Serba serbi
Bunga dan Kuwangen dalam Sarana Persembahyangan Agama Hindu, Berikut Bunga yang Tidak Boleh Dipakai
Bunga dan kuwangen, adalah sarana upakara yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan beragama Hindu di Bali.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Laporan Wartawan Tribun Bali Anak Agung Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Bunga dan kuwangen, adalah sarana upakara yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan beragama Hindu di Bali.
Terutama untuk sarana sembahyang baik oleh umat sedharma di Bali, maupun di luar Bali.
Bunga, dupa, hingga kuwangen menjadi sarana yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari umat Hindu di Bali. Baik untuk sembahyang di sanggah, merajan, hingga di pura-pura.
Sejak turun-temurun diyakini, sarana tersebut sebagai sarana utama untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa, atau Tuhan yang Maha Kuasa dengan segala manifestasi beliau.
Baca juga: Sarana Upakara dan Harapan Umat Hindu Agar Mencapai Moksa
"Hal ini dikarenakan dalam ajaran agama Hindu, bahwa kuwangen dan bunga sebagai lambang atau prenawa 'Om' yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta sinar suci-Nya yaitu para dewa," jelas Jero Mangku Ketut Maliarsa Pemangku Pura Campuhan Windu Segara, kepada Tribun Bali, Rabu 21 Juli 2021.
Selain itu, memang kedua sarana ini dapat menumbuhkan kebahagiaan perasaan, hati, dan pikiran.
Sehingga dalam memusatkan pikiran, bisa terfokus untuk mengagungkan kekuatan di luar kuasa manusia yaitu kekuatan Tuhan Yang Maha Esa dan manifestasi-Nya.
Baca juga: Berhubungan dengan Roh, Nyekah atau Mamukur dan Maknanya dalam Hindu di Bali
"Fungsi kuwangen untuk persembahyangan, tidak lain adalah bermakna sebagai sarana yang mempunyai kekuatan magis bervibrasi positif. Karena sarana ini sebagai niyasa 'Ongkara" yang merupakan aksara suci prenawa Ida Sang Hyang Widhi Wasa,Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasi-Nya atau sinar suci- Nya," jelas pemangku asli Bon Dalem ini.
Jika dicermati dari etimologinya, kata kuwangen terdiri dari kata wangi dengan konfiks ke-an.
Wangi artinya harum, dan sebagai simbol keheningan, kesucian, kebahagiaan dan keharuman.
Konfiks ke-an berarti membuat jadi. Hal ini dikatakan demikian, karena dalam bersembahyang para umat se-dharma harus hening, suci, bahagia untuk mengharumkan eksistensi Tuhan itu sendiri.
"Bahkan dalam Lontar Tutur Tapini, dikatakan bahwa pada saat bersembahyang adalah proses mengharumkan keagungan dan kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa," sebutnya.
Adapun bentuk dan isi kuwangen menurut Lontar Yadnya Prakerti, bahwa bentuk kuwangen runcing di bawahnya, dan bagian atasnya terbuka lalu berisi bunga seolah-seolah sedang mekar merekah sebagai lambang keharuman dan keindahan.
Baca juga: Tingginya Penularan Covid-19, Kagama Keluarkan 6 Imbauan
Isi kuwangen yang ditempatkan pada kojong, dari daun pisang sebagai simbol ardha candra.