Berita Denpasar
Mesangih Dengan Orang Ganjil, Berikut Penjelasan Mengenai Pantangan Potong Gigi di Bali
Mepandes, mesangih, atau potong gigi adalah salah satu kewajiban umat Hindu di Bali.Khususnya pula adalah salah satu kewajiban orang tua pada anaknya.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Karsiani Putri
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Mepandes, mesangih, atau potong gigi adalah salah satu kewajiban umat Hindu di Bali.
Khususnya pula adalah salah satu kewajiban orang tua pada anaknya.
Upacara potong gigi penting dilakukan, apalagi setelah seorang anak akhir balik.
Hal ini guna menghilangkan Sad Ripu di dalam diri anak dan menuntunnya menjadi lebih baik.
Namun, apa saja aturan di dalam upacara potong gigi ini, berikut penjelasan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti kepada Tribun Bali, Minggu 5 September 2021.
Dalam masyarakat umum, biasanya dipercayai apabila mesangih haruslah dengan jumlah orang genap.
Sebab jika jumlahnya ganjil, apalagi tiga orang dipercaya hal itu tidak baik.
"Kalau mesangih dengan tiga orang di satu bale saja. Atau istilahnya naik satu-satu itu boleh dan tidak masalah," sebut beliau.
Namun apabila naik bertiga, menggunakan dua bale di bale gede (tengah) dengan dua sangging atau dua orang tukang sangging dan naiknya barengan berdua.
Menyebabkan ada salah satu yang naik sendiri dengan dua bale, sehingga ada satu bale yang kosong.
"Nah ini yang perlu dihindari, sehingga perlu penggenep dengan nyangihin anak yang sudah mesangih sebelumnya. Hanya sebagai penggenep saja," ujarnya.
Mengapa demikian, kata beliau, karena mesangih adalah acara yang disakralkan, bahkan dalam melaksanakan upacara mesangih hampir seperti orang memandikan mayat (melelet), itu sebabnya orang mesangih tidak boleh menutup mata.
"Secara psikologis apabila orang yang mesangih berbarengan mereka akan merasa aman dan nyaman. Tetapi apabila tadinya yang naik berbarengan dan tiba-tiba ia hanya sendiri yang naik, serta melihat balai-balai disebelahnya kosong maka yang mesangih sendiri akan shock atau merasa takut. Hal ini sangat berbahaya dari segi mental yang mesangih itu," kata ida.
Sehingga beliau menegaskan, agar apabila ada yang mesangih ganjil namun dengan dua bale maka harus dicarikan pengenep.
"Tetapi tiang tegaskan, apabila naik sendiri-sendiri dengan bale satu maka itu diperbolehkan," ujar beliau.
Namun beliau mengembalikan lagi, semua tergantung dari desa mawacara masing-masing.
Sebab terkadang drestanya berbeda-beda.
Artinya secara psikologis dirasa akan kurang baik.
Namun ada satu hal yang pasti, yang beliau utarakan sebagai pantangan orang mesangih.
Yaitu tidak boleh ngidem atau menutup mata.
Kemudian tidak boleh orang hamil mesangih, serta pasangan suami istri potong gigi bersama di bale atau tempat yang sama.
"Tidak ngidem atau menutup mata ini, karena posisinya orang mesangih adalah seperti orang mati, sedangkan ia bukan mati," tegas ida.
Sehingga diminta agar jangan ngidem serta supaya tetap jagra atau membuka mata.
"Lalu orang hamil tidak boleh potong gigi. Seperti telah disebutkan potong gigi sering dikonotasikan dengan upacara sakral dan magis. Bagi orang yang hamil, biasanya pikirannya goyah dan kehamilannya sangat rentan. Kalau orang hamil biasanya psikologinya juga harus dijaga. Apabila orang hamil merasa was-was, dan merasa ketakutan lebih-lebih selalu dihubungkan dengan hal-hal yang magis, tentu itu tidak baik," tegas beliau.
Apabila si wanita yang sedang hamil merasa shock, takut, tertekan maka sangat rentan akan terjadi keguguran atau membahayakan psikis ibu dan anak di dalam kandungannya.
Kemudian suami istri, tidak diperkenankan melaksanakan potong gigi bersama di tempat yang sama, diduga akan sering menimbulkan polemik.
"Hal ini disebabkan bahwa potong gigi adalah kewajiban orang tua kandungnya. Apabila dia melakukan potong gigi di rumah si pria maka orang tua si perempuan akan merasa ada yang mencemooh," kata beliau.
Semisal 'kok hutangnya kepada anaknya dilimpahkan pada orang lain' dan sebagainya.
Secara psikis, tentunya lambat laun hal ini kurang baik bagi pasangan tersebut.
Karena bisa memicu pertengkaran di dalam rumah tangga.
Sehingga disarankan agar setiap orang tua, berupaya dan berusaha mengupacarai potong gigi putra putrinya sebelum menikah.
Kemudian apabila ada orang meninggal, dan belum mesangih maka tidak perlu dilakukan upacara mesangih.
Karena hal tersebut merupakan larangan dan pantangan dalam agama Hindu. Jika dipaksa, itu sama dengan disebut ngeludang wangke.
Atau membunuh dan menyiksa orang yang telah tiada.
Tentunya hal ini sangat tidak elok dilakukan.
"Namun apabila orang tua yang meninggal bersikukuh untuk supaya anaknya mesangih, sebagai pembayaran utang terakhirnya orang tua pada anaknya, maka boleh dilakukan mesangih tetapi cara dan konsepnya sedikit berubah," ujar ida.
Baca juga: Parfum Pasupati Kaori Didoakan dengan Doa Khusus, Punya Banyak Manfaat
Yakni dengan cara orang yang meninggal saat melakukan proses nyiramang layon pada tahapan bersih hidup (sebelum tahapan bersih mati).
Yaitu pada saat mayat berpakaian seperti orang masih hidup, maka saat itu prosesi mesangih bisa dilakukan.
Tetapi yang menjadi sangging atau yang nyangihin adalah orang tua orang yang meninggal tersebut.
Tentunya dengan beberapa syarat, diantaranya untuk nyangihin, maka kikir yang dipakai nyangihin yang biasanya dibuat dari besi harus diganti dengan pusuh bunga tunjung.
Baca juga: Lahir Minggu Wage Landep Mengayomi Orang Sengsara, Memiliki Ingatan Tajam, Begini Nasibnya
"Bunga tunjung atau teratai yang belum mekar, untuk nyangihin gigi yang meninggal," ujar ida.
Saat nyangihin, si sangging juga harus berada di atas atau beralaskan sepingan padi (padi yang diikat-ikat kecil), sehingga si sangging bertumpu di atas padi pada saat ia nyangihin.
Si sangging harus memakai gelang tangan dengan uang kepeng (pipis bolong) satakan.
"Nah itulah syarat-syaratnya untuk nyangihin orang meninggal, yang sebenarnya orang meninggal tidak boleh dilakukan mesangih karena disebut menyiksa orang yang telah mati, atau ngeludin wangke," jelas beliau. (*)