Serba serbi

Tapel Barong dan Rangda, Berikut Tata Cara Menarikan Sesuai Seni Budaya Hindu di Bali

Barong dan rangda merupakan warisan seni budaya Hindu Bali, yang sangat penting dan memiliki nilai sakral tersendiri.

Tribun Bali/AA Seri Kusniarti
Tapel-tapel di galeri I Wayan Muka Collection di Mas, Ubud, Gianyar, Bali. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR –  Barong dan rangda merupakan warisan seni budaya Hindu Bali, yang sangat penting dan memiliki nilai sakral tersendiri.

Walaupun tarian barong dan rangda, juga kerap ditarikan dalam pementasan yang bersifat profan atau hiburan, namun barong dan rangda juga banyak digunakan sebagai simbol dari sesuhunan bhatara-bhatari yang disucikan.

Bahkan lebih jauh, barong dan rangda memiliki filosofi yang luar biasa.

Praktisi seni dan budaya, Komang Gases, menyebutkan bahwa barong dan rangda adalah simbolisasi Dewa Siwa dan Dewi Uma.

Baca juga: Kisah Dewi Uma Menjadi Durga hingga Terwujud Simbol Barong dan Rangda

“Barong adalah lambang Dharma, yaitu Dewa Siwa itu sendiri. Dan rangda adalah lambang Dewi Durga, tiada lain adalah wujud lain Dewi Uma dan memang simbolnya negatif,” jelasnya dalam program Bali Sekala-Niskala.

Kedua simbol ini yang disatukan, dan menjadi satu kesatuan dalam sebuah harmonisasi.

Dosen FKIP UPMI ini, menambahkan bahwa selama ada sarana banten (upakara), maka barong dan rangda tersebut bersifat sakral dan suci.

Maka pamundut atau penari barong dan rangda sakral ini, juga harus disucikan melalui prosesi mawinten dan mabersih.

Sehingga terjadi sinkronisasi antara pamundut dengan palawatan bhatara, yang disimbolkan ke dalam bentuk barong dan rangda.

“Simbol barong dan rangda yang seram, dengan mata mendelik memberitahu kita agar tidak melakukan hal itu,” ucap pria dengan nama asli Komang Indra Wirawan ini.

Baca juga: Manifestasi Siwa-Uma, Berikut Filosofi Pentingnya Barong dan Rangda di Bali

Jikapun sembahyang kepada ida bhatara-bhatari yang berstana di dalam palawatan barong dan rangda tersebut.

Maka haruslah pula fokus kepada Dewa Siwa, Dewi Uma, dan bahkan Tuhan itu sendiri.

Sebab dewa-dewi, bhatara-bhatari adalah manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai bentuk dan berbagai tugasnya masing-masing.

Untuk itu, karena barong dan rangda juga bersifat sakral di Bali maka untuk pembuatannya pun tidak boleh sembarangan.

Khususnya dalam membuat tapel (topeng) barong dan rangda memerlukan ketrampilan khusus. Memerlukan kosentrasi, kesabaran, ketelitian yang luar biasa.

Salah satu pembuat tapel atau topeng barong dan rangda, bernama Komang Mega mengakui hal ini. Bagi pria asli Mas, Ubud, Gianyar, ini membuat tapel barong dan rangda bukanlah perkara mudah.

Apalagi jika topeng tersebut, akan digunakan sebagai palawatan bhatara yang disungsung oleh jagat. Pemilihan kayu, hari baik, dan saat pembuatan menjadi sangat penting.

“Bahkan saya pantang memakan daging sapi. Pernah suatu kali melanggar, saat membuat topeng langsung pusing,” katanya.

Beberapa kayu yang digunakan untuk pembuatan bahan tapel, di antaranya adalah kayu dapdap wong, pule, kepuh, jepun, kepel, bentaro, dan kayu cendana.

Kayu-kayu ini pun tidak mudah didapatkan. Konon katanya kayu dapdap wong, adalah kayu yang baik digunakan untuk membuat tapel rangda. Sebab kayu ini ringan, sementara untuk membuat barong diperlukan kayu yang lebih keras.

Untuk kayu yang cocok sebagai bahan pembuatan tapel barong adalah kayu pule. Sehingga banyak masyarakat yang sadar, bahwa kayu pule memiliki sisi magis tersendiri dibanding kayu-kayu pada umumnya.

Menurut Komang Mega, kayu pule pun banyak tumbuh di area setra atau kuburan.

Hal ini yang kian membuat kayu pule ini menjadi tenget dan angker. Proses pembuatan tapel pun tidak sebentar, dibutuhkan waktu pembentukan kayu, pemrosesan seperti perebusan, hingga pengecatan kayu tersebut sampai jadi. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved