Gerhana Bulan
Tiga Fenomena Alam yang Menyertai Gerhana Bulan Total
Pada saat terjadi gerhana, Bulan akan terlihat berwarna merah. Gerhana bulan total kerap juga disebut Blood Moon.
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Masyarakat Indonesia termasuk Bali sudah
menyaksikan fenomena astronomi Gerhana Bulan Total (GBT) pada Rabu malam 26 Mei 2021 sekira pukul 19.19 Wita.
Secara teoritis Gerhana Bulan Total terjadi saat Matahari, Bumi dan Bulan dalam posisi sejajar. Sejak zaman dahulu fenomena ala mini selalu menjadi pusat perhatian umat manusia.
Pada saat terjadi gerhana, Bulan akan terlihat berwarna merah. Gerhana bulan total kerap juga disebut Blood Moon.
Baca juga: Gerhana Bulan Darah Pada Buda Paing, Jero Bayu Gendeng Minta Waspadai Pertanda Ini
Baca juga: Pengaruh Gerhana Bulan pada Zodiak Taurus, Cancer dan Leo, Hukum Tarik Menarik, Kencan Romantis
Pada hari Rabu 26 Mei 2021 terjadi Super Blood Moon yaitu planet Bulan berada pada jarak yang amat dekat dengan Bumi.
"Karena posisi bulan saat terjadi gerhana berada di posisi terdekat dengan bumi (Perigee), maka bulan akan terlihat lebih besar dari fase-fase purnama biasa, sehingga sering disebut dengan Super Moon," kata Kepala Pusat Seismologi Teknik, Geofisika Potensial dan Tanda Waktu BMKG Rahmat Triyono, mengutip Kompas.com, Selasa 25 Mei 2021.
Menurut para ahli setidaknya ada tiga fenomena alam menarik saat terjadi saat Gerhana Bulan Total.
Warna Bulan Kemerahan
Peneliti di Pussainsa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Andi Pangerang, menjelaskan ketika gerhana bulan, sinar matahari akan terhamburkan ke arah spektrum merah atau yang dikenal dengan istilah Blood Moon.
"Oleh karena itu, umbra (bayangan utama) bumi terlihat kemerahan," katanya kepada Kompas.com, Selasa 25 Mei 2021.
Tatkala Bulan berada di perpotongan ekliptika dan orbitnya atau disebut juga Bulan berada di titik simpul Bulan, maka Bulan memasuki bayangan Bumi sehingga terjadi gerhana.
Namun, Andi menyebutkan, gerhana bulan total tak selalu terlihat berwarna merah. Kondisi itu tergantung pada kualitas udara di tempat pengamat.
Andi menjelaskan ketika udara bersih atau langit bebas dari polusi cahaya, maka bayangan Bumi yang dimasuki Bulan akan nampak seperti merah darah (agak kecoklatan).
Akan tetapi ketika udara cukup pekat polusinya dan di tempat tersebut terjadi polusi cahaya, bayangan Bumi yang dimasuki Bulan akan berwarna agak jingga.
Lalu ketika gerhana Bulan, bintang-bintang yang selama ini redup karena interferensi cahaya Bulan akan terlihat lebih terang.
"Itu karena sumber interferensinya, yakni bulan, menjadi temaram ketika gerhana," kata Andi.
Pasang surut air laut
Fenomena kedua yang terjadi saat gerhana bulan adalah pasang surut air laut yang lebih besar daripada biasanya. Meskipun demikian Andi mengatakan, ketinggian air masih batas aman, yaitu tidak sampai puluhan atau belasan meter.
Terkait dampaknya pada iklim seperti udara dingin, Andi mengatakan tidak ada dampak yang sangat berarti.
"Kalau sepengamatan saya, (perubahan iklim) hanya terjadi ketika gerhana matahari. Untuk gerhana bulan tidak pengaruh apa-apa ke iklim," ujarnya.
Supermoon
Andi juga mengatakan, Gerhana Bulan Total bisa terjadi berbarengan dengan beberapa fenomena, di antaranya Supermoon. "Kalau mau disangkutkan dengan Supermoon, nanti ada lagi tahun 2037," ungkap Andi.
Beberapa Gerhana Bulan Total bertepatan dengan perayaan Waisak, yaitu pada tahun 2040, 2050, 2069, dan 2071. Ada juga Gerhana Bulan Total yang bertepatan dengan Supermoon dan Waisak. Itu diperkirakan akan terjadi pada tahun 2199, 2217, dan 2394.
Pada tahun 2003 silam gerhana bulan juga bersamaan dengan perayaan Waisak, namun di Indonesia tidak bisa mengamati karena detik-detik Waisaknya siang hari.
Tak Perlu Kacamata Khusus
Cara melihat Gerhana Matahari dan Gerhana Bulan berbeda. Menurut Kepala Bidang Diseminasi Pusat Sains Dan Antariksa, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan) Emanuel Sungging Mumpungi, Gerhana Bulan Total bisa dilihat dengan mata telanjang. Tidak perlu menggunakan kaca mata khusus gerhana.
Pada dasarnya Gerhana Bulan Total sama dengan purnama biasa. Namun, karena posisinya sejajar dengan Matahari dan Bumi, maka cahaya bulan akan terhalangi bayangan.
"Bisa (dilihat mata telanjang), itu sebetulnya seperti purnama biasa, ditambah ada saat ketika Bulan tersaput bayang Bumi," kata Emanuel.
Untuk melihat lebih jelas masyarakat bisa memantau Bulan dengan teropong binokular.
"Pakai teleskop, binokular juga enggak masalah, bisa lihat lebih detail dari permukaan Bulan," ujar Emanuel. Teropong binokular merupakan teropong yang umumnya digunakan untuk berbagai kegiatan.
Misalnya, observasi lapangan, kegiatan militer, mengamati hewan liar, mendaki gunung, sampai mengamati fenomena astronomi.
Hal serupa disampaikan peneliti dari Pusat Sains Antariksa Lapan Andi Pangerang. Apabila mau melihat lebih jelas dapat menggunakan alat seperti teleskop binokuler atau kekeran.
Tak hanya melihatnya secara langsung, masyarakat juga bisa mengabadikan momen ini dengan gambar atau video. Caranya dengan menghubungkan charge-coupled device (CCD) dengan laptop atau komputer.
"Kalau mau melihat dengan lebih jelas ya bisa dengan teleskop atau binokuler atau kekeran. Kalau mau menangkap citra gerhana bulan, bisa disambungkan dengan CCD yang terhubung dengan laptop atau komputer," ujar Andi.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga melakukan pengamatan Gerhana Bulan Total 26 Mei 2021 di lokasi-lokasi yang tersebar di seluruh Indonesia. BMKG menggunakan teleskop yang dipadukan dengan detektor dan teknologi informasi.
Pengamatan gerhana bulan total oleh BMKG disiarkan melalui https://www.bmkg.go.id/gbt. Masyarakat mengikuti proses pengamatan ini dengan mengakses tautan tersebut.
Gerhana hanya dapat dilihat dalam kondisi cuaca cerah sampai berawan. (tribun network/kps)