Pilpres 2024

Wacana Presiden Tiga Periode, Begini Pandangan Fadli Zon, M Qodari dan Budi Arie Setiadi

Menurut Qodari, menduetkan keduanya solusi mengatasi kemungkinan terjadinya polarisasi di tengah masyarakat.

Editor: DionDBPutra
Tribunnews.com
Jokowi dan Prabowo berbincang di beranda Istana Merdeka 

TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Penasihat Komunitas Jokowi - Prabowo 2024 (JokPro 2024), M Qodari mengungkapkan alasan mengusung Jokowi dan Prabowo Subianto sebagai pasangan di kontestasi pemilihan presiden (Pilpres) 2024 mendatang.

Menurutnya, menduetkan keduanya solusi mengatasi kemungkinan terjadinya polarisasi di tengah masyarakat.

Ketua Umum DPP Projo Budi Arie Setiadi menyatakan, banyak negara yang melakukan perubahan pada konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan pemerintahan.

Baca juga: PDIP dan Gerindra Sudah Kawin Gantung, Opsi Jokowi-Prabowo atau Prabowo-Puan di Pilpres 2024

Baca juga: RESMI, Gerindra Calonkan Prabowo pada Pilpres 2024, Lima Kali Sang Ketua Dapat Tiket Pilpres

Sementara politisi Partai Gerindra, Fadli Zon menganggap wacana yang diusung Qodari, wacana yang terlalu dini disampaikan. Hal ini terangkum dalam diskusi terbatas yang diadakan tribun network, Kamis 24 Juni 2021.

Qodari awalnya menjelaskan, Indonesia saat ini hidup di zaman politik identitas. Kondisi ini memicu terjadinya konfrontasi atau benturan antar peradaban di tiap-tiap kontestasi pemilihan umum.

Selain itu kondisi saat ini maryarakat hidup di zaman media sosial (medsos).Dunia maya yang menerapkan logika algoritma biner, kata Qodari, menciptakan fenomena yang disebut ruang gema atau echo chamber.

"Semisal seseorang mengakses informasi mengenai orang lain, misal dikasih informasi tentang si A terus, kemudian dia akses informasi tentang si B, si B terus. Itu menciptakan fenomena yang namanya ruang gema atau echo chamber," jelas Qodari.

Manifestasi fenomena echo chamber ini terjadi saat Pilpres 2019 dalam wujud kategorisasi cebong dengan kampret. Sebagai informasi, cebong dan kampret merupakan sebutan bagi pendukung Jokowi dan Prabowo.

Fenomena politik identitas dan echo chamber, lanjut Qodari, melahirkan hal-hal yang tidak pernah diduga dan tidak pernah terjadi sebelumnya.

Semisal pada tahun 2014, saat Presiden Jokowi akan dilantik, sesungguhnya massa simpatisan Prabowo Subianto berencana menyerbu gedung MPR.

Tujuannya ialah untuk membatalkan pelantikan Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden.

"Tahun 2014 banyak yang tidak tahu. Sesungguhnya massa Prabowo Subianto itu sudah banyak yang punya agenda untuk menyerbu gedung MPR pada hari pelantikan Presiden Jokowi dengan Jusuf Kalla pada waktu itu," jelas Qodari.

"Yang kedua di tahun 2019 misalnya Bawaslu diserbu habis-habisan, terjadi bentrokan, bukan hanya di Sudirman, tetapi kemudian sampai ke Tanah Abang, Slipi. Dan sebetulnya ada korban meninggal juga. Saya melihat tren ini ke depan hampir menjadi sebuah proyeksi yang kuat sekali," sambung dia.

Komunitas JokPro berpandangan, bila Indonesia masih mengalami fenomena politik identitas dan echo chamber, suasana kontestasi Pilpres 2024 tidak akan kondusif.

"Saya melihat nanti 2024 kalau polanya tetap seperti ini, katakanlah kalau calon itu bukan Jokowi-Prabowo, maka akan terjadi apa yang dikhawatirkan," kata Qodari.

Halaman
123
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved