Berita Nasional

Jenderal Andika Perkasa Akui Ada Keterlibatan Oknum TNI dalam Proyek Satelit Militer Kemenhan

Jenderal TNI Andika Perkasa menyebutkan ada indikasi keterlibatan personel TNI soal proyek satelit komunikasi pertahanan di Kemenham

Penulis: I Putu Juniadhy Eka Putra | Editor: Wema Satya Dinata
KOMPAS.COM
Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa kerahkan Kekuatan untuk bantu korban letusan Gunung Semeru.  

TRIBUN-BALI.COM – Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menyebutkan ada indikasi keterlibatan personel TNI dalam proyek satelit komunikasi pertahanan di Kementerian Pertahanan (Kemenhan).

Jenderal TNI Andika Perkasa mengaku telah dipanggil oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keaman (Menko Polhukam) Mahfud MD.

Pada pemanggilan tersebut Andika dimintai konfirmasi soal keterlibatan oknum TNI tersebut.

Dilansir Tribun-Bali.com dari Kompas.com pada Sabtu, 15 Januari 2022 dalam artikel berjudul Panglima Sebut Ada Indikasi Keterlibatan Personel TNI di Kasus Satelit Militer Kemenhan, Andika Perkasa menyebutkan proses hukum kepada oknum TNI yang diindikasi terlibat proyek satelit Kemenhan akan segera diproses hukum.

“Beliau (Mahfud) menyampaikan bahwa proses hukum ini segera akan dimulai dan memang beliau menyebut ada indikasi awal, indikasi awal beberapa personel TNI yang masuk dalam proses hukum,” kata Andika di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat, 14 Januari 2022.

Sebagai Panglima TNI, Andika mendukung, keputusan pemerintah untuk melakukan proses hukum kepada oknum terkait.

Ia pun masih menunggu nama-nama anggota TNI yang diduga terlibat dalam kasus tersebut.

Baca juga: Jenderal Andika Perkasa Unjuk Taring, Panglima TNI Giring Anggota yang Terlibat Proyek Satelit

“Jadi kami menunggu nanti untuk nama-namanya yang memang masuk dalam kewenangan kami,” ucap dia.

Diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD mengungkapkan, proyek pengelolaan satelit yang ada di Kemenhan membuat negara menelan kerugian ratusan miliar rupiah.

Kerugian itu terjadi lantaran adanya penyalahgunaan dalam pengelolaan Satelit Garuda-1 yang telah keluar orbit dari slot orbit 123 derajat bujur timur (BT) pada 2015 sehingga terjadi kekosongan pengelolaan satelit oleh Indonesia.

Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali slot orbit.

"Apabila tidak dipenuhi, hak pengelolaan slot orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain," ujar Mahfud dalam konferensi pers virtual, Kamis, 13 Januari 2022.

Adapun permasalahan proyek ini berawal ketika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) memenuhi permintaan Kemenhan untuk mendapatkan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat Bujur Timur guna membangun Satkomhan. Kemenhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis milik Avanti Communication Limited pada 6 Desember 2015.

Baca juga: Jenderal Andika Perkasa Tunjuk Staf Khusus Jadi Pangdam Jaya, Ternyata Ada Kaitan dengan Tim Mawar

Kontrak ini dilakukan kendati penggunaan Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur dari Kemkominfo baru diterbitkan pada 29 Januari 2016.

Namun pihak Kemenhan pada 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT kepada Kemenkominfo. Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti pada 2015, Kemenhan ternyata belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut.

Kronologi

Masih dilansir dari Kompas.com dalam artikel berjudul Kronologi Proyek Satelit Kemenhan yang Bikin Negara Rugi Ratusan Miliar Rupiah, kasus permasalahan pengelolaan satelit ini bermula ketika Satelit Garuda-1 keluar orbit dari slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) yang menyebabkan terjadinya kekosongan pengelolaan oleh Indonesia pada 19 Januari 2015.

Berdasarkan aturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali slot orbit.

Apabila tak dipenuhi, hak pengelolaan slot orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.

Ketika slot orbit 123 mengalami kekosongan pengelolaan, Kemenhan kemudian mengajukan permintaan untuk mendapatkan hak pengelolaan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).

Permintaan ini berkaitan dengan rencana Kemenhan yang akan menjalankan proyek satelit komunikasi pertahanan (Satkomhan).

Dalam kenyataannya, kemenkominfo ternyata tak langsung menanggapi permintaan tersebut.

Baca juga: Wakil Ketua MPR Kritisi Komnas HAM Bela Herry Wirawan Soal Hukuman Mati: Jangan Plin-plan

Namun, Kemenhan tiba-tiba bergerak sendiri dengan membuat kontrak sewa bersama Satelit Artemis milik Avanti Communication Limited pada 6 Desember 2015.

Padahal persetujuan penggunaan slot orbit 123 derajat Bujur Timur dari Kemkominfo baru keluar pada 29 Januari 2016.

Saat menekan kontrak bersama Avanti, belakangan terungkap bahwa Kemenhan ketika itu belum memiliki anggaran untuk keperluan proyek satelit militer.

Anggaran untuk keperluan proyek ini baru tersedia pada 2016, namun Kemenhan melakukan self blocking.

Tak berhenti sampai di situ, Kemenhan kemudian juga tetap menekan kontrak bersama Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovell, dan Telesat pada periode 2015 hingga 2016, yang anggarannya pada 2015 juga belum tersedia.

Rugi Ratusan Miliar

Setelah beberapa tahun pasca-penandatanganan kontrak, Avanti menggugat Kemenhan di London Court of International Arbitration.

Gugatan ini karena Kemenhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani.

Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp 515 Miliar.

Selain itu, Navayo yang sebelumnya juga telah menandatangani kontrak dengan Kemenhan menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan dokumen certificate of performance, namun tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemenhan dalam kurun waktu 2016-2017.

Navayo kemudian mengajukan tagihan sebesar USD 16 juta kepada Kemenhan.

Namun, saat itu pemerintah menolak untuk membayar sehingga Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura.

Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase Singapura pada 22 Mei 2021, Kemenhan diputus harus membayar USD 20.901.209 atau sekitar Rp 314 miliar kepada Navayo.

Mahfud menyatakan, selain keharusan membayar kepada Navayo, Kemenhan juga berpotensi ditagih pembayaran oleh Airbus, Detente, Hogan Lovells dan Telesat yang sebelumnya telah menjalin kontrak dengan Kemenhan.

"Sehingga negara bisa mengalami kerugian yang lebih besar lagi," kata Mahfud.

(*)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved