Berita Nasional

Ekonomi Warga Jatuh Tanpa APBN, Sri Mulyani: Sekarang Semua Orang Urusi Utang

Keuangan negara menjadi penyelamat perekonomian Indonesia saat dihantam krisis.

ISTIMEWA/KONTAN
ILUSTRASI - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati - Ekonomi Warga Jatuh Tanpa APBN, Sri Mulyani: Sekarang Semua Orang Urusi Utang 

TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Keuangan negara menjadi penyelamat perekonomian Indonesia saat dihantam krisis.

Tiga krisis yang dihadapi Indonesia membuat beban keuangan negara bertambah berat.

Tak pelak utang semakin meningkat dan menjadi risiko bagi perekonomian.

Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat, hingga akhir Agustus 2021, posisi utang pemerintah mencapai Rp 6.625,43 triliun Posisi ini setara 41% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Baca juga: Dianggarkan Sejak 2018, Menkeu Sri Mulyani Ungkap Rincian Anggaran PON XX Papua 2021

Posisi utang pemerintah per akhir Agustus 2021 bertambah Rp 55,27 triliun jika dibandingkan akhir Juli 2021.

Terus meningkatnya utang Indonesia pun kerap menjadi perbincangan berbagai pihak.

Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku senang.

"Banyak orang lihat keuangan negara detail, saya senang banget sekarang semua orang urusin utang. Semua orang bicara itu. It's good, kita punya ownership terhadap keuangan negara," kata Sri Mulyani, Minggu 24 Oktober 2021.

Pada saat krisis tahun 1997-1998 maupun tahun 2008, tidak ada orang yang memperhatikan kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Namun ia menegaskan, jika utang berlipat maka negara bisa kesulitan membayarnya.

Terlebih, nilai tukar rupiah melemah. Hal ini akan berdampak terhadap kondisi keuangan.

"Kalau utang berlipat ganda, walaupun tadi utangnya sama tetapi nilai tukar berubah maka penerimaan ada yang dalam bentuk rupiah menjadi tidak bisa mampu untuk membayarnya kembali," kata Sri Mulyani.

Sebab itu, saat kondisi perekonomian sedang bangkit, pemerintah berusaha untuk menyehatkan keuangan negara dengan memberikan ruang fiskal pada APBN.

Tujuannya, agar saat perekonomian kembali tertekan, keuangan negara kembali hadir untuk melindungi dan menyehatkan perekonomian.

Kata Sri Mulyani, saat krisis terjadi, keuangan negara selalu mengalami beban paling besar, apapun latar belakang pemacu krisis.

Saat tiga krisis terakhir yang terjadi pada tahun 1997/1988, 2008 dan tahun 2020 sebagai akibat pandemi Covid-19 tahun 2020.

"Kalau Anda lihat, krisisnya beda-beda. Tapi ujungnya semuanya sama, keuangan negara yang mengalami beban paling besar. At the end, itu yang disebut the real last resort, itu selalu keuangan negara," kata Sri Mulyani.

Krisis yang terjadi akibat pandemi Covid-19, anggaran negara digelontorkan untuk meningkatkan ragam bantuan sosial (bansos) untuk warga miskin, mengguyur relaksasi pembayaran pajak untuk usaha kecil, menengah, serta mikro.

Insentif juga diberikan untuk korporasi.

Dari sisi perbankan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga langsung memberikan relaksasi berupa keringanan pembayaran kredit melalui restrukturisasi kredit perbankan.

Regulasi OJK ini didasarkan pada praktek regulator di luar negeri agar bank lebih resilient.
"Lagi-lagi keuangan negara. Jadi negara hadir membantu neraca yang berjatuhan (neraca rumah tangga hingga neraca industri) untuk masyarakat yang tidak punya tabungan, kehilangan pekerjaan, kita naikkan bansos besar sekali, terutama kesehatan," tutur Sri Mulyani.

Tanpa bantuan APBN, kata Sri Mulyani, warga akan jatuh lebih dalam.

Masyarakat tidak lagi memiliki sumber pendapatan ketika kegiatan ekonomi terpaksa berhenti akibat pandemi Covid-19.

Ujungnya, perbankan bisa kesulitan. Jika ini terjadi, negara pula yang menanggung beban tersebut.

Berbeda dengan dua krisis sebelumnya, Indonesia dan negara-negara lain juga belajar.

Adanya reformasi dari krisis sebelumnya, perbankan kini lebih kuat ketika pandemi Covid-19 menghantam yang berujung krisis.

Ini ditandai dengan rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio/ yang kuat, mencapai double digit.

Baca juga: Megawati Ditunjuk Presiden Jokowi Jadi Ketua Dewan Pengarah BRIN, Sri Mulyani Jadi Wakil

"Maka (dalam krisis) yang ketiga ini bank sudah relatif kuat karena belajar dari dua krisis. Bank itu CAR tinggi, prudential regulationnya cukup sangat prudent," ujar dia.

Menkeu juga menegaskan, pemerintah harus perlu mengejar pendapatan saat negara dan masyarakat dalam kondisi kuat dan sehat.

Sebab, keuangan negara harus mampu mengantisipasi setiap ancaman krisis yang bisa saja terjadi.

Pandemi bukanlah awal dan akhir dari krisis dunia.

Kata Menkeu, masih ada kemungkinan besar krisis-krisis lain datang kembali dalam beberapa tahun ke depan, termasuk perubahan iklim hingga disrupsi digital.

"Saat ekonomi bagus, kita tetap harus akumulasi atau mengisi amunisi, defisit kita turunkan sehingga kita punya yang disebut fiscal space. Begitu terjadi hantaman, fiscal space itu bisa kita pakai dan manfaatkan," ujar Ani, panggilan karib Menkeu.

Ancaman Berikutnya

Krisis akibat pandemi Covid-19 memang belum berakhir.

Namun Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan bahwa krisis bisa saja terpacu sebab lain, alias tidak berhenti di pandemi corona.

Ada ancaman lain yang harus dimitigasi, antara lain perubahan iklim serta disrupsi digital.

“Berkaca dari pengalaman tiga kali krisis tahun 1997/1988, 2008 dan saat ini, ujungnya berefek ke keuangan negara,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Untuk itu, kata Menkeu, keuangan negara harus bisa mengantisipasi.

“Dunia itu bisa dihantam, Indonesia juga dihantam berbagai krisis. Kalau kita sekarang bicara pandemi, next time bisa climate change, bisa juga dari digital disruption,” ujar Menkeu.

Menurut Menkeu, krisis selalu membawa perubahan,

“Saat menyerang akan menyebabkan orang harus berubah, baik itu perubahan ke sosial, ekonomi. Untuk itu, negara harus hadir dengan keuangan negara yang harus sehat,”ujarnya. (kontan)

Kumpulan Artikel Nasional

Sumber: Kontan
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved