Wawancara Tokoh

Bincang dengan Yenny Wahid, Lemas dan Gemes Lihat Garuda

Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid atau yang kerap disapa Yenny Wahid mengungkap awalnya sempat tidak mau menerima

Tribunnews.com/ Dennis Destryawan
Eks Komisaris Independen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Yenny Wahid saat diskusi bersama redaksi Tribunnews.com, Senin 16 Agustus 2021 . 

TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid atau yang kerap disapa Yenny Wahid mengungkap awalnya sempat tidak mau menerima tawaran Menteri BUMN Erick Thohir untuk mengisi posisi Komisaris Independen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.

Alasan Yenny tak lain karena masalah yang ada dalam tubuh perusahaan pelat merah itu terlalu besar dan banyak.

Bahkan saat melakukan riset terkait masalah Garuda, Yenny mengaku lemas sekaligus gemas.

"Langsung lemas (setelah riset), 'aduh problemnya kok kayak gini'. Cuma lemas dan gemas juga, kenapa sih kok harus begini, sayang sekali karena Garuda kan salah satu aset kebanggaan kita," ujar Yenny, saat wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dan News Manager Tribun Network Rachmat Hidayat, Senin 16 Agustus 2021.

Baca juga: Kisah Sepi Nengah, Kusir Delman di Kota Denpasar, Pergi Kosong, Pulang pun Sama

Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana cerita Mbak Yenny jadi Komisaris Independen PT Garuda Indonesia Tbk?

Saya enggak tahu kalau dari sisi yang lain.

Dari sisi saya, waktu itu memang Mas Erick Thohir (Menteri BUMN) kontak saya.

Beliau kebetulan membutuhkan sosok perempuan di jajaran komisaris di BUMN.

Beliau sudah punya visi agar bisa memberikan lebih banyak lagi porsi untuk perempuan, agar tercipta kesetaraan gender di dalam tubuh BUMN.

Karena sama-sama kita tahu bahwa ketika perempuan diberdayakan, difasilitasi dan salah satunya, misalnya, di perusahaan, ini berdasarkan survei, di Australia misalnya, ketika perempuan berada di posisi pengambil keputusan strategis di perusahaan maka keuntungan perusahaan naik 30 persen.

Itu surveinya begitu.

Nah mungkin Mas Erick melihat begitu.

Jadi beliau kemudian mencari siapa nih ya sosok perempuan yang cocok dengan kebutuhan Garuda pada waktu itu.

Awalnya nggak mau karena Garuda sangat menantang problemnya.

Problemnya aduh menantang sekali ya, aduh kok dikasih persoalan, kira-kira begitu.

Mas Erick minta tolong, ya sudah baiklah saya coba bantu semampu saya.

Saya minta waktu sih ketika itu sama mas Erick, saya tanya ibu saya bagaimana.

Ya sudahlah orang minta tolong dan kemudian ada persoalan di sana ya kalau bisa bantu coba carikan solusi, barangkali bisa menolong.

Sebenarnya simpel saja.

Sebelum mengiyakan permintaan Pak Erick Thohir, apakah Anda melakukan riset kecil-kecilan terhadap Garuda?

Ya pasti.

Dari riset apa yang didapat?

Langsung lemas. Aduh problemnya kok kayak gini. Cuma lemas dan gemas.

Kenapa sih kok harus begini. Sayang sekali Garuda kan salah satu aset kebanggaan kita.

Sebagai national flight carrier kita, Garuda mengudara di mana-mana, di seluruh dunia.

Kalau lihat Garuda itu ada kebanggaan luar biasa.

Saya sebagai orang yang sering melancong ke mana-mana, naik Garuda beda sama naik maskapai lain.

Pasti beda.

Ketika masuk ke lingkaran dalam PT Garuda Indonesia Tbk sebagai Komisaris Independen, apakah Anda menemukan sesuatu yang sebelumnya nggak dilihat berdasarkan riset?

Ternyata problemnya jauh lebih berat. Misalnya, laporan keuangan yang harus di-restate.

Kemudian ada temuan-temuan audit yang harus disikapi.

Budaya kerja yang harus dibenahi. Lalu kalau dulu persoalan Good Corporate Governance (GCG), dulu ada pengelolaan yang mungkin tidak terlalu transparan dalam hal pengaturan, macam-macam hal.

Juga ternyata ada beberapa rute-rute yang merugi, tapi tetap dipertahankan.

Kalau dari sisi bisnis, ada mekanisme-mekanisme yang kurang pas lah untuk sebuah perusahaan terbuka.

Itu yang pelan-pelan kita coba beresin.

Waktu di dalam saya coba bereskan, juga bersama dengan komisaris yang lain kita coba melakukan pembenahan, terutama dari sisi GCG-nya tadi.

Jadi ada akuntabilitas, profesionalisme, dan sebagainya itu yang selalu kita tekankan.

Jangan intrik-intrik. Biasalah perusahaan pelat merah kan suka begitu tuh.

Nah itu ditinggalkan deh, jangan ke arah sana.

Kemudian orientasinya harus profit.

Jangan cuma sekedar masuk kerja.

Bukan begitu. Mungkin kesadaran macam itu yang coba kita bangun pelan-pelan.

Kalau dari sisi bisnis kita melakukan banyak upaya untuk membuat plan ke depan apa yang harus dijalankan oleh Garuda, seperti revitalisasi bisnis, restrukturisasi sisi keuangannya karena dulu banyak hal-hal yang tidak efisien.

Baca juga: Tayangan Wawancara Harry - Meghan & Dokumenter Britney Spears Dapat Nominasi Emmy Awards

Anak perusahaan yang nggak jelas, cucu perusahaan ini apa sih.

Ada cucu perusahaan yang nggak jelas ini ngapain dan melakukan apa.

Untuk cucu-cucu perusahaan Garuda nasibnya bagaimana?

Memang harus direstrukturisasi karena tidak bisa jalan juga. Tidak jelas model bisnisnya dan lagi cost-nya tinggi.

Harus disubsidi terus, ini kan tidak boleh. Lebih baik kita streamline aja semuanya.

Kemudian bisnis kargo harus jadi refocus.

Sekarang karena pandemi orang fokus kirim-kirim barang. Ini lucrative jadi punya potensi besar.

Sekarang sudah naik dari target kita.

Kita genjot betul kargo.

Ke depan akan ada pesawat penumpang yang diubah khusus untuk kargo.

Apakah saran, masukan, pengawasan yang dilakukan komisaris di Garuda selama ini efektif dan didengarkan oleh direksi atau tidak?

Itu pertanyaannya harus ke direksi.

Tetapi bahwa memang sebetulnya bisa lebih ditingkatkan lagi.

Ada banyak sekali catatan-catatan yang kita berikan.

Lalu ada beberapa hal yang sempat disampaikan dewan komisaris yang kalau saja itu dijalankan lebih tepat waktu oleh direksi maka dampaknya akan lebih baik, terutama di masa pandemi, kerugiannya akan lebih kecil dibanding dengan kerugian yang dialami sekarang.

Jadi plan besar atau blueprint menghadapi pandemi ini, asumsi-asumsi yang harus diambil, yang harus dijadikan dasar pengambilan pembuatan bisnis planning kemudian langkah-langkah yang harus dilakukan segera.

Misal renegosiasi dengan lessor itu memang kita suka nyubit-nyubit direksi sih supaya bisa lebih cepat lagi, lebih banyak lagi, bisa lebih galak lagi kalau negosiasi dengan lessor.

Bisa lebih dikuatkan lagi.

Dari dewan komisaris kami membantu, bukan cuma sekedar mengingatkan, walaupun kita tidak bisa melakukan eksekusi, fungsinya juga mengawasi dan mengingatkan, ya memberikan arahan, tapi banyak hal yang kita lakukan untuk memfasilitasi juga.

Langkah koordinasi dengan penegak hukum apa saja yang sudah dilakukan?

Ada dua tujuannya internal dan eksternal.

Tujuan internal memberikan pesan yang kuat bahwa tidak boleh ada lagi hengki pengki di dalam Garuda.

Semua harus transparan, menegakkan GCG. Semua jelas tidak ada aneh-aneh.

Nggak boleh lagi tuh menyelundupkan Brompton. Secara internal itu nggak boleh main kargo lagi.

Kalau ke eksternal kita memberikan pesan ke lessor bahwa pesawat yang disewakan ke kami punya muatan KKN.

Kalau kita teruskan kamu juga bisa kena ada konsekuensi hukumnya juga ke kalian.

Untuk masalah Rolls Royce itu masuk ke ranah Kementerian Kehakiman United Kingdom.

Kemudian pemerintah Inggris bertindak juga dan didenda.

Dalam catatan, ada 36 lessor yang berhubungan dengan Garuda.

Sebagian diantaranya adalah lessor bermasalah karena mematok harga terlalu tinggi lalu ada unsur kickback. Kickback atau praktik yang tidak bagus ini dimulai sejak kapan?

Waduh sudah lama ya. Sudah lama sekali.

Jadi ini warisan dari masa lalu ya? Bukan karena direksi yang sekarang?

Ya betul.

Karena misalnya kita punya beberapa pesawat namanya CRJ Bombardier.

Pesawat ini nggak cocok sama landscape Indonesia.

Bahasa mudahnya kalau diterbangkan kita rugi, apalagi diparkir lebih rugi lagi.

Diterbangkan saja, full capacity itu rugi. Apalagi diparkir, sudah bayar sewa, maintenance, bayar parkir lah macam-macam.

Nah kita mau mengembalikan kan susah.

Kita ada beberapa pesawat yang seperti ini, dan sampai sekarang masih jadi beban.

Ibaratnya punya perusahaan mikrolet, tapi mobilnya Lexus dan harus dicicil tiap bulan.

Menurut pengetahuan Anda, ngapain sih beli sesuatu yang nggak cocok? Apa ada pressure dari pihak lain supaya dapat sesuatu?

Itu saya tanya malaikat dulu ya, karena saya juga nggak tahu jawabannya kenapa itu.

Tapi kan itu problemnya Indonesia, pengadaan barang yang tidak sesuai dengan kebutuhan.

Terjadinya memang sudah lama, bertahun-tahun sebelum saya masuk Garuda tapi bayangkan dampaknya sampai sekarang, bagaimana coba.

Ada analisa bahwa inefisiensi di Garuda karena banyak jenis pesawat yang dipakai, sehingga tidak efisien, pilotnya harus khusus, tidak mungkin diganti-ganti. Apa betul?

Pilot bukan seperti pengemudi mobil yang bisa pakai mobil sedan juga bisa pakai mobil merek lainnya.

Kalau pilot sudah pegang Boeing, ya punya spesialisasi.

Kalau harus pegang ATR itu beda lagi, harus training lagi dan nggak sebentar trainingnya.

Nah begitu pesawatnya nggak ada, dan problem Garuda saat ini adalah human resources.

Jumlah pegawai yang banyak sekali dan ketika pesawatnya nggak ada karena sebagian dikembalikan, pilotnya masih ada dan ratusan juga.

Jadi problem-problem macam ini kan harus dituntaskan semua. Jadi strategi human resourcesnya itu harus jelas mereka mau dialihkan untuk apa. (tribun network/Vincentius Jyestha)

Kumpulan Artikel Wawancara Tokoh

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved