Berita Klungkung
Kisah Jro Pasek, dari Pegawai di Bandara hingga Jadi Pawang Hujan di Bali, Dapat Pawisik
Nama Made Sucipta atau yang dikenal dengan Jro Pasek ramai dibincangkan setelah aksinya menjadi pawang hujan
Penulis: Eka Mita Suputra | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, SEMARAPURA - Nama Made Sucipta atau yang dikenal dengan Jro Pasek ramai dibincangkan setelah aksinya menjadi pawang hujan saat palebon Ida Pedanda Nabe Gede Dwija Ngenjung tertangkap kamera netizen dan viral di medsos.
Jro Pasek menyapa ramah, saat Tribun Bali mengunjungi rumahnya yang sederhana di Banjar Pande, Desa Kamasan, Klungkung, Bali, Selasa 12 Oktober 2021.
Rumahnya ketika itu tampak sepi, hanya ada beberapa kerabatnya beraktivitas di luar rumah.
Jro Pasek saat ditemui menggenakan pakaian hitam yang sangat ikonik.
Baca juga: Cemoohan yang Diterima Pawang Hujan Jro Pasek, Sang Pawang Yakini itu Bagian dari Rwa Bhineda
Pakaian itu yang sering ia kenakan saat menjalankan ritualnya sebagai pawang hujan.
Saat ditemui di rumahnya, Jro Pasek menceritakan perjalanan hidupnya sehingga memilih menjadi pawang hujan.
Sangat menarik jika melihat tulisan pada pakaian pria berambut panjang tersebut.
Pada sablon depannya bertuliskan "Rain Stopper" since 2001 dan dua lambang Ongkara.
Sementara pakaian belakang bajunya bertuliskan, Jro Pasek Pawang Hujan Ciwa-Budha.
Ia lalu mempersilakan masuk ke kamar sucinya untuk berbincang.
Ruangan itu memiliki luas sekitar 3x3 meter.
Nuansa spiritual sangat terasa, karena di ruang suci itu terdapat berbagai atribut sakral.
"Saya menjadi pawang hujan sejak 2008. Saat itu mulai mendapat banyak pawisik," ungkap Jro Pasek mengawali ceritnya.
Ia mengungkapkan, sebelumnya dia karyawan swasta di Bandara I Gusti Ngurah Rai. Dia bertugas membawa makanan ke maskapai, dan pekerjaan itu dilakoninya sampai 2008.
"Dari pawisik itu saya diminta berhenti bekerja. Tapi saya berpikir logis juga. Kalau tiba-tiba berhenti bekerja nanti tidak dapat pesangon. Nah, tiba-tiba perusahaan menawarkan ke karyawan untuk pensiun dini. Ini sangat kebetulan dan saya anggap ini takdir saya. Saya ambil formulir untuk pensiun dini itu," ungkap Jro Pasek sembari merapikan gelang yang banyak dikenakan pada kedua tangannya.
Menurutnya, pawisik itu berupa bisikan, dan itu yang diyakni oleh Jro Pasek.
Sampai akhirnya ia menemukan takdirnya sebagai seorang pawang hujan.
Ia sempat menyangkal jika dikatakan sebagai tukang terang.
Menurutnya, dirinya lebih tepat jika disebut sebagai pawang hujan.
"Agar masyarakat mengetahui, tukang terang dan pawang hujan itu berbeda. Jika tukang terang, sebelum acara biasanya jauh-jauh hari sudah menyiapkan sarana dan ritual agar mencegah terjadinya hujan. Jika pawang hujan, saat terjadi hujan pun bisa turun untuk mengendalikan hujan itu agar reda. Itu yang saya yakini," jelasnya.
Walau mulai viral saat Palebon Ida Pedanda Nabe Gede Dwija Ngenjung, menurutnya, yang paling berkesan justru ketika dia menjadi pawang hujan dalam palebon permaisuri tokoh Puri Agung Klungkung pada 2014.
Upacara itu menjadi salah satu palebon terbesar yang pernah ada, yang melibatkan ribuan warga.
Baca juga: Kisah Hidup Jro Pasek, Berhenti Jadi Pegawai di Bandara Hingga Memilih sebagai Pawang Hujan
"Setelah saat itu saya mulai dikenal. Banyak yang meminta jasa saya di acara yadnya, seperti pernikahan, Rsi Gna, hingga acara-acara pemerintahan. Khususnya yang banyak itu di acara TNI dan kepolisian," jelasnya.
Ciri khas Jro Pasek saat menjalankan aksinya yakni dengan menggambar telapak tangannya menggunakan media rokok yang menyala.
Ia seakan-akan menggunakan rokok yang ia sedot, untuk menggambar sesuatu di telapak tangannya.
Lalu menunjuk langit, seakan-akan menggerakan awan.
"Kadang saya menggambar cakra di telapak tangan, terkadang juga trisula. Itu tergantung pawisik. Meskipun menggambarnya dengan api dari rokok, tidak pernah sekalipun tangan saya mengalami luka bakar," ungkapnya.
Ia menyadari apa yang dilakukannya itu di luar nalar.
Terkadang dia pun kerap menerima cemooh dari orang yang memiliki pemikiran serta keyakinan berbeda dengannya.
Bahkan ada yang menyangsikannya sebagai pawang hujan, dan dianggap hanya mengada-ada.
"Sering juga orang mengatai, jika saya hanya muncul saat terang atau terik. Hal-hal seperti ini saya tidak tanggapi. Prinsip saya rwa bhineda itu selalu ada dan berdampingan," jelasnya.
Rwa bhineda yang ia maksud, yakni selalu ada perbedaan dalam hidup.
Ada yang suka dan percaya dengan apa yang ia lakoni, sementara yang tidak suka tentu juga ada.
Perbedaan pendapat selalu ada, dan hal itu harus selalu diterima dengan keikhlasan.
"Bagi yang sering menggunakan jasa saya, tanggapan mereka selalu positif. Itu lah mengapa saya harus selalu ikhlas menjalani ini (sebagai pawang hujan), walau tentu banyak juga yang pemikirannya tidak sama seperti saya," jelas Jro Pasek.
(eka mita suputra)
Kumpulan Artikel Klungkung