promosi” bagi penyair yang telah lolos dalam sejumlah babak kompetisi dan siap diadu di luar kandang, kelas “Posbud” atau “Pos Budaya” bagi penyair yang telah dianggap handal menggoreng dan menendang bola kata-kata ke gawangnya hingga gol. Umbu menggunakan berbagai cara untuk menggugah kepercayaan diri penyair Bali, salah satunya Umbu pernah mencantumkan besar-besar slogan “Posbud = Horison” di ruang sastranya. Artinya puisi-puisi yang berhasil masuk kelas Posbud kualitasnya dianggap sama dengan puisi-puisi yang dimuat Majalah Sastra Horison. Tapi efeknya pada era itu karya penyair Bali jarang yang muncul di media nasional karena mereka sudah merasa puas setelah menembus Posbud di ruang Umbu. Belakangan muncul kelas “Solo Run” bagi penyair yang karyanya ditampilkan tunggal dalam satu halaman penuh koran. Dan tentu saja ini kelas yang sangat sulit ditembus penyair.
Sistem yang dibuat Umbu itulah yang bikin para penyair muda Bali “mabuk kepayang” dan tergila-gila menulis puisi. Apalagi pada setiap kesempatan pemuatan puisi-puisi kelas Pawai dan Kompetisi, Umbu rajin mengontak dan menggoda para penyair muda lewat kata-kata yang membakar semangat untuk berkarya lebih bagus. Seringkali dibarengi dengan pemuatan foto para penyair yang dikontak Umbu lewat kolom kecil bertajuk “Stop Press.” Anak muda yang awalnya tidak suka puisi pun jadi ikut-ikutan menulis puisi, mungkin karena ada keinginan fotonya dimuat Umbu. Bahkan kelas Pawai dan Kompetisi pun terbagi menjadi sejumlah angkatan yang beranggotakan 5-10 penyair muda. Saya masuk dalam penyair “Kompetisi Angkatan Ke-17”.
Kegemaran Umbu menonton sepak bola mengilhaminya membuat sistem unik untuk ruang sastranya, seperti konsep pos pawai, kompetisi, solo-run. Sistem seperti itu ternyata berhasil menggugah anak-anak muda di Bali untuk bersastra dan berkompetisi menunjukkan karya yang paling unggul. Apalagi Umbu juga memuat esai-esai dan kritik puisi dari para penulis muda itu. Rubrik sastra Umbu yang unik dan meriah itu pun menjadi ruang polemik sastra (puisi) di antara mereka. Penyair A mengomentari karya penyair B, penyair C membantai puisi penyair D, penyair E membela penyair D, begitu seterusnya. Saya rasa pada era itu ada seratusan penyair di Bali yang berebutan menendang bola kata-kata ke gawang Umbu. Dan Umbu adalah penjaga gawang yang bertangan dingin menangkap bola demi bola kata itu.
Pada era 2000-an, Umbu mengubah konsep rubriknya menjadi “Posis” atau “Pos Siswa” sebagai ruang untuk menampung tulisan-tulisan dari para siswa, “Posmas” atau “Pos Mahasiswa” bagi tulisan-tulisan dari mahasiswa, dan “Pos Solo Run” bagi penulis yang tampil tunggal. Umbu juga menyediakan ruang bagi para guru yang suka menulis esai-esai pendek. Terkadang sejumlah puisi dan prosa berbahasa Bali pun dimuat di rubriknya sebagai bentuk perhatiannya pada sastra daerah.
Pada Agustus 1995, SMK bubar karena suatu permasalahan intern. Saat itu SMK menjelang perayaan ulang tahun ke-10. Banyak anggota SMK yang merasa kehilangan tempat berkumpul. Mereka tercerai-berai dan tenggelam dengan kesibukan masing-masing. Umbu yang suka menyambangi para penyair yang berkumpul di SMK juga merasa terpukul dan kehilangan. Sanggar yang berlokasi di jantung Kota Denpasar itu merupakan tempat yang ideal dan romantis bagi Umbu karena berdekatan dengan Pasar Kumbasari yang buka 24 jam. Mungkin Umbu terkenang Pasar Beringharjo di Yogya saat dia dulu mengembalakan penyair-penyair muda Yogya.
Di pasar Kumbasari itulah Umbu suka mengajak para penyair muda Denpasar menyelami kehidupan yang sebenarnya dan membuka hati pada rakyat kecil yang bekerja membanting tulang hingga dinihari. Umbu suka memperhatikan kesibukan ibu-ibu pedagang sayur, gadis-gadis buruh junjung, pedagang nasi jenggo, kusir dokar dan kegiatan rakyat jelata lainnya. Kadangkala Umbu mengajak penyair-penyair muda pesta soto babad di sudut pasar itu sambil ngobrol ngarol-ngidul dan memperhatikan kesibukan pasar. Apalagi kalau purnama bercahaya indah menghiasi langit malam Denpasar, Umbu akan terkenang lagu “Denpasar Moon” yang dinyanyikan Maribeth. Umbu memang penyair romantis. Pernah suatu kali dia mengajak saya dan beberapa kawan penyair melihat bulan terbit di tepi sawah di ujung timur Kota Denpasar sambil nongkrong di warung kopi tepi jalan. Dia berseru kegirangan ketika bulan bulat merah muncul perlahan dari sawah yang berbatasan dengan laut Sanur itu. Kami duduk berlama-lama di sana sampai bulan merambat tinggi.
Setahun setelah SMK bubar, kami menggunakan sebuah rumah kecil di Jalan Bedahulu, di sudut utara Kota Denpasar, sebagai markas. Pada awalnya rumah itu ditempati oleh Nuryana Asmaudi, Raudal Tanjung Banua dan Riki Dhamparan Putra atas kemurahan hati seorang anggota keluarga Puri Kesiman yang memiliki rumah itu. Saat itu Raudal dan Riki baru setahun tinggal di Bali. Saya sering berkunjung ke rumah itu bersama kawan-kawan seniman, ngobrol ngarol ngidul hingga menjelang dinihari. Di depan rumah itu ada tegalan tak terurus yang ditumbuhi rumpun bambu, di sebelahnya ada sungai kecil dan masih dekat dengan persawahan. Seringkali angsa-angsa peliharaan tetangga memecah keheningan malam dengan lengking suaranya. Suatu kali Umbu datang ke sana dan langsung jatuh cinta dengan tempat itu. Umbu memberi nama tempat itu “Intens-Beh” yang merupakan akronim dari “Institut Tendangan Sudut Bedahulu”. Dia mengkavling sebuah kamar kosong yang kadang-kadang saja ditempatinya. Seniman-seniman muda suka berkumpul di sana, diskusi, ngobrol kebudayaan, baca-baca puisi, merayakan ulang tahun teman, main gitar, pacaran, ngrumpi. Di tempat itulah saya mengenal Umbu lebih dekat dan akrab, mendengar petuah-petuahnya, konsep-konsepnya tentang dunia perpuisian.
Jauh sebelum Umbu memindahkan “pusat pemerintahan” ke padepokan Intens-Beh, Umbu dikenal sebagai penyair yang berumah di atas angin. Tak seorang pun tahu di mana tempat tinggal tetapnya. Di mana Umbu suka, di situlah rumah baginya. Dia jarang mau datang ke acara-acara kesenian, meski diundang secara khusus. Tapi dia akan muncul tiba-tiba ketika acara itu menarik perhatiannya, atau hanya mengamati jalannya acara dari jarak yang jauh atau dari balik kegelapan. Pernah seorang kawan penyair mencoba membuntuti Umbu berharap menemukan tempat persembunyiannya, tapi kawan itu kehilangan jejak ketika Umbu tiba-tiba membelok di sebuah tikungan. Dia seperti tahu sedang dibuntuti. Kebiasaan Umbu ini tercermin dalam salah satu baris puisinya: sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi, membawa langkah ke mana saja.
Umbu memiliki banyak tempat persinggahan di Bali. Hampir di setiap kabupaten ada kawan akrab Umbu yang menyediakan ruang khusus bagi tempat semayamnya. Umbu suka muncul tiba-tiba di tempat-tempat persinggahannya itu dan biasanya dia akan diladeni secara khusus. Kalau sudah begitu Umbu benar-benar mirip seorang raja yang sedang melakukan kunjungan ke bawahannya. Biasanya kawan yang dikunjungi Umbu merasa mendapat kehormatan menjamu tamu istimewa itu. Sejumlah anak muda yang tertarik pada puisi kemudian berkumpul di tempat itu dan dengan takzim mendengar petuah-petuahnya tentang dunia puisi dan pentingnya puisi bagi pertumbuhan mereka. Tidak hanya itu, Umbu juga memotivasi mereka akan pentingnya komunitas sastra yang mampu mewadahi aspirasi dan kreativitas mereka. Maka bermunculanlah sanggar-sanggar sastra dan kelompok-kelompok teater yang dimotivasi Umbu. Kota Negara di Jembrana dan Singaraja pernah ramai dengan komunitas-komunitas kecil dan kegiatan sastra dan teater yang tidak bisa dilepaskan dari peranan Umbu.
Umbu juga menggairahkan kehidupan bersastra di sejumlah pelosok desa di Bali, seperti Desa Marga di Tabanan. Biasanya Umbu bekerjasama dengan seniman-seniman yang dipercayainya di tempat itu untuk membuat kegiatan-kegiatan apresiasi sastra dan sebagainya. Dan tentu saja Umbu tidak pernah kekurangan orang untuk melakukan kerja-kerja kesenian kayak itu, meski tanpa bayaran. Mereka dengan senang hati dan terhormat mengikuti petunjuk-petunjuk Umbu.
Umbu bukan tipe redaktur sastra yang hanya duduk di belakang meja. Dia menjalankan konsep “turba” atau “turun ke bawah” dengan senang hati dan keyakinannya pada jalan puisi. Yang paling membahagiakan jiwanya adalah puisi mampu merasuki jiwa generasi muda dan bisa menjadi pelengkap hidup mereka. Tidak ada keinginan Umbu mencetak mereka menjadi pasukan penyair, sebab dunia kepenyairan adalah pilihan sadar dalam kehidupan. Yang terpenting bagi Umbu adalah membekali generasi muda dengan puisi sehingga lahir dokter yang berwawasan puisi, insinyur yang paham puisi, dan sebagainya. Sebab puisi bagi Umbu adalah empati dan simpati pada kehidupan dalam maknanya yang sangat luas. Bagi Umbu, puisi adalah kehidupan dan kehidupan adalah puisi. Penyair Bali generasi 1980-an, 1990-an, 2000-an, rata-rata pernah bergesekan dengan vibrasi Umbu, meski tidak semuanya lantas menjadi penyair yang dikenal di tingkat nasional. Cara Umbu memperkenalkan mereka pada puisi dan juga kesenian kini seringkali menjadi klangenan dalam obrolan para mantan penyair yang kebanyakan telah menjadi orang penting di Bali.
Umbu memang termasuk orang yang susah ditemui dan dilacak jejaknya. Dia akan segera menghilang jika ada tamu istimewa yang mencarinya. Emha Ainun Najib beberapa kali gagal bertemu Umbu, padahal Emha adalah murid kesayangan Umbu saat di Yogya. Umbu menghindari Emha adalah semata-mata untuk menjaga rasa kangennya dengan Emha dan Yogya. Taufik Ismail pun gagal bertemu Umbu ketika penyair Horison itu berkunjung ke Bali. Pendek kata, banyak sastrawan berkelas nasional yang ingin bertemu Umbu, tapi Umbu selalu menghilang, menghindari pertemuan. Pertemuan akan terjadi hanya karena dua sebab: Umbu memang ingin bertemu dan Umbu dijebak.
Jika Umbu ingin bertemu dia akan mengontak orang itu secara khusus lewat telepon atau lewat kurir kepercayaannya dan tempat pertemuan pun telah disiapkan. Atau Umbu akan datang tiba-tiba nyamperin orang yang ingin ditemuinya. Pertemuan juga bisa terjadi secara terpaksa karena Umbu dijebak. Ada cerita menarik tentang hal ini. Karena kebelet ingin bertemu Umbu, Emha pernah menjebak Umbu di rumah Hartanto, seorang kawan dekat Umbu. Hartanto tidak tega melihat Emha yang uring-uringan ingin ketemu gurunya itu dalam sebuah kunjungannya ke Bali. Hartanto kemudian memancing Umbu keluar dari sarangnya dengan umpan sop ikan kesukaan Umbu. Tentu dengan senang hati Umbu datang ke rumah Hartanto. Di meja makan Emha telah menunggu dengan rasa kangen yang amat sangat. Umbu pun tidak bisa lari. Mungkin pintu ruangan juga telah dikunci dari luar oleh Hartanto. Konon, Emha dan Umbu hanya saling berdiam diri, masing-masing seperti mengukur dan menakar perasaan.
Pergaulan di Tensut-Beh menjadi kenangan tersendiri bagi saya, terutama ketika berhadapan dengan sosok Umbu. Meski Umbu lebih suka berdiam diri dan hening, dia termasuk sosok pribadi yang sederhana dan hangat. Pada masa-masa Umbu betah di Tensut-Beh, kami biasa berdiskusi berbagai macam persoalan, mulai dari dunia kesenian, mutu puisi mutakhir, persoalan politik bangsa, hasil pertandingan bola, kegiatan mahasiswa, sampai persoalan remeh temeh lainnya, seperti gosip penyair, pacar penyair, menu masakan dan merek rokok kesukaannya. Biasanya Umbu akan bicara atau berkomentar jika dipancing duluan. Dan ada saja di antara kami yang memancing Umbu bicara tentang suatu pokok persoalan. Biasanya kami ngobrol sambil menunggu makan malam disiapkan oleh penghuni tetap Tensut-Beh, yakni Mas Nuryana. Mas Nur, begitu panggilan Nuryana, selain sebagai penulis dikenal juga jago masak. Dia paling banyak tahu masakan kesukaan Umbu, seperti sayur daun pepaya, daun singkong, jukut (sayur) gonde, nasi beras merah. Dan kami tidak pernah kekurangan makanan. Ada saja yang membawa oleh-oleh buat Umbu. Beras merah dan sayur gonde dibawa dari Marga, Tabanan, oleh seorang kawan dari sana. Daun pepaya dan singkong dipetik langsung dari kebun belakang rumah. Habis makan malam obrolan kembali sambung menyambung ditemani kopi dan rokok, bahkan sering sampai dinihari. Umbu sangat kuat merokok, sama kuatnya dengan kebiasaannya duduk berjam-jam beralaskan kardus bekas plat koran yang dibawanya dari Bali Post. Dia hanya akan berdiri jika mau kencing atau masuk kamarnya. Dengan beralaskan kardus itu pula kami merebahkan diri di lantai karena mata letih. Masing-masing penghuni Tensut-Beh memiliki satu lembar kardus yang dihadiahi Umbu, lengkap dengan memo dan tanda tangannya. Biasanya ada saja kawan yang mampu menemani Umbu ngobrol sampai dinihari, sementara kawan-kawan lain tergeletak dan ngorok di lantai.
Umbu suka minum bir. Biasanya ada saja kawan yang membawakan bir untuknya. Kemudian bir itu dibagi-bagikan kepada kami. Seorang kawan pecinta sastra yang bekerja sebagai bar tender kadangkala juga membawakan sisa-sisa minuman mahal untuk Umbu dan kami. Di Tensut-Beh kami seperti keluarga besar dengan Umbu sebagai “God Father”-nya. Ada saja tamu-tamu yang datang khusus untuk menemui Umbu di sana. Kalau Umbu tidak berkenan bertemu biasanya dia akan ngumpet seharian di kamarnya, tentu sambil menahan kencing. Dia akan nongol lagi jika tamu itu sudah pergi, kadangkala sambil menenteng botol bekas yang berisi air seni.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bali/foto/bank/originals/saya-umbu-dan-puisi.jpg)