Serba serbi
Terkendala Suara, Begini Kisah Dewa Mangku Dalang Samerana Menjadi Dalang
Dewa Mangku Dalang Samerana, memiliki kisah tersendiri sampai akhirnya menjadi seorang dalang wayang di Bali.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Dewa Mangku Dalang Samerana, memiliki kisah tersendiri sampai akhirnya menjadi seorang dalang wayang di Bali.
Pemangku asal Lingkungan Kelod Kauh Beng, Gianyar, ini menceritakan kisahnya kepada Tribun Bali, Minggu 3 Oktober 2021.
“Kebetulan saya memang sekolah pedalangan sejak SMA,” sebutnya.
Jurusan Pedalangan di ISI Denpasar ini dipilih, bukan tanpa alasan.
Mantan mahasiswa ISI yang masuk tahun 1997 ini, memulai karier sebagai dalang setahun kemudian atau 1998.
Baca juga: Seniman Dalang Legendaris Denpasar Jero Dalang I Made Kembar Tutup Usia
“Kala itu disebutnya wayang lemah,” kata pemangku dengan nama asli Dewa Made Putra Gunarsa ini.
Ia menjadi dalang untuk acara upacara Bhuta Yadnya, Pitra Yadnya, sampai Dewa Yadnya.
Kemudian saat semester tujuh, ia menyadari faktor suaranya yang terkadang false cukup memengaruhi performanya dalam dunia pedalangan.
Hal itu karena sejak kecil, memang ia telah mengalami gangguan pita suara.
Walau demikian, tak menghalangi niatnya untuk meneruskan warisan leluhur sebagai dalang.
Apalagi wayang-wayang yang ada telah diwarisi sejak 15 generasi sampai ke dirinya saat ini.
“Karena saya ini harus menjalani menjadi dalang, walaupun suara tidak mendukung. Sehingga basic dalang saya saat ini untuk ruwatan,” jelasnya.
Baca juga: Profil Ki Seno, Dalang Kondang Yogyakarta yang Meninggal di Usia 48 Tahun
Akhirnya ia pun menekuni sebagai dalang wayang khusus ruwatan.
Tahun 1999, akhirnya Dewa Mangku Dalang Samerana mengambil lakon calonarang.
“Saya mulai menekuni wayang calonarang dari tahun 1999, sampai sekitar 2007. Lalu dari 2007 itu ada saja yang meminta agar saya meruwat,” katanya.
Sampai akhirnya ia memulai sebagai dalang wayang sapuhleger, khususnya setelah ia mawinten mangku dalang.
Pada tahun 2010, ia pula menjadi mangku kawitan atau mangku merajan yang disaksikan oleh prajuru desa adat dan bendesa serta pemangku kahyangan tiga.
Sejak saat itu, ia menjadi mangku merajan dan mangku dalang.
“Makanya saya kadang-kadang ngeruwat memakai bajra, karena fisik saya mangku paibon dan mangku merajan,” jelasnya.
Sebelum kuliah di ISI dan tamat kuliah tahun 2001, jero mangku juga bersekolah di SMKI yang sebelumnya bernama Kokar dari tahun 1993 sampai 1997.
“Kalau sekolah menengah waktu itu jurusan saya adalah tari,” sebutnya.
Mengingat ada warisan wayang dari leluhur, ia pun mulai belajar dari nol sebelum akhirnya mendalami dunia pedalangan sejak duduk di bangku kuliah.
Lanjut pemangku yang bisa magender ini, tatkala ia masih menjadi dalang calon arang. Ia membawakan cerita tentang kisah Ratna Manggali, Walu Nateng Dirah, Prabu Erlangga, dan Empu Bradah.
“Kalau penyalonarangan seperti basur, Dalem Bungkut, yang menceritakan pangiwa atau pangleakan,” ujarnya.
Leak ini, kata dia, adalah ‘li’ atau lingga dan ‘ak’ yang berarti aksara atau linggih aksara di angga sarira.
Selain itu, jero mangku ini juga mengambil dalang wayang ruwatan termasuk wayang sapuh leger.
“Kalau saya mengambil ruwatan wayang sapuh leger, sesuai dengan hari lahirnya. Kalau lahir hari Minggu ya diruwat hari Minggu, begitu seterusnya sampai hari Sabtu wuku Wayang,” tegasnya.
Sebab memang tidak boleh sembarangan dalam meruwat sapuh leger.
Ia menegaskan kembali, sebab hal itu disebut bayuh oton sapuh leger.
“Kalau lahir di Redite Wayang ya harus di Redite Wayang dibayuh,” jelasnya. Pasalnya, dewa atau bhatara dari masing-masing hari kelahiran wuku Wayang itu berbeda-beda. Sehingga upacara dan upakaranya pun juga berbeda-beda sesuai dengan Saptawara dan Pancawara.
Atribut dan sarana-prasarana sapuh leger juga harus jelas.
“Yang diruwat menduduki padi sepingan. Nah apabila perempuan maka dia mengabin di atas pahanya ditaruh alat-alat tenun, jantra, anggapan. Apabila yang laki-laki membawa pemutik dengan alat-alat carik seperti arit, tenggala dan lain sebagainya sesuai sarana upakara,” sebutnya.
Lalu ada gedebong biyu kayu, yang ngatut pusuh dan ngatut bungkil.
Banten upakaranya pun berbeda, karena memakai tebasan sapuh leger, tebasan sungsang sumbel, tebasan katadah kala, tebasan kala melaradan, kedenga-kedengi dan sebagainya.
“Inilah yang seharusnya ditatab oleh orang yang otonan,” imbuhnya.
Berbeda pula dengan bebayuhan melik, baik melik ceciren dan sebagainya tentu dengan upakara dan upacara yang berbeda dengan bayuh seperti bayuh sapuh leger.
Untuk yang melik, salah pati, ulah pati, maka disebut bayuhan sudamala atau panglukatan dasa mala.
Dewa Mangku Dalang Samerana, menambahkan untuk sapuh leger wuku Wayang sesuai dengan hari kelahirannya.
Sebab ada banten tebasan redite, soma, dan lainnya hingga saniscara dengan banten upakara tersendiri. Hal ini juga sesuai dengan urip, karena ada penebusan tiga atau tujuh, dan sebagainya.
Semisal panebusan tujuh, maka sarananya menggunakan telur 7 butir, kelapa 7 buah, dan semua sarananya berjumlah 7 atau disebut soroh pitu.
“Lalu apabila lahir Paing, maka disebut soroh sia atau sembilan. Maka memang semuanya disesuaikan dengan urip dari masing-masing kelahiran wuku Wayang ini,” tegasnya. Untuk dikenallah bayuh oton atau bayuh kelahiran.
Lanjutnya, apabila lahir Soma Kliwon maka harus saat Soma Kliwon dibayuh tidak di Soma Paing.
“Istilahnya upakara dan upacara untuk manusia, pitra, dan bhuta memang tidak boleh sembarangan,” jelasnya.
Seperti apabila carunya putih maka arahnya ke timur (kangin), kemudian caru ke selatan (kelod) harus biing (merah). Tidak boleh sembarangan, sebab masing-masing telah ada fungsi dan kegunaannya tersendiri. (*)
Artikel lainnya di Serba serbi