Euro 2020
Penyebab Kekalahan Inggris dari Italia di Final Euro 2020, Gara-gara Parkir Bus di Babak Kedua
Inggris yang menjadi nenek moyangnya sepak bola, kali ini gagal memenangi Piala Eropa 2020 atau Euro 2020.
Penulis: Komang Agus Ruspawan | Editor: Komang Agus Ruspawan
TRIBUN-BALI.COM – Penantian Inggris selama 55 tahun untuk kembali mendapatkan gelar juara major tournament belum berakhir.
Inggris yang menjadi nenek moyangnya sepak bola, kali ini gagal memenangi Piala Eropa 2020 atau Euro 2020.
Lolos ke final untuk kali pertamanya di Piala Eropa, Inggris harus menelan kekalahan dari Italia dalam drama adu penalti.
Laga harus diakhiri dengan adu penalti setelah kedua tim bermain imbang 1-1 hingga babak perpanjangan waktu atau selama 120 menit.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kekalahan Inggris pada laga final di Stadion Wembley, London, Senin 12 Juli 2021 dini hari WIB.
Baca Juga: Inggris Gigit Jari Usai Kalah Dalam Drama Adu Penalti, Kiper Donnarumma Pahlawan Kemenangan Italia
Baca Juga: Hasil Final Euro 2020 Italia vs Inggris, Inilah Drama Adu Penalti Mendebarkan, Donnarumma Pahlawan
Dalam laga final ini, Pelatih Inggris Gareth Southgate memilih formasi 3-4-3. Ia mengubah formasi utamanya 4-2-3-1.
Sebelumnya formasi 3-4-3 pernah dipakai saat Inggris mengalahkan Jerman 2-0 di babak 16 besar.
Pilihan strategi dengan formasi 3-4-3 ini awalnya terlihat sangat efektif dengan permainan apik The Three Lions di babak pertama.
Bahkan, Inggris langsung unggul cepat saat pertandingan baru berjalan dua menit.
Gol tercipta berkat kolaborasi dua fullback yang diplot sebagai gelandang sayap, Kieran Trippier di kanan dan Luke Shaw di kiri.
Luke Shaw yang melakukan overlaping, menjebol berhasil gawang Italia yang dikawal Gianluigi Donnarumma.
Menerima umpan matang Trippier dari sisi kanan, Luke Shaw yang lepas sendirian langsung melepaskan tendangan kaki kiri tanpa bisa dihalau Donnarumma.
Unggul berkat gol cepat melalui Shaw membuat Timnas Inggris tampil lebih spartan.
Mereka pun lebih percaya diri untuk mengendalikan permainan dan melancarkan serangan.
Serangan demi serangan terus dilancarkan The Three Lions.
Sedangkan Italia yang terkejut dengan kebobolan cepat pada awal babak pertama, makin tertekan.
Gli Azzurri kerap kali kalang kabut ketika menahan arus serangan yang dilancarkan Harry Kane dkk.
Trippier dan Shaw benar-benar tampil gemilang di babak pertama ini. Beberapa kali mereka mampu menembus pertahanan Italia dari sisi bek kiri dan kanan.
Kedua sektor fullback Timnas Italia yang dihuni oleh Di Lorenzo dan Emerson kocar-kacir menghadapi agresivitas Shaw maupun Trippier.
Di sisi lain, Italia kesulitan mengembangkan permainannya. Meski mereka berusaha untuk meningkatkan intensitas serangan.
Striker Italia, Ciro Immobile, nyaris tak berkembang. Ia berada dalam pengawalan dua bek tengah Inggris John Stones dan Harry Maguire.
Kecepatan yang dimiliki oleh Insigne maupun Federico Chiesa juga belum tampak pada babak pertama.
Pada 10 menit terakhir, Gli Azzurri baru mulai mampu melancarkan serangan.
Satu peluang sempat diciptakan Chiesa setelah melakukan aksi individu. Namun tendangan kaki kirinya masih melenceng tipis di samping gawang.
Baca Juga: Kutukan Timnas Inggris di Stadion Wembley, Drama Adu Penalti, Ini 3 Eksekutor Tiga Singa yang Gagal
Unggul 1-0 di babak pertama, Inggris mulai mengubah strategi di babak kedua.
Memang tidak ada pergantian pemain. Tetapi Inggris memilih strategi bertahan sejak memasuki babak kedua.
Trippier dan Shaw kali ini bermain lebih bertahan, sebagai full back.
Alhasil, Inggris bermain dengan lima bek di sektor pertahanan. Formasi awal 3-4-3 berubah menjadi 5-2-3.
Pelatih Inggris Gareth Southgate memainkan strategi parkir bus untuk mempertahankan keunggulannya.
Inggris yang di babak pertama bermain agresif dengan penguasaan bola yang cepat, berubah menjadi Inggris yang hanya bermain menunggu di daerah pertahanan.
Tiga pemain depan, Harry Kane, Raheem Sterling, dan Mason Mount juga lebih banyak beredar di daerah sendiri.
Strategi parkir bus Inggris ini justru memberi angin segar bagi Italia, yang tengah berjuang mengejar gol penyeimbang.
Italia akhirnya menguasai permainan hingga setengah lapangan, sehingga memberi peluang bagi mereka untuk melancarkan serangan.
Mereka pun berulangkali memberi ancaman, khususnya dari pergerakan Chiesa, yang menjadi pemain paling merepotkan bagi pertahanan Inggris.
Hingga akhirnya Italia mendapat tendangan pojok di menit ke-67.
Berawal dari tendangan sudut tersebut, tercipta kemelut di depan gawang Inggris.
Bek Leonardo Bonucci berhasil mencocor bola liar hingga merobek gawang Inggris.
Skor pun imbang 1-1.
Pemain Italia makin bersemangat. Sementara mental pemain Inggris mulai runtuh.
Gareth Southgate kemudian melakukan pergantian pemain sekaligus perubahan strategi untuk ketiga kalinya.
Ia memasukkan penyerang sayap Bukay0 Saka menggantikan Trippier.
Kali ini Inggris kembali memakai formasi 4-2-3-1 dengan strategi lebih menyerang.
Tetapi strategi ini tak membuahkan hasil, Masuknya Jordan Henderson dan Jack Grealish gagal menembus pertahanan Italia.
Hingga 90 menit berakhir, skor tetap imbang 1-1.
Di babak perpanjangan waktu 2 x 15 menit, Inggris kembali mengatur permainannya dan mengambil inisiatif serangan.
Mereka juga sedikit diuntungkan dengan digantinya beberapa pemain andalan Italia seperti Chiesa yang cedera, kemudian Insigne, serta Marco Verrati.
Akan tetapi tak ada gol tercipta. Kane tampil melempem, Begitu juga Sterling seperti kehilangan sentuhan.
Jelang menit-menit akhir, Southgate memasukkan Marcus Rashford dan Jadon Sancho. Keduanya disiapkan sebagai algojo adu penalti.
Pertandingan akhirnya benar-benar harus diakhiri dengan adu tendangan penalty, karena skor tetap 1-1.
Bayangan buruk akan kekalahan adu penalti di Stadion Wembley seperti semifinal Euro 1996 pun menyeruak.
Saat itu, Inggris kalah adu penalti dari Jerman 5-6. Eksekutor Inggris yang gagal adalah Gareth Southgate yang saat ini memimpin The Three Lions.
Dan benar saja, Southgate kembali mengalami malam yang buruk di Wembley. Inggris kalah adu penalti 2-3 dari Italia.
Publik Inggris kembali menangis. Mereka untuk kesekian kalinya gagal mengakhiri kutukan selama 55 tahun untuk merebut trofi juara.
Pemilihan eksekutor penalti juga menjadi salah satu faktor penyebab kekalahan Inggris dari Italia.
Rashford dan Sancho yang disiapkan sebagai eksekutor justru gagal.
Keduanya tampak belum “panas” karena baru bermain beberapa menit, sehingga eksekusinya tidak maksimal.
Dan, pemilihan Saka yang menjadi penendang terakhir juga dipertanyakan. Mengingat usia pemain Arsenal ini yang masih sangat belia.
Saka baru 19 tahun dan harus memikul beban berat sebagai eksekutor penalti di babak final.
Ia menjadi penendang terakhir Inggris saat kedudukan 2-3 untuk Italia, setelah Jordan Pickford menggagalkan tendangan Jorginho.
Saka pun memikul beban teramat berat. Ia harus menjadi penentu.
Bila gol, maka Inggris bisa menyamakan kedudukan. Namun bila gagal, maka Inggris kalah.
Hasilnya, Saka gagal menjadi eksekutor penalti. Tendangan kaki kirinya dengan muda mampu dibaca dan diblok oleh Donnarumma.
Inggris pun akhirnya kalah 2-3. Saka dalam sorotan, dan Donarumma menjadi pahlawan.
Dengan hasil ini Inggris gagal meraih juara lagi setelah memenangi satu-satunya gelar di Piala Dunia 1966 di Wembley.
Sekaligus gagal mendapatkan trofi pertama di ajang Piala Eropa sejak 1960.
Sebaliknya, bagi Italia ini menjadi trofi keduanya di Piala Eropa. Sebelumnya mereka meraihnya di tahun 1968.
Italia memperlihatkan pengalaman dan mental juara mereka di babak final Euro 2020 lawan Inggris.
Itu pula yang menjadi kunci kemenangan pasukan Roberto Mancini.
Italia pun sangat layak menjuarai Euro 2020 ini dengan melihat perjalanan mereka yang gemilang dengan hasil nyaris sempurna sejak penyisihan grup.
Mereka selalu menang, termasuk menyingkirkan dua tim kuat yang jadi favorit juara yaitu Belgia di perempat finall dan Spanyol di babak semifinal. (*)