Serba Serbi
Sulinggih Lebar, Berikut Prosesi Pelebonnya dalam Masyarakat Hindu Bali
Prosesi upacara lebar (meninggal) seorang sulinggih berbeda dengan walaka (orang biasa), karena seorang sulinggih telah terlebih dulu melaksanakan
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Laporan Wartawan Tribun Bali, Anak Agung Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Ketika seorang sulinggih lebar atau mangkat (meninggal) di Bali, maka upacaranya akan berbeda dengan welaka atau masyarakat biasa tatkala meninggal dunia.
Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti menjelaskan tentang hal itu kepada Tribun Bali, Selasa 14 September 2021.
"Prosesi upacara lebar (meninggal) seorang sulinggih berbeda dengan walaka (orang biasa), karena seorang sulinggih telah terlebih dulu melaksanakan upacara yang disebut madiksa, atau disebut dengan dwijati (lahir dua kali)," sebut beliau.
Lahir dua kali ini maksudnya, pertama lahir dari rahim (garbha) seorang ibu, dan yang kedua adalah lahir melalui proses dari seorang nabe atau guru.
Baca juga: Ida Pedanda Gede Jelantik Karang Lebar, Ini Kekaguman Ari Dwipayana pada Sosok Sang Sulinggih
Sedangkan walaka disebut ekajati atau lahir hanya satu kali, yaitu lahir dari rahim seorang ibu.
"Sehingga proses ngaben seorang sulinggih berbeda dengan proses pengabenan seorang walaka. Hal ini juga disebabkan bahwa sesungguhnya seorang sulinggih di saat melaksanakan upacara dwijati.
Beliau sesungguhnya telah melaksanakan upacara pengabenan dalam saat hidup, yaitu dalam perubahan dari walaka menjadi sulinggih dengan proses dwijati," jelas beliau.
Oleh karena itu, upacara madwijati atau madiksa didahului dengan upacara mati raga (seda raga), yang dilanjutkan dengan upacara pengaskaran oleh nabe kepada nanak (calon diksita/sulinggih).
Hal itu dilakukan layaknya seperti orang yang telah meninggal dalam sebuah upacara pengabenan.
Pengaskaran dalam pengabenan adalah simbol inisiasi roh dari petra menjadi pitara, yang dilakukan oleh seorang sulinggih yang telah lengkap dengan proses 'mapulang lingga' atau juga disebut upacara ngelinggihan lingga dalam diri.
Sedangkan dalam pengaskaran saat dwijati adalah juga merupakan inisiasi roh, yaitu roh seorang walaka agar menjadi roh yang lebih suci untuk menjadi seorang yang disucikan (sulinggih).
Pengaskaran dalam proses padwijatian hanya boleh dilakukan oleh seorang Nabe Napak. Sehingga setelah hal itu dilaksanakan, maka barulah dilakukan upacara madiksa.
Sedangkan proses pengabenan adalah inisiasi roh dari petra menjadi pitara, yang dilakukan oleh seorang sulinggih yang telah lengkap dengan proses 'mapulang lingga' atau juga disebut upacara ngelinggihan lingga dalam diri.
"Ketika seorang sulinggih lebar (meninggal) maka proses pengaskaran tidak perlu lagi dilakukan, karena beliau dalam upacara dwijati/padiksaan telah dilaksanakan proses pangaskaran," ucap beliau.
Baca juga: BERITA DUKA: Ida Pedanda Gede Made Jelantik Karang dari Geria Budakeling Karangasem Lebar
Disamping itu apabila dipaksakan untuk diaskara, siapa yang berhak atau boleh melakukan, karena yang bisa atau yang boleh melakukan pengaskaran seorang sulinggih hanyalah Nabe Napaknya saja.
"Kita ketahui biasanya kalau sulinggih nanak lebar (wafat), sulinggih nabenya biasanya lebih duluan sudah lebar (wafat) karena faktor usia, sehingga biasanya saat nanak lebar, nabe sudah tidak ada, sehingga mustahil dilakukan pengaskaran apalagi saat madiksa proses pengaskaran sudah dilaksanakan," jelas beliau.
Pengabenan sulinggih ada sedikit berbeda dengan proses Pengabenan walaka.
Dimana sulinggih saat lebar (wafat) tidak dilakukan penguburan, tetapi langsung dilakukan upacara pelebuan (pengabenan).
Sedang walaka apabila meninggal, boleh langsung melakukan pengabenan dan boleh melakukan penguburan untuk menunggu saat upacara pengabenan dilaksanakan.
"Yang menjadi fenomena, sering terjadi pengabenan untuk sulinggih dilakukan besar-besaran. Dimana upacara banten dan bade/pemeremannya atau juga petualangannya cukup besar dan megah, dengan alasan sang sulinggih akeh meduwe sisia dan sang sulinggih perlu dihormati lebih dari walaka," kata beliau.
Namun secara pribadi, Ida Rsi pribadi berpendapat sedikit berbeda.
Menurut beliau, seorang sulinggih saat lebar/wafat, tidak perlu membuat upacara dan sarana upakara yang besar apalagi yang megah.
Cukup upacara pelebuan/pengabenan seorang sulinggih yang sangat sederhana dan lebih sederhana dari pengabenan seorang walaka karena ada beberapa alasan.
Yaitu seorang sulinggih sebenarnya sebelum meninggal/lebar, beliau telah dilakukan upacara pengabenan, hal ini dibuktikan saat upacara madwijati, dimana dengan adanya upacara seda raga (mati raga), dan pengaskaran dilakukan.
Baca juga: Skema Ngaben Massal 291 Sawa di Bangli, Jumlah Krama Batur Dibatasi & Wajib Swab
Seorang dwijati, sebenarnya adalah perjalanan seseorang dari konsep ramia (rame-rame/hura-hura), menuju ke konsep sunia (sepi/hening), sehingga upacara besar tidak perlu ada.
Karena seorang Sulinggih yang benar-benar mengabdi kepada kesucian, harus lepas dengan konsep material karena akan lebih banyak menuju kepada konsep spritual (hening).
Jadi menurut Ida Rsi secara pribadi, sebenarnya konsep pengabenan/pelebuan seorang sulinggih sepatutnya berbeda dari pengabenan seorang walaka, bahkan lebih sederhana dan lebih simpel dari upacara pengabenan walaka.
"Bahkan Ida Rsi mengamanatkan kepada pratisentana titiang sendiri untuk pelaksanaan pada diri Rsi saat dipanggil oleh yang Maha Kuasa," imbuh beliau. (*)
Artikel lainnya di Serba Serbi