Serba serbi

Kisah Dewi Uma Menjadi Durga hingga Terwujud Simbol Barong dan Rangda

Dewi Durga, Dewi Parwati, dan Dewi Uma adalah satu kesatuan dalam wujud yang berbeda.

ist/Doc Sutax/Instagram
Ilustrasi rangda dan pakudannya. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, Anak Agung Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Dewi Durga, Dewi Parwati, dan Dewi Uma adalah satu kesatuan dalam wujud yang berbeda.

Perubahan dari Dewi Uma menjadi Dewi Durga, bukanlah tanpa alasan. Kisahnya tertulis di dalam lontar Kala Maya Tattwa. 

Dikisahkan bahwa di sorga loka sedang ada rapat, yang diadakan dan dipimpin oleh Dewa Siwa, Sadasiwa, dan Paramasiwa sebagai lambang Tri Purusa.

Kemudian Dewi Uma beserta para bidadari, bertugas melayani selama rapat berlangsung. 

Baca juga: Manifestasi Siwa-Uma, Berikut Filosofi Pentingnya Barong dan Rangda di Bali

Tatkala rapat sedang berlangsung, hal yang tidak diinginkan pun terjadi.

Dewi Uma mengalami kotor kain, atau yang lazim dikenal menstruasi.

Seharusnya ia pamit undur diri dari acara tersebut, namun Dewi Uma malah menutupinya. 

Padahal sesuai peraturan di sorga loka, bahwa wanita yang sedang kotor kain tidak boleh hadir dan mengikuti kegiatan di sorga loka.

Tentu saja lambat laun, kejadian haidnya Dewi Uma segera diketahui oleh para dewa yang mengikuti rapat. 

Namun Dewi Uma masih cuek saja, dan tetap tidak beranjak dari sana.

Hal itu akhirnya diketahui oleh Sadasiwa  yang memimpin rapat.

Hal ini pun diberitahukan ke Paramasiwa. Tak dinyana, tetesan darah kotor kain itu jatuh dan diketahui Paramasiwa. 

Baca juga: Luncurkan Gema Siwa Puja, Desa Adat Diajak Lakukan Pengawasan Partisipatif Saat Pemilu dan Pilkada

Akhirnya beliau murka dan mengusir Dewi Uma dari sorga loka.

Dewi Uma pun dikutuk menjadi Durga dan bertempat tinggal di setra gandamayu atau kuburan.

Setelah kepergian Dewi Uma, tentu saja Dewa Siwa merasa rindu dan kesepian. 

Dewa Siwa yang hendak turun ke dunia, melihat Durga dilarang oleh para dewa.

Guna menghindari agar para dewa tidak tahu, maka Dewa Siwa berubah menjadi raksasa.

Tak lama kemudian, Dewa Siwa bertemu dengan Dewi Uma dalam wujudnya sebagai Durga.

Keduanya bertemu dan saling bercengkrama, dalam wujud Durga dan raksasa.

Pertemuan suami istri ini, membuat kama Dewa Siwa dalam bentuk raksasa keluar.

Kama yang jatuh ke tanah menjadi beberapa macam kayu, di antaranya kayu pule, kepah, kepuh, dan kayu jaran. 

Sedangkan kama yang jatuh di tubuhnya, menjadi beberapa makhluk seperti bengala-bengali, bhuta-bhuti, leak, dan sebagainya.

Untuk itulah, karena hadirnya makhluk seram ini yang membuat kuburan menjadi seram dan angker.

Sehingga kuburan lah yang paling cocok dipakai lokasi ngereh

Kemudian lahirlah bisama untuk manusia, di mana isinya agar kuburan tempat beliau bercengkrama disebut Prajapati.

Hingga kini pura ini disucikan oleh masyarakat Hindu di Bali, dan menjadi tempat memohon agar terhindar dari malapetaka.

Perwujudan Dewa Siwa dalam wujud raksasa, serta Dewi Uma dalam wujud Durga disimbolkan dengan patapakan barong dan rangda. 

Hal ini dibenarkan oleh Komang Gases. Dosen FKIP UPMI ini, menjelaskan bahwa kuburan adalah tempat suci di Bali.

Dan merupakan tempat paleburan, serta tempat peristirahatan terakhir dari setiap umat manusia.

"Ngereh di kuburan guna meminta kepada beliau (Dewi Durga) agar diberkati diberikan karunia, khususnya kepada barong dan rangda yang akan disungsung menjadi sesuhunan," ucapnya. 

Pria dengan nama asli Komang Indra Wirawan ini, mengatakan bahwa ngereh bisa dilakukan berkali-kali.

Tentunya setelah melakukan segala prosedur sekala-niskala yang sesuai. Serta disetujui oleh desa adat, dan masyarakat. Khususnya jika ingin menggunakan setra di luar wilayahnya. 

"Biasanya ida sesuhunan yang meminta di mana beliau mau ngereh, terkadang pamundut beliau yang juga meminta atas seizin beliau," katanya.

Sehingga ngereh pun bisa dilakukan berkali-kali. Bahkan menurut praktisi seni budaya ini, ngereh merupakan proses naik kelas bagi patapakan atau palawatan ida bhatara berupa barong dan rangda tersebut. 

Sebab ngereh tujuannya mendatangkan roh atau kekuatan sakti, karunia dari ida bhatara-bhatari yang berstana di Pura Dalem.

Khususnya karunia dari Dewi Durga dan Dewa Siwa. Sehingga patapakan atau palawatan barong dan rangda ini, bisa melindungi masyarakat sebagai simbol Dewa Siwa dan Dewi Uma

Ngereh bisa dilakukan pada patapakan barong dan rangda, yang baru selesai dibuat dan diupacarai dengan bebantenan.

Serta dapat pula dilakukan bagi patapakan yang sudah ada, namun habis diperbaiki atau direhab. Begitu selesai direhab maka kembali dilakukan ritual ngereh untuk memberi kehidupan pada patapakan tersebut. 

Ngereh pun biasanya dilakukan tengah malam hari, dalam suasana hening di kuburan. Ritual mistik ini ditujukan untuk mendapatkan kekuatan Sakti Panca Durga. Uniknya karena proses ini sangat tenang dan sakral, maka bagi yang ingin ikut menyaksikan harus berada pada jarak yang cukup jauh.

Sehingga prosesnya berjalan dengan lancar. 

"Begitu kekuatan beliau datang, dalam bentuk apapun itu. Maka pakudan atau yang menyungsung barong dan rangda ini akan memakai dengan sendirinya tapel tersebut," katanya.

Namun begitu hal tersebut terjadi, jangan dahulu dilepas harus ada bebantenan yang dihaturkan oleh pemangku. Kemudian pemangku bertanya, siapa yang hadir ke dalam raga pakudan tersebut. 

Apabila pakudan yang telah kerauhan tersebut menyebutkan nama yang benar, maka baru dipersilakan untuk ngereh.

"Saat itu begitu kita lepas, maka pakudan akan menari-nari tanpa sadar. Kemanapun kita mengejar tidak akan bisa diikuti oleh manusia biasa," ucapnya. Walaupun beban dari barong dan rangda itu berat, namun tatkala beliau hadir maka pakudan pun bisa berlari dengan badan yang terlihat sangat ringan. Inilah yang disebut keajaiban dan kekuatan niskala. (*)

Artikel lainnya di Serba serbi

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved