Serba Serbi

Sarana Upakara dan Harapan Umat Hindu Agar Mencapai Moksa

Dalam masyarakat Hindu di Bali, dan harapan untuk menuju konsep moksa. Tentunya memerlukan sarana dan prasarana berupa upacara.

Tribun Bali/Rizal Fanany
Ilustrasi sembahyang - Sarana Upakara dan Harapan Umat Hindu Agar Mencapai Moksa 

Laporan Wartawan Tribun Bali Anak Agung Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Dalam masyarakat Hindu di Bali, dan harapan untuk menuju konsep moksa.

Tentunya memerlukan sarana dan prasarana berupa upacara.

Proses upacara itu adalah nilapati dan ngelinggihan, dan berikut sarana upakaranya.

Sarana upakara yang diperlukan untuk di kemulan terdiri dari beberapa bagian.

Baca juga: Bale Panggung Pura Puseh Ambruk Diterjang Angin Kencang, Kerugian Diperkirakan Capai Ratusan Juta 

Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, menyebutkan ada banten pangresikan.

Terdiri dari banten byakawon, banten tatebasan dumenggala, banten tatebasan prayascita, banten pengulapan, dan banten lis amu-amuan, ririan.

Lalu ada banten di sanggar Surya, terdiri dari daksina saha suci, banten pejati asoroh, banten rayunan atau hyunan putih kuning asoroh.

"Kemudian banten canang pesucian dan kalungah nyuh gading kinasturi," sebut beliau, Selasa 20 Juli 2021.

Ada pula banten catu tapakan, terdiri dari banten caru ayam putih mulus asoroh.

Serta banten glar sanga asoroh.

Dilanjutkan dengan banten ring arepan, atau di depan Sang Dewa Pitara.

Yakni banten rayunan putih kuning.

Banten lainnya, kata beliau, berada di merajan (Kemulan Rong Tiga), terdiri dari daksina saha suci asoroh, lalu banten pejati asoroh, dan hyunan putih kuning asoroh.

Terakhir adalah banten ayaban atau pamereman, terdiri dari daksina saha suci asoroh.

Lalu banten pejati asoroh, banten ayaban tumpeng solas asoroh, banten sasayut guru, banten sasayut pemahayu sot, banten panglebar asoroh dan banten arepan sang pamuput.

Untuk tatanan atau dudonan acaranya, adalah setelah datang dari ngulapin atau ngedetin (nyegara gunung).

Lalu Dewa Pitara atau Ida Bhatara-Bhatari dituntun ke merajan.

"Sebelum ditempatkan di rong tiga, acara tirta pangreresikan dijalankan lebih dahulu," sebut ida.

Hal itu telah disiapkan jero pemangku atau pinandita.

Diantaranya adalah byakwon, durmanggala, prayascita, pengulapan, dan lis amu-amu.

Kemudian ngayaban caru petapakan dan gelar sanga.

"Dewa Pitara ditempatkan di rong tiga, tetapi sebelum ditempatkan di rong tiga. Dewa Pitara atau Ida Bhatara-Bhatari diharapkan dapat napak atau menginjak caru,"sebut sulinggih dari Sesetan ini.

Kemudian daksina yang laki-laki (lanang), ditempatkan di rong tiga yang berada di luwanan atau kaja dari palinggih rong yang di luwanan.

Daksina yang istri ditempatkan di tebenan atau kelod, dari rong tiga atau tebenan dari palinggih.

Lalu ditempatkan di hadapan Dewa Pitara atau Ida Bhatara-Bhatari, dengan rayunan putih kuning, pejati, suci dan lain sebagainya.

"Sesudah Dewa Pitara malinggih dan siap dengan rayunan seperti disebut di atas, maka jero mangku ngayabang banten tumpeng pitu, diikuti atau dibantu oleh sang yajamana," jelas ida.

Kemudian dilanjutkan dengan muspa atau sembahyang.

Setelah itu, menghaturkan pedatengan dan sasayut panglebar.

Dilanjutkan acara nilapati dengan cara mrelina daksina.

Baca juga: Kisah Ramayana Menurut Kepercayaan Hindu, Bagian dari Memperdalam Ajaran Weda

"Daksina bisa dipralina langsung malam atau hari itu juga. Apabila tidak, maka daksina bisa dipralina tiga hari kemudian," sebut pensiunan dosen UNHI ini.

Kemudian abu hasil pembakaran dan daksina yang telah dipecah, ditanam di tanah di belakang linggih Rong Tiga atau pretiwi.

Dan dijadikan satu. Setelah mendem (menanam), maka jangan lupa menghaturkan segehan putih kuning.

"Dari rangkaian upacara dan upakara tersebut di atas. Menandakan bahwa umat Hindu di Bali berusaha untuk mempersatukan atman dengan Brahman melalui jalan yadnya, sesuai dengan petunjuk sastra-sastra yang ada," jelas beliau.

Jalan yadnya ini adalah suatu usaha, untuk menyatukan atman dengan Brahman, agar atman tersebut dapat Amor Ing Acintya atau menyatu dengan Tuhan.

Serta terpelas dari belenggu maya, yakni hal-hal yang bersifat duniawi.

"Terlepasnya atman dari ikatan belenggu maya dan dapat menyatu dengan Brahman (Tuhan) inilah yang disebut dengan moksa," sebutnya.

Namun tentang hasilnya, sesungguhnya tetap ditentukan oleh subha asubha karma, atau perbuatan baik buruknya seseorang semasa hidupnya. (*).

Kumpulan Artikel Bali

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved