Idul Fitri di Bali
Rindu Bagus pada Keluarga di Kampung - Begini Sejarah Mudik di Indonesia, Ada Sejak Zaman Majapahit
Rindu Bagus pada Keluarga di Kampung, Begini Sejarah Mudik di Indonesia, Ada Sejak Zaman Majapahit
Penulis: Putu Supartika | Editor: Widyartha Suryawan
Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Mudik Lebaran atau Idul Fitri sudah membudaya bagi masyarakat Indonesia.
Momen mudik selalu ditunggu-tunggu setiap Ramadhan tiba.
Banyak warga berbondong-bondong meninggalkan tanah rantauan dan pulang ke kampung halaman.
Sebab, pada saat itulah bisa berkumpul bersama keluarga di kampung.
Namun, di tengah pandemi Covid-19 yang belum juga berakhir, pelaksanaan mudik pun dilarang sejak tahun lalu.
Kerinduan pada keluarga di kampung salah satunya dirasakan oleh Bagus yang sudah 2 tahun tak bisa mudik.
Dirinya mengaku sudah tak mudik sejak dua tahun lalu. Kali ini Bagus mengikuti salat id di Masjid Raya Baitur Rahmah, Jalan A. Yani, Denpasar.
"Ini tahun kedua saya tidak mudik karena ada larangan. Rindu pasti rindu dengan keluarga, tapi saya juga harus mendukung pemerintah menekan laju penyebaran Covid-19," kata Bagus, Kamis 13 Mei 2021.
Bagus sadar, dengan tidak mudik saat pandemi, baginya juga menghindari keluarganya di kampung dari kemungkinan terpapar pandemi Covid-19.
"Saya juga harus mensukseskan program pemeintah untuk hentikan virus yang terkait dengan cluster upacara keagamaan di Indonesia," katanya.
Hal serupa dirasakan oleh Sofyan Hadi.
"Saat ini kan dilarang mudik, sehingga mereka merayakan Idul Fitri di rantauan dan membuat masjid di sini ramai," katanya.
Ketua Yayasan Masjid Raya Baitur Rahmah, H Junaedhi untuk pelaksanaan salat di dalam masjid dibatasi hanya 50 persen dari kapasitas normal.
Menurutnya kapasitas masjid saat pandemi Covid-19 ini mampu menampung 800 hingga 1000 orang.
"Kami sudah menyiapkan ratusan panitia untuk melakukan pengaturan dan pengawasan selama pelaksanaan salat id," katanya.
Pihaknya pun bersyukur dikarenakan saat pelaksanaan Idul Fitri tahun ini bisa digelar salad id di masjid.
"Tahun lalu tidak bisa, tapi tahun ini bisa sehingga bisa mengobati kerinduan masyarakat untuk salat di luar rumah saat Idul Fitri," katanya.
Sementara itu, dikarenakan kapasitas tempat salat sudah penuh beberapa jemaah pun diminta mencari tempat lain untuk melakukan salat id.
Selain melaksanakan salat di jalan, beberapa jemaah juga menggelar salat di gang sisi selatan masjid.
Pelaksanaan salat ini digelar mulai pukul 07.00 Wita yang kemudian dilanjutkan dengan khotbah.
"Selesai rangkaian salat, jemaah langsung pulang dan tidak ada salam-salaman," katanya.
Asal-usul Kata Mudik
Dilansir dari Kompas.com, wikipediawan sekaligus Direktur Utama Narabahasa, Ivan Lanin, mengatakan, asal-usul kata ini sudah ada sekitar 1390.
Kata "mudik" ditemukan dalam naskah kuno berbahasa Melayu.
"Dari penelusuran di Malay Concordance Project, kata 'mudik' sudah dipakai pada naskah "Hikayat Raja Pasai" yang bertarikh sekitar 1390," kata Ivan, saat dihubungi Kompas.com, Senin (8/5/2021).

Kata "mudik" dalam naskah ini mengandung arti 'pergi ke hulu sungai'.
"Kata ini tampaknya berkaitan dengan kata "udik" (hulu sungai) yang dilawankan dengan "ilir" (hilir sungai)," jelas Ivan.
Dalam perkembangannya, kata "mudik" mengalami perubahan makna.
Pada awalnya berarti pergi ke hulu sungai, kini bermakna pergi ke kampung.
"Dari arti awal 'pergi ke hulu sungai', kata ini mengalami perubahan makna 'pergi ke kampung' karena hulu sungai (pedalaman) dianggap identik dengan kampung asal," terang Ivan.
Makna mudik kemudian tidak hanya terbatas pada kampung saja. Kampung atau tempat asal menjadi bukan hanya merujuk pada wilayah kampung/desa, melainkan juga wilayah kota.
"Komponen makna yang dipertahankan ialah "tempat asal", bukan jenis tempat asal itu," kata Ivan.
Sejarah Mudik
Diberitakan Kompas.com, 6 Juni 2018, kebiasaan mudik sudah ada sejak zaman kerajaan.
Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Silverio Raden Lilik Aji Sampurno mengungkapkan, kebiasaan mudik sudah ada sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam, di wilayah kekuasaan Majapahit hingga ke Sri Lanka dan Semenanjung Malaya.
"Awalnya, mudik tidak diketahui kapan. Tetapi ada yang menyebutkan sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam, " kata Silverio.
Akibat wilayah kekuasaan yang luas, Kerajaan Majapahit menempatkan pejabat-pejabatnya di daerah-daerah kekuasaan.
Suatu ketika, pejabat itu akan ingin pulang ke pusat kerajaan untuk menghadap Raja dan mengunjungi kampung halamannya.
Hal inilah yang kemudian dikaitkan dengan fenomena mudik.
"Selain berawal dari Majapahit, mudik juga dilakukan oleh pejabat dari Mataram Islam yang berjaga di daerah kekuasaan. Terutama mereka balik menghadap Raja pada Idul Fitri," kata Silverio.
Baca juga: 2 Tahun Tak Mudik Saat Lebaran, Bagus Rindu Keluarga: Saya Mendukung Kebijakan Pemerintah
Akan tetapi, istilah "mudik" baru populer sekitar 1970-an. Kata ini menjadi sebutan untuk perantau yang pulang ke kampung halamannya.
Dalam bahasa Jawa, masyarakat mengartikan mudik sebagai akronim dari mulih dhisik yang berarti pulang dulu.
Sementara, masyarakat Betawi mengartikan mudik sebagai 'kembali ke udik'. Dalam bahasa Betawi, udik berarti kampung.
Akhirnya, secara bahasa mengalami penyederhanaan kata dari "udik" menjadi "mudik".
Silverio berpendapat, mudik zaman dulu berbeda dengan zaman sekarang.
Dulu, menurut Silverio, mudik dilakukan secara natural untuk mengunjungi dan berkumpul dengan keluarga.
Sekarang, mudik lebih lekat dengan ajang eksistensi diri. Masyarakat datang ke kampung untuk membawa sesuatu yang bisa dibanggakan.
(Tribun Bali/Putu Supartika | Kompas.com/Rosy Dewi Arianti Saptoyo)
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Asal Kata dan Sejarah Mudik, Tradisi Masyarakat Indonesia Saat Lebaran"